Hari ke-tujuh.
Arra turun dari kamarnya masih dengan baju tidur warna dongker yang dia kenakan, berjalan tanpa semangat menuju meja makan dimana kedua orang tuanya berada. Lagi Arra enggan untuk masuk sekolah, orang tuanya hanya memaklumi. Dari pada harus menyuruh Arra untuk berangkat ke sekolah dan berakhir dengan Arra yang kembali ke rumah pada pukul 9 siang, lebih baik membiarkan Arra memboloskan? Yah mungkin itu pendapat kedua orang tua Arra yang memahami betul bagaimana sifat Putri mereka yang akan kehilangan semangatnya tanpa Shendy di samping Putri mereka itu. Shendy memang membawa pengaruh yang luar biasa untuk Arra. Bahkan mungkin kalau Shendy meninggal kelak, Arra akan cepat menyusul. Mungkin.
Arra mendudukkan dirinya di kursi yang biasa dia duduki, menatap ke samping tempat dimana biasanya cowok yang sudah dia anggap sebagai sahabat itu duduk dan ikut sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Sunjaya menatap Sang Istri yang juga sedang menatapnya kemudian mengalihkan pandangan kearah Sang Putri tercinta.
“Arra?” Arra menoleh sekilas setelahnya kembali menatap kursi yang kosong tepat di samping kirinya.
“Arra kangen Shendy?” Sunjaya bertanya. Arra sontak memfokuskan pendangnya pada Sang Papah.
“Enggak kok Pah, kenapa juga Arra harus kangen sama Shendy? Shendy itu-kan nyebelin!” Sunjaya mengangguk-anggukan kepala.
“Ouh gitu. Kirain Arra kangen Shendy. Padahal Papah baru aja mau ngusulin supaya Arra nyusul ke rumah Nenek Ainun.” Sunjaya tersenyum penuh arti. Arra berfikir sejenak.
“Itu juga kalo Arra mau. Udah ah, Papah sama Mamah mau berangkat ke kantor dulu. Kamu baik-baik di rumah.” Sunjaya bangkit di susul Sang Istri kemudian berlalu setelah menjatuhkan kecupan di kening Putri Sematawayang mereka.
“Nyusul?”
Arra bergumam pelan, setelahnya senyum terbit di kedua sudut bibir Arra. Dengan segera dia beranjak dari meja makan dan menuju kamarnya. Tak lupa mengatakan pada Bi Sari kalau dia sudah selesai makan. Walau nyatanya dia bahkan belum menyentuh satu pun makanan yang berada di atas meja.
Arra akan menyusul Shendy hari ini! Yah dia akan menjemput Sang Sahabat mengesalkannya itu!
Flasback off --------------------------------------------------
--
“Jadi Arra niatnya mau nyusul Shendy?” Shendy bertanya setelah menengguk jus mangganya. Arra mengangguk, membenarkan pertanyaan Shendy barusan.
Mereka masih duduk di sofa yang sama. Arra masih sedikit sesenggukan, tapi air matanya sudah berhenti keluar dari kelereng coklat gelap miliknya. Dengan begitu Arra menceritakan semua yang dia alami pada Shendy selama satu minggu tanpa cowok itu di sampingnya. Shendy sempat kesal saat Arra menceritakan bahwa beberapa kali Sergio mendekatinya dan berusaha mengajaknya untuk mengobrol, tapi saat tau Arra menolak ajakan mengobrol dari Sergio dengan cara mencuek-kan cowok itu. Shendy cukup bahagia.
Shendy juga sempat merasa terkejut mengetahui bahwa Reno memang menyukai Arra dan masih berusaha mendekati Arra, dari cerita Arra yang di dengarnya itu. Entah kenapa saat mengetahui hal itu Shendy sedikit merasa kecewa dan merasa bersalah. Membuat Shendy semakin bingung saja akan sikap Reno yang sering kali berubah. Kadang cuek dan menganggap seolah Arra benar teman, kadang bersikap seperti cowok yang menyukai cewek, kadang begitu mesum dan penuh obsesi, dan bahkan terkadang sifat Reno seperti musuh yang ingin membalaskan dendam pada Arra.
Arra menepak tangan Shendy saat cowok itu hendak mencomot keripik singkong rasa balado miliknya.
“Kok di tepak sih Ra? Shendy kan cuma mau ngambil keripik doang.” Keluh Shendy sambil mengusap tangan yang menjadi korban geplakan Arra.
“Sejak hari dimana Shendy yang lebih mentingin Reikka, dan buat Arra sedih terus nangis di Ruangan Shendy. Semenjak saat itu Arra udah janji gak bakal ngebolehin Shendy makan keripik singkong rasa balado punya Arra!” Arra mengepalkan tanganya ke atas.
“Itu janji Arra!!” Teriak Arra dengan lantang. Sementara Shendy memberenggut kesal.
“Yahh, kok gitu sih Ra? Kan Shendy juga pengen.”Shendy mulai bicara dengan nada yang dibuat-buat. Sok manis!!!
Arra bergidik jijik saat Shendy memajukan bibir bawahnya yang sedikit tebal itu.
“Hehhh, Shendy jangan gitu.” Arra mendengus tidak suka.
“Kenapa? Shendy lucu yah?” Shendy mulai ge-er.
“Lucu dari mananya? Arra jijik liat Shendy kayak gitu!” Shendy kembali menundukan kepala sedih.
“Arra gitu banget sih sama Shendy.”
“Shendy juga gitu banget sama Arra.” Arra membalikan.
“Gitu banget gimana sih Arra? Shendy tuh gitu banget gimana sama Arra?” Shendy kesal sendiri.
“Gitu banget gimana sih Shendy? Arra tuh gitu banget gimana sama Shendy?” Arra membalikan kata- kata Shendy lagi.
Shendy mendengus. Dia kesal tapi merasa bahagia secara bersamaan, kesal karena Arra yang membalikan kata-katanya dan senang karena bisa kembali merasa kesal akibat cewek itu. Rasanya kekosongan di hati Shendy yang cowok itu rasakan selama satu minggu ini sekejap hilang hanya karena melihat Arra. Kalau begini rasanya Shendy rela terus-terusan di buat kesal kalau itu bisa bikin Arra tertawa seperti saat ini dan kekosongan dihatinya menghilang.
Karena jujur saja, rasa kosong itu tak mengenakkan. Membuat sesak, membuat gusar, membuat tak berdaya penuh sesal. Ahh sungguh rasa yang sulit dideskripsikan! Shendy tak tau harus menjelaskannya seperti apa. Intinya dia gak suka dan tak mau lagi merasakan kekosongan itu. Tidak mau!
Arra menghentikan tawanya kala mengingat sesuatu yang sudah mengganggu pikiran nya sejak tadi. Dia menatap Shendy yang masih menunduk pura-pura kesal.
“Shendy.” Shendy mengangkat kepalanya, menatap Arra yang memanggilnya dengan tatapan’ Kenapa?’ Dengan binar bahagia yang terpampang jelas di kedua manik mata milik Shendy.
“Arra mau nanya sesuatu sama Shendy.”
“Nanya apa?” Shendy kembali menengguk jus mangganya.
“Biasanya Shendy kalo ke rumah Nenek Ainun gak pernah sampe satu minggu kok sekarang sampe seminggu sih? Gak ada apa-apa kan sama Nenek Ainun?” Arra bertanya khawatir.
Shendy terdiam sejenak berfikir apa dia harus mengatakan kalau ini semua adalah permintaannya Om Sunjaya dan Tante Ratna, atau berbohong saja, dan kalau Shendy harus jujur berarti dia juga harus berterus terang tentang semua kejadian yang dia alami? Baiklah Shendy tak mau berbohong pada Arra. Dia akan berterus terang. Bukannya itu sudah menjadi peraturan dalam persahabatan? Ya, Shendy akan berterus terang.
“Heheh sebenernya ini semua permintaannya Papah sama Mamahnya Arra.” Arra mengangkat satu alisnya heran.
Shendy menghembuskan nafasnya sebentar sebelum menceritakan semuanya pada Arra.
“Jadi gini... Pas Arra berangkat sekolah pas hari itu tuh....” Shendy menatap Arra.
“Sebelum Shendy pergi itu?” Arra bertanya.
“Iya, pas sarapan itu! Kan Arra pergi gitu aja, nah pas itu Shendy cerita kenapa Arra sampe marah sama Shendy. Terus Shendy nanya sama Om Sunjaya sama Tante Ratna juga, Shendy nanya kan mereka marah gak sama Shendy? Ehh Papah sama Mamah Arra malah geleng-geleng kepala dan bilang kalo bisa nggak Shendy ke Bandung-nya jangan 3 hari satu minggu aja? Gitu.” Shendy menatap reaksi Arra yang terkesan masih menuntut untuk mengetahui dengan penuh cerita darinya. Shendy kembali mengambil nafas sejenak, sebelum memulai kembali bercerita.
“Terus di situ Shendy heran-kan kenapa harus satu minggu, gitu? Mamah sama Papah Arra bilangnya gini ’Biar Arra kangen sama Shendy terus nyusulin ke Bandung.’ Gitu kata Om Sunjaya sama Tante Ratna “
Shendy menirukan gaya bicara Sunjaya. Arra menatap Shendy kesal, namun pertanyaan- pertanyaan semakin bermunculan di kepalanya.
“Terus Shendy setuju aja gitu?” Arra bertanya memastikan.
“Ya, karena Mamah sama Papah Arra yang minta jadi Shendy setuju aja. Walaupun Shendy kesiksa sendiri sih.” Shendy tertunduk sedih.
“Hhahah kita sama berarti.” Arra menjatuhkan dua kali tepukan di bahu Shendy.
“Ehh bentar. Berarti Shendy satu minggu beneran di rumah Nenek Ainun?” Shendy menggeleng.
“Lah terus?” Arra bertanya tak mengerti
“Shendy sama Papah cuma 3 hari di rumah Nenek, kaya biasa.” Shendy tersenyum melihat Arra yang semakin ingin tahu.
“Terus pulang kerumah?”Shendy menggeleng.
“Sebenernya, sebelum pulang kita mampir ke rumah Tante Risty. Tau kan?” Arra mengingat sebentar, kemudian menggangguk tanda ingat.
“Yang dokter itu kan?” Shendy mengangguk.
“Iya. Kan rumah Tante Risty ada di Perumahan Elit, nah pas jalan ke rumah Tante Risty, Shendy liat satu unit rumah yang di jual.
Di situ Shendy langsung Sherching kira-kira berapa harga rumah di kawasan itu. Dan pas Shendy liat harganya gak sampe setengah dari tabungan Shendy selama satu tahun, jadi Shendy beli deh rumah yang Shendy liat itu lewat Tante Risty.” Arra semakin heran.
Terbukti dengan kedua alisnya yang bertaut dalam mencipta kerutan di kening cewek itu.
“Jadi selama 4 hari Shendy tinggal di sana?”
“Lebih tepatnya sih 2 hari.” Arra mengerutkan keningnya penuh tanya.
“Kan harus di bersihin dulu Ra rumahnya, terus juga Shendy harus beli prabotan sama nge-dekor beberapa bagian rumah, yah dua hari baru selesai.” Arra membulatkan bibirnya membentuk huruf O dan mengeluarkan suara H.
“Abis berapa?”
“Yahh tabungan satu tahun lah.” Shendy berkata cuek.
“Arra jadi mau liat, yukk kesana!” Ajak Arra antusias.
“Nanti aja Ra.”
“Ihh kok gitu, kan Arra mau liat.” Shendy hanya diam.
“Ouh Arra tau. Pasti karena rumah-nya kecil dan dekorasinya jelek jadi Shendy gak mau nujukin ke Arra. Iya kan?”
“Ehh enak aja! Dekorasi Shendy gak pernah jelek yah. Gak inget apa rumah Arra ini siapa yang dekor?” Shendy menyombongkan.
“Helehhh yah udah ayok kalo emang bagus. Arra mau liat!”
“Nanti aja. Kalo waktunya udah tepat.” Arra memberenggut kesal.
“Janji gak lama dehh.” Wajah Arra kembali ceria.
“Janji yah?” Shendy mengangguk.
“Iyah.” Arra tersenyum senang. Menikmati jus mangganya dengan tenang dan dengan usapan lembut tangan Shendy di kepalanya yang dia rindukan selama satu minggu ini.
“Ouh iyah Arra kenapa pas Pelantikan Osis baru gak berangkat?” Shendy bertanya tanpa menghentikan usapan lembutanya pada cewek yang sekarang bersandar pada dadanya itu.
“Males, gak ada Shendy. Eh bentar... Shendy kok tau Arra gak ikut?” Arra mendongakkan kepalanya.
“Jangan bilang Shendy berangkat pas Pelantikan itu?” Shendy mengangguk, dengan senyum yang tak lepas dari bibir cowok itu.
“Iyalah Ra, masa Shendy gak dateng, kan Shendy Ketua Osis yang lama.”
“Ihh Shendy kok gak bilang sama Arra kalo Shendy dateng. Kan Arra jadi gak ikut Pelantikan Osis baru. Gak liat Ketua Osis baru di lantik juga. Ahh Shendy ngeselin nih....”Arra memukul-mukul bahu Shendy sedikit keras.
“Aduahh Ra, kok Shendy sih yang di pukul. Kan Arra sendiri yang gak berangkat.” Shendy meringis.
“Yah tapikan Shendy yang salah. Kenapa gak nelfon Arra terus suruh Arra berangkat, atau kalo enggak bisa nyuruh yang lain buat ngabarin Arra gitu... Ouhh Arra tau, pasti Shendy juga-kan yang nyuruh semua temen-temen buat gak ngabarin Arra?” Shendy terkikik. Arra menatap kesal dengan kedua tangan yang dilipat didepan dada.
“Maaf deh. Eh Ra mau tau gak gimana acaranya berlangsung?” Arra membuang muka, enggan menoleh.
“Yehh ya udah. Padahal yah, pas acara Pelantikan tuhh seruuuu bangett, semua anak-anak pada nangis inget masa-masa kumpul di RO, terus Osis barunya juga gak pada songong, ngehargain plus hormat banget sama Osis yang lama.” Arra menoleh. Shendy melirik sekilas.
“Seruu banget dehh, apa lagi pas Pak Anhar bilang kalo Osis angkatan kita tuh Osis yang paling terbaik dan minta buat Osis yang baru ngecontoh kinerja kita yang gak pernah ngeluh kalo cape atau kekompakan kita yang bisa dibilang the bast. Sumpah itu sedih banget. Ehh pulangnya ada hal yang bikin Shendy enekk pake banget bang-” Shendy menutup mulutnya yang telah berkata sesuatu yang seharusnya tidak dia ucapkan. Arra menatap Shendy penuh selidik.
“Hal apa?” Shendy menggeleng.
“Enggak, bukan apa-apa.” Arra menatap Shendy curiga.
“Hal apa?” Arra mendekatkan wajahnya pada wajah Shendy.
“Bukan apa-apa Ra.”
“Bohong. Ayo cerita!” Tuntut Arra.
“Udah lah lupain, gak penting!” Arra semakin curiga.
“Enggak! Cepet cerita.” Arra terus memaksa.
“Arra yakin mau dengerin?” Arra menggangguk.
“Janji gak marah?” Arra mengangguk.
“Oke deh Shendy bakal cerita.” Arra tersenyum senang. Dia mulai mendengarkan dengan baik. Shendy mengatur nafasnya. Dan memulai cerita.
Flasback, pulang sekolah setelah Pelantikan Osis baru.
“Gimana lo udah ngartikan?” Tanya Shendy pada Ketua Osis yang baru saja dilantik itu.
“Ngarti Bang.” Ketua Osis baru itu mengangguk mengerti akan tugasnya sebagai Kepala dalam Organisasi.
“Bagus. Lo harus jadi lebih baik lagi dari pada gwe Nad.” Pinta Shendy pada Ketua Osis baru pemilik nama Rainad itu
“Siap Bang. Gwe bakal usaha buat jadi lebih baik dari lo.” Rainad berujar yakin, Shendy tersenyum tipis menepuk bahu Rainad bangga.
“Lo boleh pulang duluan, gwe mau ngemasin barang-barang gwe dulu. Nanti kunci ruangan gwe kasih besok.”
Rainad mengangguk patuh, mengambil tasnya dan beranjak dari sofa yang dia duduki tadi dengan tas yang cowok itu sampirkan pada bahu kiri. Cowok itu berlalu setelah bertos ala cowok dengan Shendy dan pamit pulang terlebih lebih dulu.
Shendy tersenyum, dia beranjak dari sofa yang semula dia duduki menuju meja kebanggannya. Meja kerja Ketua Osis. Shendy tersenyum, dia tidak menyangka masa satu tahun menjabat sebagai Ketua Osis telah berlalu dengan cepat. Dia hanya perlu melaksankan ujian, lulus, kuliah dan meneruskan bisnis kedua oarang tuanya yang sudah diamanatkan kepadanya.
“Ahha waktu emang bergulir dengan cepat yah.”
“Iyah.” Shendy menoleh saat seseorang menyahuti monolognya.
“Eh lo San, gwe kira siapa. Lo belum pulang?” Shendy bertanya ramah pada cewek yang tak lain adalah Wakilnya selama menjabat sebagai Ketua Osis.
“Belum, masih ada barang gwe yang ketinggalan.” Sandra berucap santai.
“Ouh. Kirain cuma gwe yang masih ada di sekolah setelah Rainad pulang tadi.” Shendy mengedikan bahunya sekilas.
Sandra melihat sekeliling, dan mulai berjalan mendekati Shendy yang kini terduduk di kursi yang berada di balik mejanya, sambil membuka laci mencari flasdisk milik cowok itu yang dia letakan di sana.
Shendy menatap Sandra aneh saat cewek itu dengan santainya duduk di atas meja tepat di depan laci yang akan Shendy cek untuk melihat apa ada barangnya yang tertinggal di sana.
“Lo kenapa duduk di situ?” Shendy masih bertanya sopan.
“Ouh come on Shendy, gwe tau lo cowok normal yang bakal manfaatin keadan kalo cuma berdua gini kan?” Ucap Sandra dengan sedikit membungkukan badanya kearah Shendy dan membelai wajah Shendy dengan jari telunjuknya secara sensual.
Shendy tersenyum sinis, ternyata berita yang menyebar di kalangan teman-temanya yang mengatakan kalau Wakilnya itu cewek ‘Gak bener’ ternyata memang benar. Hah Shendy tidak menyangka. Melihat sifat yang selalu cewek itu tunjukan di depannya ternyata hanya palsu. Shendy tersenyum masam.
“Gwe gak nyangka ternyata ini sifat asli lo?” Shendy masih membiarkan Sandra membelai wajahnya menggunakan telunjuk cewek itu.
“Yes. Ini sifat gwe. Dan ini gwe. So wanna play with me baby?” bisik Sandra dengan sangat sensual tepat di depan wajah Shendy.
Happ...
Shendy mencengkal tangan Sandra yang hendak membuka kancing atas bajunya. Menatap Sandra sinis, Shendy tersenyum meremehkan. Sebelum menghempaskan tangan Sandra kasar.
“Uhwoww, gwe sangat tersanjung sama tawaran main lo San. Tapi sayang...” Shendy menjeda ucapanya. Cowok itu berdiri dari posisi duduknya.
Sandra turun dari meja saat Shendy berdiri tepat di belakang posisinya duduk tadi, cewek itu menatap Shendy masih dengan wajah yang dibuat seseksi mungkin yang justru mengesalkan di mata Shendy. Shendy balas menatap Sandra yang posisinya sama berdiri tepat didepannya. Mendekatkan wajahnya pada wajah Sandra membuat Sandra mengulas senyum senang. Shendy mengukir smrik sinisnya melihat Sandra yang tersenyum seolah berharap dia akan mencium cewek itu. Dengan perlahan Shendy memiringkan wajahnya dan berbisik.
“Gwe gak minat sama tubuh lo yang udah di obral sana-sini itu.” Shendy menarik wajahnya dan berbalik hendak pergi meninggalkan Ruangan sebelum kalimat Sandra membuatnya mengurungkan niat untuk meninggalkan Ruangan dengan cewek itu yang masih dalam posisi semula.
“Halah, munafik lo. Emang apa sih yang udah si Arra manja itu kasih ke lo? Hah?!”
Shendy dengan cepat berbalik dan mendekat ke arah Sandra yang sekarang berdiri di depan meja Ketua Osis. Menatap Sandra dengan tatapan datar namun menghunus tajam, membuat Sandra yang di tatap seketika terdiam takut.
“Jangan pernah sekali pun lo bandingin Arra sama lo. Dan yang harus lo tau. Lo gak ada apa- apanya dari pada Arra. Bahkan tubuh lo yang lo bangga-banggain itu gak ada sedikitpun bagusnya dari pada Arra. Jadi stop lo bertingkah kaya gini cuma buat hal yang gak berguna!” Shendy menatap Sandra marah. Kemudian mengambil tasnya cepat dan pergi dari ruangan dimana Sandra yang Shendy anggap cewek baik dan memiliki hati manis- semanis wajahnya itu ternyata gak sebaik yang dia kira.
Brakkk...
Shendy menutup pintu Ruang Osis dengan keras. Tanpa memikirkan pintu itu kan rusak atau tidak nantinya. Dia hanya tidak suka dan benci siapa pun yang menghina atau membanding-bandingkan Arra dengan keburukan mereka. Sungguh Shendy sangat tidak suka. Beruntung Sandra cewek kalau cowok sudah Shendy pastikan Sandra akan berakhir di rumah sakit dengan beberapa tulang yang patah. Sedangkan Sandra di dalam ruangan berteriak seperti orang kesetanan.
“Dasar cowok sialan!” Makinya pada Shendy yang sudah tak terlihat oleh mata.
Shendy berjalan cepat, tanpa perduli akan sapaan dari tukang bersih-bersih bahkan sampai Guru yang hendak pulang pun cowok itu abaikan. Dia marah, enggan menjawab sapaan dari siapa pun. Perduli setan jika Para Guru yang menyapanya tadi akan menganggapnya kurang sopan atau apalah.
Shendy tak perduli! Bahkan cowok itu mengabaikan Ketua Osis baru yang hendak berjalan kembali ke arah Ruang Osis. Shendy tak perduli. Dia amat tak perduli.
Flasback off.
“Arra gak nyangka Sandra kaya gitu.” Komen Arra saat Shendy mengakhiri ceritanya.
“Shendy juga.”
“Tapi harusnya Shendy jangan ngomong kasar kaya gitu.” Arra mengingatkan. Shendy di buat tak percaya dengan kalimat Arra barusan.
Bagaimana tidak? Sandra telah menghina Arra tapi Arra justru mengatakan padanya bahwa di tidak seharusnya berkata seperti itu? Benar-benar Arra ini.
“Yah ampun Ra. Dia pantes di kasarin kaya gitu. Lagian kan cuma omongan, untung Shendy masih inget kalo dia itu cewek. Kalo enggak mungkin sekarang dia udah ada di Rumah Sakit.” Shendy tak habis pikir.
“Shendy gak boleh gitu, gimana pun Sandra itu cewek. Dan perasaan cewek itu lebih lembut dari pada kembang gula, kalo dibakar pake api pasti sirna. Sama kaya itu, kalo Shendy sedikit aja ngomong kasar pasti akan membekas dan bekasnya bakal sulit buat hilang.”
Shendy menatap Arra tak mengerti. Namun dia sadar, Arra adalah cewek yang sangat mudah prihatin dan mengsihani. Jadi wajar Arra berkata begitu. Juga apa yang diucapkan Arra ada benarnya. Arra diam saat Shendy dengan gerakan cepat menarik tubuhnya untuk cowok itu peluk dan balas memeluk cowok itu tak kalah erat pula.
“Ra, Shendy sayang Arra.” Arra mengangguk dalam pelukan Shendy yang hangat bagai selimut bagi Arra.
-
Shendy baru saja keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar Arra, hari ini dia telah berjanji untuk menginap di rumah sahabatnya itu. Itung- itung sambil menyalin perlajaran yang terlewat setelah dia izin satu minggu. Walaupun Shendy tak yakin bisa menyalin semua pelajaran yang tertinggal, karena dia tau Arra membolos di beberapa pelajaran tertentu, tapi setidaknya Shendy sudah menyalin beberapa pelajaran.
Kan...kan?
“Sini-in buku Arra.” Shendy berkata setelah dia duduk dengan sempurna di kursi yang bersebrangan dengan kursi Arra.
Kali ini mereka mengambil tempat di balkon yang terdapat meja dan dua kursi. Tempat biasa mereka mengerjakan tugas atau belajar. Arra menyerahkan semua buku-bukunya selama satu minggu pada Shendy, yang telah disiapkannya tadi saat cowok itu mandi.
“Shendy jadi nginep di sini kan?” Arra kembali menanyakan hal sama seperti sebelum Shendy mandi tadi.
“Iyah Ra, kan Shendy udah janji sama Arra.” Shendy mulai menyalin.
“Dikamar Arra?”
“Enggak di kamar sebelah.” Arra tertunduk sedih. Shendy diam-diam mengulum senyum.
“Enggak bercanda.” Arra kembali mendongakkan kepalanya, tersenyum tersenyum dengan lebar.
“Jadi Shendy tidur di kamar Arra kan?” Arra memastikan. Shendy mengangguk.
Arra berteriak girang, melompat-lompat selayaknya anak usai 5 tahun yang mendapatkan permen loli.
“Udah Ra, jangan teriak-teriak gitu, nanti ganggu tetangga.” Shendy memperingatkan, Arra menutup mulutnya dan duduk kembali.
Shendy menggelengkan kepala, tak mengerti akan sifat Sang Sahabat yang selalu ceria saat bersamnya, begitupun dia yang merasa bingung pada diri sendiri yang selalu bahagia dan senang kalau sudah bersama Arra.
Rasanya semua beban dan kesedihan akan hilang hanya dengan melihat Arra tersenyum.
-*-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments