Begitu Zahra sampai di rumah, sopir langsung turun dan membukakan pintu untuknya. " Terima kasih ya, Pak." ucap Zahra turun.
"Sama-sama, Bu. Semoga kedepannya ibu lebih bahagia lagi."
"Panggilan saja Zahra, Pak," ucap Zahra yang merasa tak enak.
"Baik, Nak. Selamat malam, kejarlah kebahagiaanmu." Sopir pun meninggalkan pekarangan rumah Arham. Zahra hanya melihat sopir mobil itu hingga mobil itu menghilang dan ia pun masuk ke dalam dan Semua itu dilihat oleh Wani dari balik tirai.
"Wah ... wah ... wah ternyata sekarang selain kau tak berguna menjadi seorang menantu Kau juga perempuan murahan sekarang. Apa karena Arham tak memberimu uang yang banyak lagi jadi kau mencari mangsa pria kaya di luar sana? Siapa yang mengantarmu tadi? Apa kamu selingkuh di belakang suamimu?" ucap Wani yang membuat Zahra kembali mengingat perselingkuhan suaminya. Zahra yang ingin naik ke kamarnya menghentikan langkahnya.
"Dasar ya Kamu, bukannya berterima kasih pada Arham masih menganggapnya Seorang Istri kamu malah pergi dengan pria lain."
"Dengar ya, Bu. Jaga ucapan Ibu, jangan sembarang menuduh orang tanpa bukti."
"Kamu diantar pulang menggunakan mobil mewah kamu bilang itu bukan bukti? Kamu pikir ibu akan percaya jika kau mengatakan jika kau hanya menumpang?"
"Terserah ibu percaya atau tidak." Zahra kembali ingin melangkah.
"Zahra, ibu peringatan padamu, jika kau masih mau numpang di rumah ini jangan berani kau mencoreng nama baik Arham dengan berselingkuh."
"Ibu aku tak berselingkuh dan tak pernah terbersit sedikitpun di hatiku untuk melakukan apa yang Ibu katakan. Jika Ibu ingin menuduh Siapa yang selingkuh itu adalah putra Ibu sendiri, jangan mengarahkan tuduhan itu kepadaku."
Mendengar jawaban Zahra membuat Wani merasa kesal. Namun, ia hanya diam selama ini ia tau kelakuan Arham diluar sana, ia tau hubungnya dengan Nasya.
"Mereka hanya teman," jawab Ibu.
"Jadi ibu sudah tau semuanya dan berpura-pura tak tau." Zahra hanya menggeleng melihat Mertuanya itu kemudian melanjutkan langkahnya.
Sesampainya di kamar Zahra terduduk di lantai, bersandar di pintu kamarnya. Walau ia berkata ingin kuat dan tegar, semua perkataan yang hanya keluar dari bibirnya. Namun, hatinya tetap saja terasa sakit. Penghianatan yang dilakukan oleh suaminya itu sangatlah membuat hatinya terasa pedih, hancur sudah semua harapannya selama ini untuk kembali memperbaiki rumah tangga mereka. Zahra melihat cek yang ada di tangannya kemudian ia melihat buku tabungan yang selama ini dikumpulkannya sedikit demi sedikit untuk melakukan program bayi tabung.
"Aku tak boleh seperti ini. Jika Mas Arham sendiri tak peduli dengan perjuanganku untuk apa aku memperjuangkannya."
Zahra menelpon karyawannya di kota x meminta ia untuk menjual butiknya.
Zahra kembali melihat cek dan jumlah tabungannya serta menambahkan kisaran harga jual butik yang ia punya, " Semoga saja ini cukup untuk memulai semuanya. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku akan meminta saran ibu Reni, aku yakin Ibu Rani adalah seorang wanita yang bisa mengerti perasaan wanita lain, ia pasti bisa membantuku," ucapnya masih mengingat kata-kata dari karyawan yang bekerja di sana jika Ibu Reni bahkan memberi bantuan modal dan juga mengarahkan beberapa pelanggan mereka ke beberapa pegawai yang sudah berani membuka butik sendiri.
"Aku juga sudah memiliki pelanggan." Zahra mengingat ucap Arga yang akan kembali memesan jas buatannya.
Sekarang tujuan Zahra adalah ingin hidup mandiri terlepas dari semua rasa sakit dan penghinaan yang selama ini dirasakannya, tak lagi ada keinginannya untuk program bayi tabung demi menjaga dan memperbaiki kehidupan rumah tangganya. Ia hanya ingin bahagia.
****
Zahra berbaring di tempat tidur, ia terus menunggu suaminya pulang.
Saat jam menunjukkan pukul 02:30, Zahra bisa merasakan saat suaminya itu pulang. Ia pun bangun dan menatap suaminya yang terlihat tersenyum bahagia.
"Mas baru pulang?" tanyanya.
"Iya, aku banyak kerjaan dan harus lembur," jawabnya sambil membuka pakaiannya.
"Mas mau mandi atau mau langsung istirahat?" tanyanya yang kini duduk dan menatap suaminya.
"Aku sudah mandi di kantor. Aku mau langsung istirahat saja."
"Mas mandi di kantor?" tanya Zahra menatap suaminya dengan tatapan mencurigakan.
"Iya, tadi aku sangat gerah makanya aku mandi Sebelum pulang. Ayo kita tidur, aku sangat lelah," ucapnya kemudian Ia pun berbaring dan menarik selimut meminta Zahra untuk tidur di sampingnya.
"Mas tidur saja. Aku ingin shalat tahajud," ucapnya kemudian berjalan menuju ke kamar mandi, begitu menutup pintunya Zahra membekap mulutnya. Pikiran negatif sudah memenuhi kepalanya, ia bisa melihat kebahagiaan dan kedekatan suaminya bersama dengan Nasya dan sekarang suaminya sudah mandi dan pulang jam 03.00 Subuh.
"Aku tak sebodoh itu, Mas," ucapnya mengeratkankan genggamannya menahan rasa sakit yang kembali menyerangnya. Zahra menghirup udara sedalam-dalamnya dan kemudian menghembuskannya dengan perlahan, ia terus mengulanginya sampai rasa sesak dan perih di dadanya berangsur menghilang.
"Baiklah jika itu yang kau inginkan," ucapnya kemudian ia menghapus air mata membasuh wajahnya dengan air wudhu dan melakukan shalat tahajud meminta petunjuk agar memberi kejelasan untuk rumah tangganya, haruskah ia berpisah atau terus melanjutkannya.
****
Pagi hari Zahra tak keluar kamar seperti biasa, tak juga menyimpankan pakaian kerja suaminya.
Zahra memanjangkan dirinya dengan berendam, sambil sesekali bersenandung, tak seperti biasanya yang selalu terburu-buru.
Arham yang juga ingin mandi masuk ke dalam dan Ia langsung mandi di bawah shower, membiarkan Zahra bersantai dengan busa yang memenuhinya.
"Kamu nggak ke butik?" tanyanya.
"Tentu saja aku akan butik," ucapnya yang langsung turun dan ikut bergabung mandi di bawah pancuran shower di mana suami juga sedang berdiri di sana. Membasuh busa wangi yang memenuhi tubuh polosnya.
Sudah sangat jarang Arham menyentuhnya. Ia baru menyadari mungkin semua itu bukan karena ia kelelahan, tapi karena suaminya sudah tak lagi membutuhkan kehangatannya dan sudah memiliki seseorang untuk menyalurkan hasratnya.
Arham pria yang normal, tubuhnya langsung bereaksi melihat apa yang Zahra lakukan. Saat ia ingin menyentuhnya, Zahra menolak dan mengatakan jika ia sudah terlambat. Zahra keluar lebih dulu dari kamar mandi meninggalkan Arham yang terus menatapnya dengan tatapan kecewa dengan hasrat menggebu-gebu.
Begitu Arham keluar Zahra sudah tak ada di kamar. Ia juga tak melihat pakaiannya seperti biasanya yang sudah disiapkan di atas kasurnya.
"Kenapa Zahra tak menyiapkan pakai untukku," gerutunya menuju ke lemari mengambil sendiri pakaiannya.
Saar keluar kamar Arhan melihat Zahra yang sudah sarapan lebih dulu. Ia pun ikut bergabung bersama dengan Zahra, tak lama kemudian Wani juga ikut bergabung. Biasanya dialah yang terakhir datang ke meja makan.
"Maaf, Mas. Bisakah mas mengantarku hari ini? Aku mohon."
"Tapi," ucap Arham kembali ingin menolak, tapi Zahra langsung memotong pembicaraannya.
"Mas, untuk kali ini saja! Aku sedang males menaiki taksi. Aku mohon, boleh ya hari ini aja," ucapnya memohon.
"Baiklah aku akan mengantarmu," ucap Arham akhirnya.
Mereka pun sarapan, Zahra melirik suaminya yang terlihat mengetik sesuatu di ponselnya. Zahra mengeratkan genggamannya pada kedua sendoknya.
'Apa mas Arham mengirim pesan itu pada Nasya? Apa selama ini mas Arham lebih memilih mengantar Nasya ke kantor daripada mengantarku ke butik walau aku sedang sangat terburu-buru?' batin Zahra.
Semua perubahan dan tingkat aneh suaminya tak disadari karena tertutup rasa percaya, tapi tidak untuk saat ini. Semuanya penghianatan itu terlihat jelas di matanya.
"Zahra, Ini bukan kamu lagi yang buat 'kan?" tanya Wani yang tahu membedakan masakan Bibi dengan masakan menantunya itu. Ia akui masakan Zahra jauh lebih enak daripada masakan yang sering asisten rumah tangganya masak untuk mereka.
"Iya, Bu. Mulai hari ini aku tak bisa memasak lagi, aku juga sibuk. Pelanggan di butik makin banyak. kami sampai kualahan dan jika mengerjakan pekerjaan rumah aku takut akan mengecewakan Ibu Reni, pemilik butik. Jika cara kerjaku lambat. Lagian kan ada bibi. Iya kan, Bi?" ucap Zahra melihat ke arah Bibi yang kebetulan memberikan tambahan makanan di meja makan.
"Tentu saja, Semua ini tugas bibi. Semua pekerjaan biar Bibi yang mengerjakannya." Bibi tersenyum melihat sikap Zahra pagi ini.
🌹🌹🌹
Rekomendasi Author.
Napen : Imma Dealova
Judul : Maduku, Racunku
Yuk mampir 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
MiraBeauty
wah ayo zahra aku yakin kamu pasti bisa
2022-08-26
1
Arie
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2022-08-21
0
tuti latifah
semangat Zahra
2022-08-10
0