Nikahi Aku, Pak Dosen
“Ganteng bangeeett.” Niki menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Tidak hanya dia, tapi semua wanita yang ada di halaman kampus, seketika terpukau dengan kehadiran satu sosok pria tampan di area kampus mereka.
Kemeja lengan putih panjang yang membentuk tubuh pria itu, celana chinos berwarna coklat muda serta sepatu pantofel hitam melengkapi penampilannya yang sudah mendekati sempurna.
“Dia siapa?” tanya Fera penasaran.
“Masa depanku,” ucap Niki lirih.
“Ow, sepertinya masa depanmu akan suram.”
“Kenapa?” protes Niki, tapi matanya tak mau lepas dari sosok pria tampan yang berjalan masuk ke dalam kampus.
“Lihat, sepertinya hampir semua punya keinginan yang sama seperti kamu. Bayangkan kalau doa mereka semua dikabulkan, kamu bakal dapat urutan keberapa?” Fera menunjuk ke arah para mahasiswi yang juga terpesona dengan pria asing itu.
“Iissh, cuman kagum doang.” Niki mengikuti langkah Fera masuk ke dalam kelas, “Fer, kira-kira dia siapa ya mahasiswa baru tapi ketuaan, kalau jadi dosen masih terlalu gemes mukanya.”
“Penjaga kantin kali,” sahut Fera tak acuh.
“Ngaco. Fer, kok duduk di depan. Belakang aja yuk, mata kuliah Bu Sinta nih bikin ngantuk. Mana aku belum sempat revisi judul lagi.” Niki menarik tangan Fera yang sudah duduk di barisan paling depan.
“Bu Sinta minggu lalu kecelakaan, kalian belum dengar?” timpal Bobi.
“Tuh, paling juga kasih tugas doang.” Fera bertahan di kursinya.
“Selamat pagi.” Suara berat menyapa di ambang pintu. Suasana menjadi hening seketika. Semua mata menatap ke arah pintu masuk di mana sosok asing yang ditemui Niki di parkiran, berdiri di sana.
“Siang.” Beberapa anak menyahut pelan walau terlambat.
“Benar ini kelasnya Ibu Sinta?” tanya pemuda itu sembari berjalan masuk ke dalam kelas.
“Benar.” Lagi-lagi hanya terdengar beberapa orang saja yang menyahut, lainnya masih terpaku termasuk Niki.
“Syukurlah, semoga saya tidak terlambat.” Pria itu berjalan terus ke arah meja dosen dan menaruh setumpuk buku di atas meja, “Silahkan duduk.” Pria itu menatap Niki dengan senyum ramah. Niki baru sadar kalau hanya dia yang masih berdiri.
“Minggir,” bisik Niki pada Fera.
“Diih! Cari tempat sendiri,” Fera balas berbisik.
“Ga mau, aku mau di sini.” Niki bersikeras menggeser Fera dari duduknya. Jelas ia tidak mau kehilangan kesempatan menikmati pemandangan indah di pagi hari. Sedikit menggerutu, Fera mengalah dan berjalan ke arah deretan bangku yang masih kosong.
“Perkenalkan, nama saya Farel Artama, kalian boleh memanggil saya dengan Farel atau Tama. Sa---“
“Panggil sayang boleh ga, Pak,” celetuk Niki berani. Pria yang menyebut dirinya Farel Artama itu, hanya tersenyum simpul menanggapi godaan Niki.
“Saya diperbantukan di sini hanya sementara untuk menggantikan Ibu Sinta, yang minggu lalu mengalami kecelakaan dan masih di opname. Kalian sudah menjenguk beliau?”
“Belum, boleh minta antar ga, Pak?” tanya Niki mulai menebarkan pesonanya.
“Ibu Sinta di opname di Rumah Sakit Waras, mudah saja mencarinya.”
“Saya takut tersesat, Pak. Sekarang aja saya sudah tersesat dalam pesona, Bapak,” ucap Niki yang langsung ditimpali dengan seruan hu yang panjang dari teman-temannya. Namun Niki sama sekali tak peduli, ia hanya fokus dengan satu senyuman di depan kelasnya.
“Baiklah, kita mulai mata kuliah pagi ini.” Dosen muda itu berbalik dan membuka buku yang tadi dibawanya.
Sepanjang penjelasan yang disampaikan oleh Farel, tidak sedikitpun materi yang masuk di kepala Niki. Matanya sama sekali tidak beralih dari wajah dosen muda itu, beberapa kali Farel juga mendapati ia sedang memandang tanpa mengedipkan mata sama sekali dan langsung dilemparkannya senyuman tipis yang membuat hati Niki semakin berbunga-bunga.
“Baiklah, sampai di sini dulu hari ini,” ucap Farel mengakhiri mata kuliahnya, “Susana, Bobby Pramana, dan Anikkin Nastiti, tolong nama-nama yang saya sebut tadi temui saya di ruang Ibu Sinta. Terima kasih semuanya, sampai bejumpa di pertemuan berikutnya.”
“Dia panggil aku ke ruangannya, Fer.” Niki menggoyang-goyangkan tangan sahabatnya.
“Ya, aku dengar, tapi ga cuma kamu yang dipanggil, Susana sama Bobby juga jadi jangan GR,” ledek Fera. Ia merasa geli dengan kelakuan sahabatnya yang mudah sekali terpesona pada dosen baru itu.
Niki jelas tidak mau berlama-lama, ia sudah sampai di depan ruang Bu Sinta mendahului kedua temannya yang juga ikut dipanggil.
“Kok ninggalin sih, Nik. Dipanggil-panggil juga belagak budek,” sungut Susana saat ia sedang memastikan riasannya masih menempel dengan sempurna sebelum mengetuk pintu.
“Mau ketemu dosen aja bibir diwarnain,” ledek Bobby.
“Sirik,” sahut Niki ringan. Ia mengacuhkan tatapan heran dari Bobby dan Susana.
“Ngapain kalian masih berdiri di sini, ayo masuk.” Farel membuka pintu ruangan Bu Sinta lalu mempersilahkan ketiga mahasiswanya untuk masuk. Farel yang ternyata sejak awal tidak ada di ruangan, sudah melihat tingkah laku Nikki dan keributannya dengan kedua temannya dari depan toilet.
“Kalian bertiga dipercayakan Bu Sinta kepada saya, untuk membimbing tugas skripsi sampai Bu Sinta aktif mengajar kembali. Jadi apapun terkait penyusunan tugas akhir kalian, bisa tanyakan pada saya,” jelas Farel lugas setelah duduk berhadapan dengan ketiga mahasiswanya.
“Baik, Pak,” sahut Bobby dan Susan.
“Kenapa?” tanya Farel pada Niki yang memberikan respon berbeda. Gadis itu menyodorkan ponselnya kearah Farel.
“Saya rasa kedepannya saya dan Bapak harus saling berhubungan ... eh, maksudnya saling berkomunikasi,” ralat Nikki ketika melihat raut wajah dosennya sempat tercengang.
“Ow, kamu mau minta nomer ponsel saya? Saya memang berencana meminta nomer ponsel kalian, tapi kamu lebih dulu punya inisiatif. Bagus, saya suka.” Farel melempar senyum manisnya. Angan Niki langsung melayang tinggi entah kemana.
Farel mengambil ponsel dari tangan Niki dan mengetikkan sederet angka di sana, lalu ia menyebutkan angka yang sama agar kedua teman Nikki mencatatnya di ponsel mereka.
“Baik, Pak terima kasih.” Kedua teman Niki berdiri dari duduknya lalu keluar dari ruangan.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Farel melihat Niki masih duduk di tempatnya memandangnya dengan tersenyum.
“Eee, eemm ... enggak Pak, saya permisi.” Niki tergagap dan langsung berdiri menyusul kedua temannya.
Malam harinya, Niki memandangi profil foto pesan singkat dosen tampannya yang hanya bergambar lautan lepas. Ia sedang mencari bahan untuk dapat bertemu hanya berdua saja dengan dosennya.
“Kirim ... tidak ... kirim ... tidak.” Jari jempol Niki melayang siap menekan tombol hijau di ponselnya.
“Kirim ... aaahhhh!” Niki menjerit setelah pesan yang ia kirimkan sudah terbaca oleh Farel. Ia melempar ponselnya ke atas ranjang, lalu menutup wajahnya dengan bantal. Dadanya bergemuruh menunggu pesan balasan dari dosennya.
“Baik. Jam satu di perpustakaan.” Balasan singkat dari Farel membuat Niki menjerit untuk kedua kalinya.
Belum genap jam satu siang, Niki sudah duduk di sudut perpustakaan kampusnya, dengan laptop menyala dan setumpuk buku. Tentu saja itu hanya untuk mempermanis penampilannya. Niat sesungguhnya adalah dekat dan semakin dekat dengan dosen tampannya.
“Maaf saya terlambat.” Farel berjalan cepat dan langsung mengambil posisi duduk di depan Niki. Saat Farel menaruh tumpukan buku di atas meja, ada sesuatu yang menarik perhatian Niki.
Cincin?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
sakura
..
2023-05-01
1
Elisabeth Ratna Susanti
like plus favorit ❤️
2023-04-28
0
Suharni Merianti
ikut Thor
2023-02-18
0