Pertemuan

Jodha mulai bekerja pada hari senin nanti, sekarang dia sedang membersihkan rumah dinasnya karena hampir dua tahun tidak ditempati. Bisa dibayangkan debu setebal apa yang menempel di setiap perabot rumahnya. Jika dikerjakannya sendiri, pasti tidak akan selesai. Dia meminta bantuan Bang Burhan dan Bang Acok untuk membantunya.

Mereka mulai mengeluarkan sofa berwarna coklat itu. Lalu menyalakan vacum cleaner menyedot debu yang menempel. Bang Acok membantu Jodha mengangkat kasur untuk dijemur. Atap rumah, lantai, dapur, dan segala sudut ruangan tersapu bersih. Jodha dan kedua seniornya merebahkan diri di lantai setelah menyelesaikan semuanya.

"Jodh, bagaimana kau dengan kak bidan?" tanya Bang Burhan.

Bang Acok juga penasaran dengan kisah asmara mereka. Bersiap mendengarkan juniornya bercerita.

"Alhamdulillah," kata Jodha mengembangkan senyum manis itu. "Ada berkah dibalik musibah yang merundung keluarga besar kami. Aku kemarin bisa mengobrol santai dengannya, Bang! Bagus nggak tuh? Apalagi dia langsung to the point, kenapa aku suka sama dia? Aih ..., rasanya ingin aku gigit pipinya yang menggemaskan itu, Bang!"

Bang Burhan dan Bang Acok menayar kepala Jodha. Memangnya Syifa apa bisa digigit seenaknya?

"Kapan mau kau ajak pengajuan, Jodh?" tanya Bang Acok.

"Secepatnya! Bisa mati kepalang rindu lagi aku kalau tidak cepat kuajak pengajuan, Bang!" Semua tertawa dengan perkataan Jodha.

"Kakak bidan itu baik, Jodh. Tak punya kawan yang masih jomblo ke?" tanya Bang Burhan mengerlingkan kedua matanya.

Jodha dan Bang Acok berpura-pura tidak mendengar ucapan Bang Burhan. Mereka sudah malas mengenalkan Bang Burhan pada wanita. Setiap sudah akan siap dikenalkan, dia selalu mangkir. Seperti menghindari acara pertemuan itu.

Bang Acok juga pernah mengenalkan teman istrinya untuk Bang Burhan, tapi ya begitu. Mereka tidak enak hati pada wanita yang akan dikenalkan pada Bang Burhan. Mereka takut nanti dikiranya mempermainkan hati wanita.

"Ih, kalian! Jawablah! Tak ade ke?" tanya Bang Burhan lagi.

"Mmm ..., Mita masih jomblo kayaknya, tapi kalau jalan sama kau sepertinya bukan selera dia!" Jodha mengungkapkan perbedaan antara Bang Burhan dan Mita.

Bang Burhan menghela napas sedih, "Kapanlah jodoh aku ni datang?"

"Ya nggak bakalan datang kalau kau tiap mau ketemuan pasti batal! Kenapa sih? Ha?" Bang Acok tidak tahan lagi dengan Bang Burhan yang tidak menyadari kesalahannya.

"Eh, aku datanglah ..., cuma waktu mau mendatangi kalian kutarik lagi langkah kakiku. Mereka terlalu cantik untuk aku yang biasa-biasa saja."

Jodha dan Bang Acok malas mendengarkan pengakuan Bang Burhan. Mereka segera bangkit dan mengerjakan hal lain, yaitu memasukkan sofa dan kasur busa. Suasana berubah menjadi mendung. Sudah lama sekali hujan tidak turun menyapa mereka.

Bang Acok pulang sebentar ke rumah dinasnya, mengambil makanan untuk kedua kawannya yang masih bujang. Sedap sekali masakan istri Bang Acok, padahal hanya telur dadar yang dibalut dengan tepung serbaguna, lalu dicolek dengan sambal bajak.

"Enak kalau sudah punya istri, apa-apa serba ada!" celetuk Jodha yang belum merasakan omelan sang wanita ketika semua habis. Sabun cuci pakaian, piring, gas, sampo, bahan dapur, beras, bayar sekolah anak, listrik dan air raib secara bersamaan.

"Berumah tangga itu jangan hanya memikirkan enaknya saja, Jodh. Abang nih sering dihadapkan dengan semua yang serba kepepet. Jadi saran Abang, kau pikirkan juga lah sisi tidak enaknya. Kak Ria kau tuh sering ngomel kalau semua habis dan belum ada uang untuk membelinya." Bang Acok sedikit memberikan petuah bagi duo bujang itu.

Bang Burhan heran dengan Bang Acok, kenapa sering sekali kekurangan? Seakan tahu yang ada di dalam kepala kawannya, Bang Acok tersenyum getir.

"Uang gaji aku nih bukan cuma untuk keluarga intiku, aku masih harus membiayai adikku kuliah, bapak mertuaku yang terkena gagal ginjal. Tapi, aku bersyukur mendapatkan istri seperti Ria. Dia selalu bisa mengenyampingkan kebutuhannya untuk semua keluarga kami. Dengarkan, kalau hidupmu masih tentang dirimu sendiri itu artinya kamu belum bisa bermanfaat bagi dunia."

Bang Burhan dan Jodha menjadi terdiam. Tidak tahu harus berkomentar apa. Bang Acok hanya tersenyum melihat ekspresi para temannya. Makan siang usai, Bang Burhan dan Bang Acok kembali ke rumah mereka. Rintik hujan mulai deras mengguyur kota Ketapang.

Jodha berbaring di sofa dan memegang ponselnya. Berusaha menghubungi Syifa. Saat panggilan video tersambung, dia merasa kaget dengan orang yang menerima panggilannya. Lelaki yang datang menemui Syifa saat ia baru saja bertemu dengan gadis pujaannya adalah orang yang menerima panggilan itu.

"Maaf, Bang. Dik Syifa sedang tidak bisa diganggu. Tolong jauhi dik Syifa karena dia adalah pacar saya," ucap Irul seenaknya.

Jodha mengernyitkan keningnya bingung. Syifa pacaran dengan lelaki kemarin? Kenapa dia tidak jujur padanya? Berarti benar pria itu adalah pacar Syifa?

Lagi dan lagi, perasaan Jodha bagaikan dihantam bola besi yang sangat besar. Remuk, hancur, menjadi kepingan yang sangat kecil dan berserakan. Kenapa Syifa tidak jujur padanya? Lalu, harus bagaimana dia menyikapi ucapan lelaki itu?

"Oh, maaf mengganggu. Saye cuma nak tanya adik saye yang menginap di rumah bu bidan kok, Bang. Santai, ye? Janganlah marah-marah. Okeylah kalau macam tu, saye pamit. Assalamu'alaikum!" Jodha mengakhiri percakapan yang hampir saja membuat emosinya meledak. Suara Irul terdengar sangat tidak ramah.

Syifa datang dengan membawa uang untuk membayar tagihan obatnya. Mendapati ponselnya berada di genggaman Irul. Wajah lelaki itu juga sangat menakutkan. Dengan kasar gawai itu dilempar ke arah Syifa. Untung saja langsung bisa ditangkap, bagaimana jika meleset? Pasti jatuh berkeping-keping dan hancur.

Syifa mengernyitkan dahi dan tidak suka dengan sikap Irul. "Kamu kenapa sih, Bang?" tanyanya dengan nada kesal.

"Nggak usah gatal sama lelaki yang menelponmu itu! Aku tidak suka! Ganti nomormu itu!" Irul mendikte apa yang harus dilakukan Syifa.

"Gatal? Ganti nomor? Memang aku gatal sama siapa? Kenapa juga aku harus ganti nomor?" Syifa juga membalasnya dengan nada mulai meninggi.

"Karena aku tidak suka tentara itu menelponmu! Kamu itu milikku!" geram Irul pada wanita itu yang sedari tadi tidak mengerti.

Syifa tertawa keras mendengarnya. Miliknya? Apa Irul waras mengatakan hal ini? Sejak kapan diri wanita itu menjadi milik lelaki yang kerap meminjam uang itu?

"Milikmu? Sejak kapan? Aku tidak ada hubungan denganmu," ucap Syifa menyadarkan Irul.

Irul geram dengan sikap Syifa. Jelas sekali dirinya ditolak oleh wanita itu dengan mengatakan hal menyakitkan dan nada kesal. Hampir saja tangan itu menampar pipi Syifa tapi dicegah oleh seseorang.

Dini adalah orang yang menyelamatkan Syifa dari tamparan Irul. Dia juga mendorong tubuh lelaki itu agar menjauh dari mereka. Suasana menjadi pelik. Irul terkejut mendapati Dini disana. Begitupun dengan Dini.

"Kamu?" kata Irul dengan nada sangat terkejut.

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Pasti irul yg hamilin dia kan?

2024-04-24

0

Ria Julita Sari

Ria Julita Sari

kyak nya bener si irul tu yg hamilin dini,udh Jodha hajar aja kyak iyo2 o wae milik ku hamili anak orang gk mau tanggung jwab uh dasarr

2023-05-11

1

Choco_33

Choco_33

hayo Rul tanggung jawab Kamu. Nggak malu main klaim diri pacarnya Syifa padahal Kamu udah hamili anak gadis orang. Ckckckck Ayo Bang Jodha Kita bungkus Si Irul

2022-08-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!