Meski di dalam hati sangat kesal, tapi Nafisa tetap berbicara dengan baik dan sopan. Dia mencari tombol keluar dari tim tapi tidak menemukannya. Bukankah waktu itu ada? Tapi kenapa sekarang tidak ada?
[REI: Leo kau tau alamat rumahnya raven kan? Kirimkan ke alvin sekarang! ]
"Sial, apa dia sungguh mau membakar rumahku?" pikir Nafisa sembari menggigit jempolnya. Dia yakin Leo tidak akan memberikannya. Lagipula, Leo tahu apa soal anak-anak lain. Cowok itu sangat pendiam, seolah-olah berurusan sama orang lain adalah masalah yang sangat besar. Satu-satunya temannya hanya bodyguardnya. Tapi, memang benar jika Rei kelihatan dihormati disini. Dia bagai bos pasti yang lain bisa saja menuruti perintahnya. Leo bisa menyuruh bodyguardnya buat mencaritahu alamat rumah Raven untuk diberikan pada Rei. Apakah dia harus menghubungi Leo untuk menghentikannya memberitahu Rei soal alamat rumah Raven?
Di sisi lain, kenapa Raven dari tadi diam saja? Tentu saja karena dirinya muncul. Raven sangat membencinya jadi pasti akan menghilang jika dia muncul.
Nafisa mulai frustasi. Kali ini menenangkan diri rasanya sangat sulit.
[DIKIS: Bos, maksudmu keluar dari tim? Tapi bukankah nggak bisa ya? Keluar dari tim nggak bisa semudah itu]
"Berisik kau ! Aku pasti bakal keluar dari tim nggak jelas ini!" teriak Nafisa tajam di dalam hati.
[REI: Memang nggak bisa.]
[ALVIN: Kalau dia sungguh perempuan aku nggak masalah kalau dia keluar Rei]
"Tapi bagaimana caranya out dari sini?" batin Nafisa.
[DIKIS: Jangan! Asal kalian tau, selama ini aku selalu penasaran sama King. Gaya permainannya itu sungguh menakjubkan. Dia jenius bro! Jangan membuang kesempatan!]
"Jangan membuang kesempatan kau bilang? Jadi kalian cuma mau menjadikanku alat buat ke puncak? Sialan!" geram Nafisa. Dia tidak pernah menyangkan akan mengalami hal ini. Kenapa jadi seperti ini? Awalnya dia cuma bermain game biasa santai cuma untuk menghilangkan kebosanannya. Tapi kenapa sekarang, dia mengalami hal yang sangat sulit dipercaya. Sudah pensiun malah masuk ke dalam game Aethfire yang beroprasi di realitas. Bagaimana bisa dia yang selalu sendirian justru terlibat sama para pemain aneh ini? Demi menjadi tim terbaik, mereka mau mempergunakannya? Dia.... digunakan?
Nafisa tidak habis pikir. "Aku pasti lagi mimpi," gumamnya.
[DIO: Mana nih anaknya kok nggak muncul lagi? Cie yang nggak bisa out dari tim]
Nafisa seketika sangat marah sampai badannya membuat pergerakan. Tangannya tidak sengaja menyentuh mangkuk yang berisi ayam kecap ada di atas meja. Alhasil mangkuknya pecah dan ayamnya berceceran di lantai. Saat itu juga, jantungnya seperti ditembak.
"Masakan nenek..."
Nafisa buru-buru mengambilnya. Tangannya penuh dengan kecap. Para anggota timnya yang menyebalkan membuatnya tidak fokus. Seharusnya dia mengambil wadah terlebih dulu.
Dhania yang mendengar ada yang jatuh langsung terbangun, bangkit dan menuju dapur.
"Nak, ada apa?" tanya Dhania.
Nafisa menoleh kaget. "Ini nek jatuh maaf banget."
"Nggak apa-apa. Kok bisa sampai jatuh kenapa? Loh, kenapa kamu gemetaran begitu?" Dhania akhirnya menyadarinya juga.
Pertanyaan yang hampir tidak pernah ditanyakan. Dan Nafisa yang sebelumnya tidak pernah gemetar sampai seperti ini.
"Nafisa.... jangan buat nenekmu cemas, kamu nggak boleh jadi beban pikiran nenek!" jerit Nafisa di dalam hati.
Gadis itu sering membaca buku. Salah satunya adalah buku kesehatan. Hal ini bertujuan supaya dia bisa merawat neneknya lebih baik lagi. Dulu neneknya seringkali ke hutan entah untuk mencari kayu bakar atau jalan-jalan, dan mencari tanaman. Saat itu, dia sering cemas karena neneknya beberapa kali kecapekan terlihat seperti pingsan. Dia juga mempelajari mengenai obat-obatan untuk jaga-jaga jika dalam kondisi terdesak dan tidak sempat membawa neneknya ke rumah sakit dia akan membeli obat di apotek. Semakin tua harus dijaga pola makannya, dia mulai menasehati neneknya supaya menjaga pola makannya tentu saja dia turut andil. Lalu pikiran...dia berusaha untuk selalu baik-baik saja di depan neneknya supaya tidak membuatnya khawatir.
Nafisa tahu persis bagaimana Dhania mengkhawatirkannya apabila dia kenapa-napa. Tetapi bukan soal penghinaan orang lain. Sebab, Dhania sudah mendengar banyak tentang orang-orang yang suka menghina cucunya dan cucunya dihina di sekolah.
Neneknya itu cuma berkata, "Nggak apa-apa nak dihina. Dihina nggak akan membuat kita jadi rendah. Malah bagus. Mudah-mudahan dengan kita dihina, pahala kita semakin banyak, selain itu juga untuk melatih kesabaran kita. Hati kita ini nggak boleh jadi sekeras batu, pelan-pelan dilapangankan seluas-luasnya sampai bisa memaafkan orang-orang yang menghina kita. Itu sangat hebat. Pelan-pelan saja nggak apa-apa coba ikhlaskan dan maafkan dengan tulus. Nak, ada banyak hal menyakitkan di dunia ini tapi ada banyak juga kebahagiaan. Anak sebaik kamu pasti bisa meraih banyak kebahagiaan. Hidup itu cuma sekali, jadi pergunakanlah sebaik mungkin!"
Dengan suara yang sangat lembut itu, Nafisa merasa kepalanya lebih enteng. Seolah-olah bebannya hilang.
Nafisa kagum dengan neneknya. Dia beruntung ditemukan oleh sosok sebaik Dhania.
Sebagai seorang pemungut sampah, nenekya pasti telah melalui masa-masa sulit dan banyak sekali orang yang menghinanya. Apalagi katanya bosnya sangat galak dan tidak segan-segan main tangan. Meski begitu, bagaimana bisa dia bisa tersenyum sangat tulus dan bahagia seperti sekarang seolah-olah tidak pernah mengalami rasa sakit?
Oleh karena itu, perjuangan neneknya menjadi motivasi bagi Nafisa. Yang seperti bukanlah apa-apa dibandingkan yang dialami nenekku. Meski begitu, Nafisa sering kesal pada dirinya sendiri karena tidak mampu sekuat neneknya. Hatinya mudah tersentuh.
Nafisa dapat merasakan cinta yang begitu besar dari neneknya. Dia adalah cucunya satu-satunya. Satu-satunya dia miliki di dunia ini. Memikirkan hal ini, membuatnya sering ingin menangis bahagia dan bersyukur sedalam-dalamnya.
Dhania mengambil mangkuk plastik lalu didekatkan pada Nafisa. Nafisa menaruh ayam-ayam itu disana.
"Kamu kenapa?" tanya Dhania lembut sambil memegangi tangan Nafisa. Tangannya jadi ikut kena kecap.
"Mana mungkin aku bilang kalau Rei lagi mencari rumah kita," batin Nafisa. "Mereka sungguh.... ini tambah membuatku benci sama Game Aethfire. Gara-gara game itu, aku jadi menumpahkan masakan nenek."
"Oh iya, ekspresiku," kaget Nafisa. Detik selanjutnya bibirnya merekah. Dia menjawab, "Aku nggak apa-apa nek. Cuma takut aja nenek marah. Aku mau ambil minum berdiri tangannya nggak sengaja nyentuh mangkuk jadi jatuh."
Nafisa berbohong lagi. Di hati dia tersenyum miris. Entah sampai kapan dia akan terus membohongi neneknya. Rasanya dia tidak memiliki pilihan apa pun. Semuanya demi neneknya bahagia dan tidak memikirkannya. Karena kalau sampai tahu, pasti bakal stress berat.
"Aku nggak lagi membohongi kayak mantan suaminya," batin Nafisa sedih.
Dhania memiliki cerita menyedihkan. Di masa lalu, dia menikah dengan seorang pria tapi pria ini kemudian merantau ke ibukota. Dia sempat menghentikan suaminya itu dan meminta untuk ikut. Tapi ditolak mentah-mentah. Dan ternyata setelah diselidiki, suaminya sebenarnya sudah memiliki istri dan anak. Kini pria itu entah dimana.
Nafisa ingin sekali bertemu pria itu untuk sekedar memukulnya. Dia juga mungkin akan bertanya padanya mengapa dia menyia-nyiakan wanita sebaik Dhania?
"Nggak bakal marah lah cuma masalah jatuh masih bisa diambil lagi semoga masih bersih ya?" Dhania mengamati ayamnya.
click.
Nafisa melirik ke layar biru di dekatnya. Percakapan anggota timnya masih berlangsung. Sekarang apalagi? Dia mengeluh di dalam hati.
[SELAMAT, KAMU TELAH MENDAPAT POSISI SUPPORT DI THE 13 KING]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments