Kedua mata Nafisa melebar sempurna kala melihat Tsamara keluar dari gerbang rumahnya. Memang di jalanan sepi. Tapi karena kondisinya sedang seperti ini, di depannya itu bisa saja muncul monster. Apalagi Nafisa merasa bahwa bos monster dengan level tinggi selalu mengikutinya. Dia langsing berlari menuju anak yang belum terlalu mengerti mengenai kehidupan itu.
Begitu melihat Nafisa, Tsamara langsung tersenyum gembira dan berlari menuju Nafisa sambil berkata, "Mbak-mbak-mbak!" diiringi tawa gembira. Sungguh anak yang lucu dan imut.
Itu adalah panggilan untuk Nafisa. Mbak Nafisa. Entah siapa yang mengajarinya, tapi Nafisa sebenarnya ingin protes. Dia memang tidak terlalu mempernasalahkan dipanggil seperrti itu oleh Tsamara. Tapi Tsamara memanggil Raven dengan sebutan Kak. Bukan mas. Bukankah sangat tidak adil? Meski dia tidak memiliki hubungan darah dengan Tsamara, tapi cintanya pada anak ini dia yakin melebihi cinta Raven pada adiknya ini. Setiap hari dia selalu bermain bersama Tsamara. Apa kabar dengan Raven? 'Cowok itu malah keluyuran tidak jelas. Dia lebih memilih olahraga ketimbang menjaga adiknya.
Nafisa berhasil mendapatkan Tsamara dan langsung menggendongnya.
"Hey, kamu jangan keluar dari gerbang! Kenapa nggak ada yang menjagamu?" tanya Nafisa. Tentu saja karena Tsamara masih kecil tidak bisa menjawabnya.
Aneh. Seharusnya hal ini tidak bisa terjadi. Tsamara punya dua pengasuh selain ibunya tentunya. Bagaimana bisa mereka membiarkannya keluar gerbang.
"Emba jajan!" Tsamara mengulurkan tangannya yang terdapat bola-bola coklat.
"Iya. Makan. Coba emba minta satu ya?" Nafisa mengambil satu bola dan memakannya. Dia bersyukur karena memang coklat. Kemudian dia membawa Tsamara pulang ke rumahnya.
"Udah pulang?" tanya Rania, Ibu Tsamara. Dia memegang mangkuk dan sendok di kedua tangannya. Ternyata Tsamara sedang dijaga ibunya. Tapi dia terlambat karena Tsamara tadi sudah keluar dari gerbang.
"Udah tante," jawab Nafisa. Dia menurunkan Tsamara.
"Makan dulu? Raven kok belum pulang ya?"
"Sorry tante kalau soal itu aku nggak bisa bantu. Raven pasti lagi main sama anggota tim 13 King. Meski berada di tim yang sama, aku tetap nggak bisa senang, malah semakin gelisah. Aku nggak mau main lagi tapi nanti bagaimana pandangan Raven terhadapku? Di sisi lain, aku sungguh nggak mau lagi karena sudah tobat, maaf Raven, aku lebih memilih nggak mau berurusan sama game ini daripada harus menjadi seorang pemain yang nggak bakal disukai nenekku," batin Nafisa.
"Tuh anak ikut main game berbahaya itu," kata Rania.
"Nah kan? Tante akhirnya tau sendiri anakmu kayak apa," batin Nafisa.
"Nggak bisa keluar dari game karena sistem masih beroprasi, bagiku tragedi ini sulit dipercaya dan nggak bisa dipahami. Kemungkinan pemancarnya dari menara yang ada di ibukota," ucap Nafisa. Dia yakin ada banyak hal disana.
"Di sana katanya ada penjara bawah tanah dan tempat berkumpulnya para monster," jawab Rania.
"Itu wajar saja. Nggak tau siapa dibalik semua ini, tapi dia sungguh... "
Nafisa menjadi sangat penasaran siapa seseorang dibalik pembuatan game Aethfite.
"Pemimpin kota sudah turun tangan dan semua yang bukan pemain nggak bakal terpengaruh apa-apa. Hanya mereka yang memiliki sejarah sama game dark sky. Seandainya Raven nggak bermain itu, pasti dia nggak ikut game ini," kata Rania.
"Hah? Jadi sudah nggak bisa kena orang-orang yang nggak main game ini? Syukurlah nenek aman. Tapi... berdasarkan apa yang tante bilang, kemungkinan besar ada sesuatu di game dark sky. Menarik. Sayang sekali aku nggak tertarik," batin Nafisa.
"Jadi gitu, kalau gitu aku pulang dulu ya tante," ucap Nafisa.
"Emba-emba," Tsamara memanggil-manggil Nafisa sembari menarik-narik rok gadis itu.
Nafisa menoleh ke Tsamara dan mengusap-usap kepalanya. "Mbak mau pulang dulu ya? Nanti kesini lagi main sama Tsamara."
"Ain."
"Iya main."
Tsamara tertawa. Nafisa berjalan menjauh sembari melambaikan tangan pada anak itu.
"Dulu memang ada rumor kalau dark sky mencuri data para pemainnya dan menyalahgunakannya," kata Nafisa.
Tetapi karena dia sangat menyukai game itu, dia sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Nafisa mengucapkan salam sembari masuk ke dalam rumahnya. Dia tersenyum ketika mencium aroma masakan yang sangat enak. Pasti neneknya sedang memasak.
"Nenek masak apa?" tanya Nafisa. Dia sudah tahu tapi sekedar basa-basi.
"Ayam dikasih kecap kesukaan kamu kan?" tanya Dhania.
"Tentu. Makasih nenek."
Sebenarnya makanan itu bukan salah satu favorit Nafisa. Tapi bagi gadis itu, apa pun yang dimasak neneknya akan selalu menjadi favoritnya. Bahkan yang sulit berada di lidahnya sekalipun.
Nafisa masuk ke kamar tapi tidak langsung berganti pakaian. Dia justru terdiam duduk di kasur. Sebenarnya sejak tadi, layar biru muncul di hadapannya dan menampilkan percakapan para anggota timnya. Selain itu ada layar merah diatasnya yang berrtuliskan [PANGGILAN KEPADA SELURUH PEMAIN UNTUK MENUJU IBUKOTA]
"Nafisa, makanannya udah mateng nih!" ucap Dhania sambil memasuki kamar.
"Iya nek makasih," jawab Nafisa sambil tersenyum. "Untung orang-orang yang nggak ikut bermain nggak bakal terpengaruh apa-apa, jadi nenek nggak bakal bisa liat apa yang ada di depanku ini untuk seterusnya," batinnya.
Sejak awal memang tidak bisa dilihat. Tapi ada saat-saat tertentu yang bukan pemain bisa melihatnya.
Dhania tidur di kasur karena kecapekan. Nafisa yang hendak ke dapur pun menghentikan langkah. Kepalanya menoleh dan terpaku pada neneknya. Kadang-kadang gadis berusia lima belas tahun itu ketakutan. Neneknya semakin tua dan jika dia pergi, dirinya sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Dia tidak pernah siap untuk sendirian dan kesepian. Sudah cukup dia tidak memiliki teman. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya orang yang sangat dicintainya itu.
"Semua orang akan meninggal. Nenek...semoga dia diberi umur panjang," batin Nafisa sembari matanya mulai berkaca-kaca.
Nafisa menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. Dia mulai memikirkan tentang orang tuanya. Siapa sebenarnya orang tuanya? Mengapa mereka tega membuangnya ke tempat pembuangan sampah? Benarkah dia anak dari hasil hubungan terlarang?
Nafisa mengambil makanan kemudian duduk dan mulai makan dengan tenang. Dia tidak lagi memikirkan tentang orang tuanya yang kemungkinan besar sudah tidak ada.
Yang menjadi masalah sekarang, layar biru terus saja muncul di dekatnya dan menampilkan percakapan para anggota timnya.
[REI: Jadi namanya Nafisa dan dia tetangganya Raven. Ven, seret dia kesini!]
Nafisa ingat Rei seperti apa. Dia punya ekspresi wajah paling licik dibandingkan yang lain. Sikapnya disini, seperti seorang atasan. Nafisa mengeluh kesal. Alvin dan Rei yang berasal dari sekolah yang sama kelihatan memimpin The 13 King. Mereka juga yang menjadi biang keladi dirinya masuk ke tim tidak jelas ini. Singkatnya, mereka cukup menarik karena telah berhasil menembus keamanannya. Jika tidak salah, dia pernah menemukan nama 'Maniac Killer' di komputernya. Dan dia menemukannya lagi di atas nama Alvin. Kalau seperti ini sudah jelas, Alvin lah yang membuatnya bergabung ke dalam tim ini.
[ASH: RAVEN NGGAK AKAN MENDENGARKAN PERINTAHMU!]
[REI: Hey king jangan coba-coba buat tobat. Kau pikir aku nggak tau sama siapa kau tinggal? Kau cuma punya nenekmu di dunia ini kan? Aku adalah wakil presiden dari Black Wolf, geng berandalan terbesar di Kota Zanx. Aku bisa membakar rumahmu.]
Nafisa mendadak ingin muntah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments