Zahra yang sudah selesai dengan pekerjaannya menghampiri Arham. Tadi ia sempat melihat Arham berdiri menatapnya.
"Mas, apa yang ditunggu ibu adalah wanita yang akan dikenalkan kepada, Mas?" tanya Zahra menghampiri suaminya yang sedang memakai pakaian lengkap. Zahra baru melihat baju yang di kenakan suaminya itu.
"Aku juga tidak tahu, ibu hanya memberikan pakaian ini untuk aku pakai. Ia juga mengatakan jika akan ada tamu. Aku juga tak tau siapa mereka," jawabnya masih dengan merapikan pakaiannya.
"Apa Mas akan menerima perjodohan yang ibu lakukan?" tanyanya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Arhan terdiam, ia tak tahu harus mengatakan apa.
"Apa mas masih mencintaiku?" tanyanya lagi dan kini dengan suara bergetar.
Alham berbalik dan membawa Almaira ke tempat tidur, mereka duduk berhadapan. Arham menggenggam kedua tangan Zahra dengan begitu erat.
"Zahra, kau jangan pernah meragukan cintaku padamu. Aku sangat mencintaimu, tapi kau tahu sendiri kan aku tak bisa membantah ibuku."
"Kenapa Mas? Kenapa hanya itu saja alasan yang kau berikan kepadaku? Aku tahu dia adalah ibumu, tapi tak semua hal harus diaturnya. Kau bukan anak kecil lagi, Mas! Kau juga punya hak atas dirimu, atas kebahagiaanmu, atas rumah tangga kita," ucap Zahra menegaskan kata rumah tangga dalam kalimat terakhirnya.
"Aku minta maaf," jawabnya menunduk.
"Minta maaf dan terus minta maaf. Hanya itu kah yang bisa Mas lakukan? Semua itu tak akan mengubah apapun, Mas! Aku tahu aku bukanlah istri yang sempurna untukmu, aku telah gagal untuk membahagiakan rumah tangga cinta, aku tak bisa secepatnya memberikan keturunan pada keluarga ini, tapi apakah itu sebuah dosa? Apakah semua ini salahku? Aku juga tak ingin dalam kondisi ini, Mas. Ini semua hanya takdir yang tak bisa aku cegah. Aku tak punya daya. Mas, aku juga ingin bahagia." Zahra sudah menetes air matanya. " Aku juga ingin menjadi seorang ibu, aku juga ingin bahagia." Zahra terisak, ia merasa sangat sakit dan tak dihargai.
Arham membawa Zahra kepelukan.
Suara ketukan menghentikan percakapan mereka.
"Pak Arham, ibu memanggil Anda. katanya Anda diminta kedepan menyambut para tamu," jawab Bibi setelah mengetuk pintu kemudian kembali mengetuk setelah mengucapkan pesan dari majikannya.
Arham berdiri dan buka pintu, melihat bibi yang masih berdiri di sana.
"Iya, Bi. Terima kasih, aku kan keluar," jawabnya.
Arham hanya melihat Zahra yang masih terduduk di tempatnya, menatapnya yang masih sesegukan. Namun, ia tetap memilih keluar menghampiri ibunya. Zahra semakin terisak akan hal itu. Ia menutup matanya, membiarkan air ata menetes dipelupuk matanya. Zahra memegang dadanya yang terasa sesak.
"Mengapa semua ini terjadi padaku, apakah ini ujian yang harus aku lalui. Ini terlalu berat," ucapnya menengadahkan pandangannya ke atas, seolah mengadu pada penciptaan. "Apa aku wanita hina hanya karena diriku yang tak bisa memberi seorang bayi untuk keluar ini. Aku juga ingin bahagia, aku tak ingin dalam posisi ini, ini terlalu menyakitkan," ucapnya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, punggungnya bergetar saat ini Zahra sedang menahan isak tangisnya, ia tak ingin suaranya terdengar hingga keluar, karena itu hanya akan membuatnya semakin terlihat lemah dimata mereka.
Suara ketukan kembali terdengar membuat Zahra mendongak menatap pintu kamarnya.
"Bu, ibu Wani menyuruh ibu ke ruang makan," ucap bibi dari balik pintu.
"Iya, Bi." Zahra menjawab bibi dengan Teriak.
Zahra masuk ke kamar mandi, membersihkan wajahnya dan memberikan sedikit make up, menyembunyikan wajah sebabnya. Zahra berpikir mertuanya memanggilnya untuk ikut makan bersama dan ia tak boleh terlihat lesu di hadapan wanita yang akan dikenakan oleh suaminya.
Zahra mencoba untuk tersenyum melihat pantulan wajahnya di cermin dan ia pun keluar meyakinkan hatinya, menguatkan hatinya untuk tetap sabar dan ikhlas.
"Zahra, kamu itu lama sekali sih." teriak Wani saat melihat Zahra berjalan menghampiri mereka. "Cepat siapkan makanan untuk kami," ucap ibu.
Zahra yang ingin duduk kembali berdiri mendengar permintaan ibu mertuanya itu.
Zahra melayani mereka, memberikan apa yang mereka tunjuk.
Sesekali Zahra melirik Arham yang terlihat hanya menunduk malu melihat dirinya yang diperlakukan layaknya seorang pembantu. Wani beberapa kali mengucapkan kata jika dia lelet dan tak berguna.
"Wani, di mana istri Arham?" tanya Tanti saat mengambil lauk dari Zahra.
"Depanmu itu ada istri tak berguna Arham, istri yang tak bisa memberikan keturunan kepada Arham. Merepotkan saja," ucapnya membuat Zahra mengepalkan tangannya, memegang eret piring yang baru saja dikembalikan Tanti.
Tanti terdiam, ia tak menyangka jika wanita yang sedang melayani mereka ini adalah istri pertama dari pria yang akan dijodohkan dengan anaknya, Tanti bisa melihat wajah kesedihan dan tangan yang bergetar dari Zahra dan ia pun terdiam.
Nasya tersenyum sinis melihat penampilan Zahra, 'Wajahnya memang cantik. Namun, ia lebih mirip pembantu jika dilihat dari penampilannya.
'Jika ini istri dari Arham, aku dengan mudah bisa menyingkirkannya,' batin Nasya.
"Oh ya! Zahra, Kenalkan ini Nasya. Dia yang akan menjadi ibu dari anak Arham nantinya, kamu harus bersikap baik padanya. Dia akan memberikan apa yang tak bisa kau berikan kepada kami," ucap ibu mengelus lembut tangan Nasya yang duduk di dekatnya. Kata-kata itu langsung menancap tepat di hati Zahra. Belum lagi melihat senyum kedua.
"Hai, kenalkan aku Nasya." Nasya menyalurkan tangan. Namun, Zahra tak menanggapinya membuat Nasya kembali menarik tangannya. "Oh ya, aku sudah mengenal Arham sejak lama, kami bahkan pernah menjalin hubungan saat kita masih duduk di bangku SMA. Mungkin juga aku cinta pertamanya, jadi aku rasa hubungan kami tak akan sulit. Aku harap kau mau menerimaku," ucap Nasya.
"Bu, cukup! Apa itu sadar apa yang baru saja ibu lakukan padaku. Aku ini menantu di rumah ini, semua ini tak layak aku dapatkan," ucap Zahra menatap mertuanya itu.
"Berani sekali kau berkata seperti itu, memangnya siapa dirimu? Hanya menantu yang tak tau diri. Seorang istri harusnya mampu memberikan keturunan kepada keluarganya, bukannya hanya menjadi beban."
"Beban? Kalian menganggap ku sebagai beban. Apa Ibu lupa jika kami ini suami istri sah, bukan hanya dihadapan orang saja, tapi juga dihadapan Allah. Mas Arham sudah mengikrarkan janji pernikahan untuk ku, Bu. Aku ini tanggung jawabnya, bukan beban seperti yang ibu katakan."
Mendengar itu Wani terdiam, memang benar anaknya sudah menikahinya dan sekarang ia adalah tanggung jawab putranya.
"Kamu itu sadar diri dong. Kamu itu udah ga layak untuk dijadikan barang seorang menantu dirumah ini. Arham sudah bertanggung jawab terhadapmu, mengajakmu tinggal di rumah mewah ini, lalu apa yang kau berikan padanya? memberikan seorang bayi saja kau tak bisa." Celetuk Nasya.
"Nasya," tegur Tanti.
"Nasya benar. Keluarga ini membutuhkan wanita yang bisa memberikan pewaris." Wani menatap Zahra yang juga menatapnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Arie
😠😠😠😠😠😠😠😠😠org" gak punya hati
2022-08-21
1