Dini hendak menjawab pertanyaan Syifa, tapi mulutnya kembali kaku ketika mendapatkan pertanyaan lagi. Lelaki yang ditemuinya tadi membuat rasa takut menjalar ke tubuh. Irul, lelaki bernama Khoirul Anam itu adalah pria yang menggoreskan kepedihan di hidup Dini.
Ingatkah Dini pernah bercerita dia hamil dengan siapa? Irul adalah orangnya. Ya, lelaki itu yang membuat semua kekacauan dalam hidup remaja itu. Air mata mengalir dari pelupuk mata.
Syifa semakin terkejut dengan respon yang diberikan Dini. Kenapa malah menangis? Salahkah pertanyaan yang dia lontarkan? Wanita itu memeluk gadis remaja yang tengah hamil lima bulan ini.
Dini menghapus air matanya lalu dengan tenang dia tersenyum. "Saya tak kenal dengan lelaki tadi, Bu."
"Panggil Kakak, Din. Dini yakin tak kenal dengan Bang Irul?" desak Syifa karena jawaban Dini berbanding terbalik dengan ekspresi wajah yang dia tunjukkan.
"Iye, buat apa saya berbohong. Saya tak kenal." Dini berusaha meyakinkan Syifa.
Syifa menatap mata Dini sedalam mungkin, dan dia menemukan ada kebenaran yang mencoba bersembunyi di balik tirai netra tersebut. Baik, jika Dini tetap seperti ini, dia harus mencari cara lain.
Hati Syifa sangat yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Dini dan Irul. Respon Irul saat bertemu dengan Dini saja sudah membuat pertanyaan besar dalam benak Syifa.
Mungkinkah? Terka Syifa dalam hati. Segera dia tepis dan berpura-pura percaya pada Dini. Ia akan mencari tahu sendiri jika remaja itu tetap menutupinya.
Dini mengganti topik pembicaraan tentang Jodha. "Memang Kakak dan Bang Jodha sedang marahan?"
"Ha? Oh, ini, ada suatu salah paham gara-gara Bang Irul. Apakah dia kalau marah memang diam seperti itu?" tanya Syifa.
Dini mengangguk, "Bang Jodha kalau diam menyebalkan. Lebih baik dia pecicilan dan banyak tingkah daripada diam."
"Lalu, bagaimana caranya agar dia luluh dan meredakan kemarahannya?" cecar Syifa ingin tahu.
Dini tersenyum mendapatkan pertanyaan itu. Kenapa Syifa ingin tahu sekali cara meluluhkan kemarahan Jodha?
"Kakak suka ya sama Bang Jodha?"
Wajah Syifa seperti ditempel air hangat sehingga membuatnya memerah. Dia malu dengan Dini, mudah sekali dia ditebak. Sebegitu kentaranya sampai sangat gampang orang menilainya?
Eh, sebentar. Sejak kapan rasa itu hadir? Syifa tidak mau memungkirinya. Memang perasaannya pada Jodha berbeda jika dibandingkan dengan Irul.
"Ish, cepatlah kasih tahu Kakak, apa yang bisa meredakan kemarahan abangmu itu?" paksa Syifa.
"Mmm ..., apa ya? Dulu waktu kecil, kalau abang marah suka dibelikan mamak es lilin pisang," jawab Dini. Karena memang Jodha tidak pernah marah ketika dewasa, itulah mengapa dia menyebutkan ingatannya waktu kanak-kanak.
Syifa menggaruk tengkuk leher, bingung sendiri. Di zaman sekarang sulit mencari es lilin. Dia tidak ingin semakin digoda oleh Dini, akhirnya obrolan malam itu terhenti. Mereka memilih merebahkan diri.
Mata Syifa tidak bisa terpejam, aneh sekali rasanya. Seperti ada sesuatu yang masih mengganjal dan belum dilakukan. Muncul wajah lelaki itu di depan mata Syifa. Tampak aura kemarahan muncul dari dalam dirinya.
"Dia beneran marah? Kenapa nggak konfirmasi dulu sih kalau marah?"
Syifa merutuki sendiri mulutnya. Haruskah marah dikonfirmasikan teelebih dahulu pada yang bersangkutan? Aneh bidan satu ini. Dia mencoba lagi untuk terpejam. Setengah jam telah berlalu, masih saja netra itu ingin melihat keindahan malam.
Tok-tok-tok!
"Assalamu'alaikum, Bu bidan!" ucap seorang lelaki dari luar rumah Syifa.
Segera sang pemilik rumah bangkit dari ranjangnya bergegas membuka pintu. Syifa mengintip dari jendela rumah, terlihat Jodha bersama sepasang suami istri berdiri di depan pintu praktiknya.
Syifa membuka pintu dan mempersilahkan pasiennya masuk.
"Saya pamit," ucap Jodha dengan nada datar.
Syifa hendak mencegahnya, tapi waktu tidak mendukung mereka. Dia menghela napas pasrah.
"Terima kasih telah mengantarkan mereka kesini. Abang ..., pulangnya hati-hati." Syifa mencoba untuk tidak terlihat kecewa.
"Pasti, Assalamu'alaikum." Jodha tidak menunggu jawaban dari Syifa. Dia langsung balik badan dan pergi.
"Wa'alaikum salam," jawab Syifa melihat punggung lelaki itu menjauh.
Wanita itu harus segera menolong pasiennya. Dia menyuruh sang pasien naik ke bed dan menunggu dia bersiap sebentar. Syifa membangunkan Mita agar membantunya menjadi partner empat tangan.
Ya, persalinan mengharuskan bidan memiliki teman sehingga jika terjadi kegawatan salah satu bisa fokus pada ibu atau bayinya. Mita segera bergegas dan bersiap. Syifa mengecek pembukaan pasien itu, ternyata sudah enam sentimeter. Dia ingat, pasien ini tidak pernah periksa dengannya. Saat ditanya buku KIA yang berwarna pink pasien lupa membawanya.
"Ibu, Bapak, mohon maaf, buku pink itu adalah media komunikasi antara tenaga medis yang satu dan lainnya. Boleh minta tolong diambilkan, Pak?" pinta Syifa dengan sopan.
"Aduh, besok saja bisa bu bidan?" Suami pasien bernegosiasi dengan Syifa.
"Maaf, Pak. Saya butuh informasi tentang riwayat pasien. Jadi, Bapak tetap harus mengambilnya." Syifa tetap menginginkan buku KIA itu.
Suami pasien malah marah dengan ucapan Syifa. Dia berpikir bahwa bidan itu meragukan kesehatan istrinya. Mita sangat geram jika ada pasien seperti ini.
"Pak, kami ini butuh informasi tentang istri Anda. Coba saya tanya bagaimana hasil laboratnya? Bisakah Anda menjelaskan ke kami?" Mita meninggikan nada bicaranya. "Dimana rumah Anda? Biar saya antarkan kalau memang jauh!" imbuh Mita.
Syifa membiarkan Mita berdebat dengan suami pasien. Sedangkan dia hendak melakukan pemeriksaan swab antigen. Saat akan dicek, pasien menolak dengan alasan sudah dilakukan oleh bidan lain.
"Ha? Bentar, Ibu sudah ke bidan lain?" Tanya Syifa.
Suami pasien langsung memelototi istrinya. "Siapa nama bidannya?" tanya Syifa.
Pasien dan suami tidak mau menjawab. Dengan kesal Syifa bertanya di grup bidan. Menanyakan pasien tersebut, ada yang membalas. Ternyata pasien tersebut memiliki riwayat penyakit kuning, hasil HbSAg nya positif. Selain itu antigen pasien juga positif, riwayat kehamilan dengan tindakan sesar jarak kurang dari dua tahun.
Syifa tidak habis pikir dengan pasien seperti ini. Kenapa berpikir sangat pendek?
"Kami rujuk ke rumah sakit, Pak, Bu." Syifa membawa peralatan yang dia butuh.
Suami pasien menolak untum dirujuk dengan alasan takut korona. Syifa tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya.
"Jangan mikir pendek, Pak! Istri Anda itu punya riwayat penyakit kuning, yang mana itu bahaya untuk bayi! Pernah melahirkan sesar dengan jarak kurang dari dua tahun resiko terhadap rahimnya! Hasil swab positif, kalau nanti bayi kalian lahir disini dengan sesak napas bagaimana? Bisa Anda bertanggung jawab? Atau malah nanti menyalahkan saya karena tidak merujuk? Tolong jangan ambil keuntungan, saya niatnya cuma menolong!" Syifa sampai menangis mengatakan hal itu.
Dalam kondisi pandemi seperti ini masih saja ada pasien yang membohongi tenaga medis seperti itu. Mita bergegas mempersiapkan mobil dan membawa peralatan yang sudah disiapkan. Suami pasien hanya terdiam tidak tahu berbuat apa.
***
Maaf,
Bukan kami tidak mau menolong, tapi ada batasan yang kami miliki. Ada kode yang selalu mewanti-wanti kami dalam bertindak.
Maaf,
Bukan tidak mau menolong, tapi lebih kepada kami ingin ibu dan bayi tertolong.
Maafkan kami jika belum semaksimal mungkin dalam melayani.
(Bidan Indonesia)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Kenapa Dini malah diem aja,Bodoh,Harusnya laporin ke polisi,kalo dia masih bebas gitu,yg ada malah banyak yg jadi korbannya..🤦🤦
2024-04-24
0
Bunda Aish
tantangan terberat para nakes waktu Corona luar biasa, semangat ya thor
2023-01-22
1
Okie Larasati
semangaaat bu bidan seluruh Indonesia,,
2022-10-08
1