Hari silih berganti dengan cepat dan tidak terasa. Hanya penat dan lelah yang selalu menggelayuti mereka. Tapi, semua lelah dan penat mereka terbayar lunas saat ada pasien dengan positif Covid-19 telah sembuh, ataupun ada pasien yang melahirkan selamat ibu dan bayinya.
Syifa juga sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Jodha. Sama-sama sibuk adalah alasan utama. Yang kedua, mereka memberikan ruang bagi diri mereka untuk saling menyadari tentang perasaan masing-masing.
Sore itu Syifa sedang duduk santai di ruang praktiknya. Menunggu jika ada pasien yang datang padanya untuk periksa. Bukan pasien yang datang, justru sales obat yang menemuinya.
"Assalamu'alaikum," ucap sales obat itu.
Syifa menjawabnya.
"Wa'alaikum salam." Syifa keluar dan menghampiri sales obat itu. Wajahnya sangat asing bagi Syifa. Meskipun memakai masker, tapi jika kita mengenal betul orang itu pasti tidak akan salah.
"Siapa, ya?" tanya Syifa.
"Oh, kenalkan, saya sales dari apotek x. Penggantinya Pak Roni. Saya Irul, dengan Bu Syifa?" kata Irul mengulurkan tangannya.
Syifa mengangguk dan menjabat tangan Irul. Lalu Syifa mengecek pesanan obatnya. Semuanya lengkap dengan jumlah yang sesuai pesanannya. Syifa membayar obat tersebut dengan cara mentransfer ke rekening sang pemilik apotek.
"Pak Roni sudah tidak di apotek x, Bu." Irul memberitahukan kabar yang belum diketahui oleh Syifa.
"Oh, terus beliaunya kemana?" tanya Syifa.
"Buka usaha sendiri di rumah katanya, boleh saya minta nomor Bu Syifa? Jadi nanti kalau order obat langsung ke saya saja bisa, Bu."
Syifa mengangguk, mereka bertukar nomor ponsel untuk urusan pekerjaan. Setelah urusan sales itu selesai, Syifa mulai menekuri pekerjaannya kembali. Yaitu menata obat di lemari. Mengurutkannya sesuai jenisnya, misal antibiotik di rak paling bawah. Obat lambung dan diare di rak kedua, dan seterusnya sesuai dengan yang dikelompokkan Syifa sendiri.
Mita masuk dan duduk di kursi pasien sambil membawa cemilan. Meraih ponsel Syifa dan membuka akun IG milik Syifa. Tangan Mita sedang gatal untuk mengusili Syifa. Dia mengirim pesan pada akun Prajuritperang_90.
Syifazahro : Kamu kemana? Kok nggak pernah DM aku lagi?
Prajuritperang_90 : Assalamu'alaikum, eh, ada keajaiban apa ini?
Syifazahro : Hihihi, lupa. Wa'alaikum salam. Keajaiban yang diluar dugaan! Lagi dimana?
Prajuritperang_90 : Lagi mendarat di bandara. Habis ini karantina 14 hari sebelum pulang ke Ketapang.
Syifazahro : Oh, hati-hati ya!
Syifa yang telah selesai menata obat dan melihat ponselnya berada di tangan yang salah, segera merebutnya. Dia melongo tidak percaya dengan keusilan Mita. Bisa-bisanya dia mengirim pesan kepada Jodha.
Bisa besar kepala Jodha jika tahu dia mengirim pesan terlebih dahulu. Syifa langsung mengirim pesan lanjutan ke Jodha. Yang akhirnya, membuat Jodha sedih dan kecewa.
Syifazahro : Maaf, hp ku dibajak sama temen.
Prajuritperang_90 : Ternyata benar dugaanku. Aku kira kamu memang mencariku. Huft, gini ya rasanya patah sebelum tumbuh? Oke, maaf mengganggu waktunya.
Syifa membaca pesan balasan itu. Tersirat makna kesedihan di dalamnya. Membuatnya merasa bersalah telah mengirim pesan lanjutan tadi.
"Gara-gara kamu nih, Ta! Dia sedih lho! Tanggung jawab! Minta maaf, gih!" kata Syifa bersungut-sungut tidak habis pikir dengan tingkah Mita.
Mita malah tertawa keras dan menjawab kekesalannya dengan santai.
"Itu kan salahmu sendiri. Orang tadi dia udah seneng banget! Eh, kamu pake kirim pesan lagi ke dia. Kamu lah yang minta maaf! Kemarin belum minta maaf juga, kan? Dobel lho minta maafnya!" Mita langsung terbirit-birit meninggalkan ruang praktik Syifa.
"Hish! Dasar Mita mito! Awas saja kamu!"
Syifa duduk untuk meredakan kemarahannya. Membaca kembali pesan itu. Lalu teringat kembali dengan pasiennya yang bernama Jodha. Segera dia mencari status pasien bernama sama itu.
Ketemu!
Syifa mengambilnya lalu membaca data pribadinya.
"Jodha Prawira, usia 30 tahun, anggota TNI Kodim Ketapang. Berarti bener dong dia pasien aku? Berarti yang nitip salam sama aku selama ini itu dia? Duh, bentar lagi balik ke Ketapang! Gimana kalau dia gangguin aku?"
Syifa berbicara pada dirinya sendiri. Dia mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. Dia kembali membaca tulisannya di lembar status pasien itu. Tertulis tahun 2020, yang artinya dua tahun kejadian lalu itu.
Syifa bernostalgia dengan secuil kenangannya bersama Jodha. Lelaki itu datang bersama salah satu temannya, yaitu Bang Burhan ke tempat praktiknya. Kepala Jodha berdarah karena terbentur sisi kontainer. Darah mengucur banyak dari luka itu.
Syifa dengan sabar dan penuh perhatian menghentikan perdarahannya. Lukanya cukup panjang tapi tidak terlalu dalam.
"Ini harus dijahit, sekitar lima jahitan. Gimana?" tanya Syifa pada Jodha.
"Ya udah Bu, jahit saja!" jawab Bang Burhan.
Syifa sedikit tertawa mendapati jawaban Bang Burhan. Pasalnya, yang terluka adalah Jodha.
"Nggak takut jarum suntik, kan?" tanyanya sembari melebarkan senyumannya.
Membuat Jodha terpaku dan diam membisu.
"Sstt! Ditanya bu bidan! Jahit ya?" Bang Burhan membuyarkan lamunan bujangan itu.
Jodha mengangguk, membuat Syifa segera menyiapkan peralatannya. Bang Burhan keluar sebentar karena menerima telepon. Membuat mereka berdua dalam satu ruangan.
"Kenapa bisa berdarah, Pak?" tanya Syifa sembari mencukur rambut lelaki itu.
"Kena sisi kontainer, Bu." Jodha melihat Syifa yang sibuk mengurus dirinya
"Oh," jawab Syifa sangat singkat.
Syifa menghampiri Jodha yang tengah tengkurap di bed pasien itu. Memberitahukan SOP tindakan penjahitan yang akan dilakukannya.
"Saya anestesi dulu, nanti rasanya seperti digigit semut. Kalau sakit, teriak saja nggak papa, asal jangan gerak ya, Pak?"
Jodha hanya mengangguk pertanda paham. Syifa mulai membius lokal daerah luka itu. Lalu menunggunya sebentar agar ada reaksi. Setelahnya, Syifa mulai menjahit luka itu.
"Bapak sudah lama kerja di Kodim?" tanya Syifa mencairkan suasana.
"Baru pindah kesatuan, Bu bidan sendiri sudah lama buka praktik disini?"
"Hampir setahunan, Pak! Saya bukan asli orang sini." Syifa mengungkapkan jati dirinya.
Obrolan pun mengalir dengan sendirinya. Syifa tersadar dari lamunannya. Mengusap wajahnya kasar.
"Apa iya aku keterlaluan? Haruskah aku minta maaf? Duh, jadi galau kan?"
***
Jodha dan teman-temannya sudah berada di rumah karantina. Mereka akan dikarantina selama empat belas hari sebelum bisa bertemu dengan keluarga. Saat masuk bandara, mereka telah disemprot desinfektan terlebih dahulu. Setelah itu, mereka diwajibkan untuk tes PCR. Dan selanjutnya mereka dikarantina selama 14 hari ke depan.
Jodha merebahkan dirinya di ranjang empuk itu. Kembali teringat akan pesan itu. Padahal hatinya sudah gembira saat Syifa mencarinya. Tidak tahunya, itu hanyalah ilusi sesaat yang dibuat oleh teman Syifa.
Sekarang dia menjadi bingung sendiri untuk langkah selanjutnya. Apakah akan terus menerus mengejar Syifa? Atau cukup berhenti sampai sini saja? Galau, sekarang itulah yang dia rasakan.
Ada pesan masuk lagi di akun instagramnya. Jodha mengerjapkan matanya saat ada notifikasi masuk dan menerangkan bahwa si pengirim pesan adalah Syifazahro. Cepat-cepat dia membukanya berharap tadi memanglah dia yang mengirim pesan.
Syifazahro : Maaf membuatmu tersinggung. Lain kali akan aku privasi ponselku. Sekali lagi maaf.
Jodha melempar ponselnya ke sembarang tempat. Berharap ponsel itu hancur seperti hatinya. "Huft! Kenapa malah minta maaf sih, dik? Kenapa nggak bilang gini 'ayo pengajuan, bang'. Gitu kan enak dengernya!"
Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Jodha segera bangkit dan membukanya.
Ceklek!
"Ngapain di kamar terus?" ucap Bang Yogi, salah satu seniornya.
Jodha hanya menghela napas sebagai jawaban. Yogi mengerutkan keningnya melihat ekspresi itu.
"Pasti tentang cewek, nih! Nggak mungkin nggak, ya kan?" tanya Yogi.
Jodha mengangguk. Yogi nyelonong masuk ke kamar Jodha dan mencari barang bukti itu. Ponsel yang tergeletak di lantai. Segera membuka dan membaca pesan di IG yang masih terbuka.
"Perjuangin, Jod! Aku rak mundur dik!" ucap Yogi setelah selesai membaca pesan itu.
Jodha langsung tersenyum mendengarnya. Jadilah mereka berdua menjadi gila di kamar. Menyanyikan lagu tepung kanji dengan riang dan keras.
"Aku rak mundur dik, seko atimu
Masio sadaya rak merestuiku.
Koyo tepung kanji, nang nduwur mejo
Gusti ngerestuni, wong tuo biso opo?"
Isyarat bahwa lagu itu menggambarkan tekad Jodha untuk terus maju demi mendapatkan cinta Syifa.
**
Jika masih ada ruang di hatimu untukku,
Tolong bicaralah sedikit saja,
Pada tanah yang membentang,
Pada pepohonan yang rindang,
Dan pada angin yang mengusik sunyinya tenang,
Setidaknya biar ada tanda untuk kubaca dan kuraba,
Janganlah sepi yang hadir,
Janganlah semu yang membeku,
Karena aku selalu berjalan menujumu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
rorosableng
dunia halu..memang warrrrr
2024-05-01
0
Bunda Aish
lho kok jabat tangan Syifa sama sales obat,kan jaman covid ga boleh... hehehe
2023-01-22
1
misu
kenapa namanya harus jodha sihh thorr,,,jadi inget gue film indiaaa🤣🤣
2022-11-05
3