Zahra tak bisa membendung air matanya yang jatuh menetes melihat kebohongan yang begitu menyakitkan, pria yang selama ini dianggapnya mencintainya dengan tulus ternyata tak seperti yang dibayangkannya. Selama ini dia bertahan dari hinaan mertuanya karena ia menganggap ia masih memiliki cinta Suaminya.
" Apakah Mas Arham melakukan semua ini karena dia juga kecewa padaku."
Zahra langsung melihat kepada Nindy, Nindy mengangguk dan memegang tangannya.
"Selesai kan saat kalian di rumah dan dalam keadaan tak emosi, tak baik melabraknya itu hanya akan mempermalukan kalian," bisiknya.
Zahra kembali mengangguk mendengarkan apa yang dikatakan sahabat.
"Cobaan apa lagi ini. Kenapa dia membohongiku, aku selama ini sangat percaya kepada Mas Arham, walau ibu mertuaku terus saja menghinaku, tapi aku tetap bertahan karena aku yakin dengan cinta dari masa Arham. Aku tak pernah berpikir mas Arham akan membohongiku seperti ini, tapi apa ini, Nindy?" Zahra membekap mulutnya, tubuhnya bergetar menahan Isak tangisnya.
"Sebaiknya kita bicara restoran lain," ucap Nindy membawa Zahra keluar dari restoran itu.
"Kita cari tempat lain ya," ucap Nindy saat mereka sudah ada di dalam mobil.
"Tidak, bisakah kita menunggu sampai Mas Arham keluar. Aku ingin tahu seperti apa hubungan mereka dan mau kemana lagi mereka setelah ini."
"Baiklah." Nindy mengikuti apa yang sahabatnya itu inginkan.
Setelah menunggu selama 30 menit akhirnya Arham keluar bersama dengan Nasya, hatinya semakin sakit saat melihat Nasya menggandeng tangan suaminya dan suaminya, dan Arham tak keberatan akan hal itu. Mereka terlihat tersenyum dan sesekali tertawa sambil berbincang menuju ke mobil.
"Apa kau ingin aku mengikutinya?" tanya Nindy saat mobil Arham sudah melaju meninggalkan parkiran restoran.
Zahra hanya mengandung lesu.
Mereka mengikuti mobil Arham dan ternyata mereka menuju ke kantor.
"Bisa antar aku pulang?" lirih Zahra.
"Baiklah." Nindy kembali menuruti apa kata sahabatnya yang terlihat begitu terpuruk, ia mengerti akan posisi Zahra saat ini, ia juga pernah mengalami hal yang sama. Diselingkuhi suaminya, membuat Nindy paham perasaan sakit yang Zahra rasakan.
Nindy melajukan mobilnya menuju ke alamat yang diarahkan oleh Zahra.
"Apa kamu mau mampir dulu," ucap Zahra begitu mereka sudah sampai.
"Tidak, lain kali saja, aku masih ada urusan di rumah sakit. Jika kau butuh sesuatu kau tinggal meneleponku, apapun itu dan kapanpun Kau membutuhkanku," ucap Nindy membuat Zahra mengangguk dan tersenyum. Ada sedikit harapan di hatinya bertemu dengan Sahabatnya itu.
****
Zahra terus mengurung diri di kamar, ia menangisi kebohongan suaminya. Zahra kembali mencoba menghubungi Arham setelah ia berhasil menguasai tangisannya.
"Mas, Jam berapa kamu pulang?" tanyanya. Ia sudah tak sabar ingin menanyakan langsung apa yang tadi dilihatnya.
"Mungkin aku pulang agak malam, aku banyak pekerjaan. Ada apa, apakah ada hal yang penting?" tanya Arham mengingat ini untuk kedua kalinya Zahra menelponya. Selamat ini jika ia bekerja Zahra tak pernah menggunakannya.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya ingin berbicara penting dengan Mas. Bisa kita bicarakan saat Mas pulang nanti. Ya sudah aku matikan dulu teleponnya," ucap Zahra langsung menutup teleponnya tanpa mendengar jawaban dari Arham lagi. Iya tak ingin suaminya itu mendengar suara isakannya, hatinya kembali terasa perih saat mendengar suara suaminya itu.
Zahra terus di kamar sampai suaminya itu pulang.
Jam 10 malam, Zahra mendengar suara mobil suaminya, ia langsung keluar dari kamar. Ia bahkan melewatkan makan malamnya.
"Mas mau makan atau mandi dulu?" tanyanya mengambil tas kantor Arham.
"Aku sudah makan, aku mau mandi saja," ucap Arham membuat Zahra langsung menuju ke kamar disusul oleh Arham.
Zahra meletakkan tas kerja suaminya kemudian ke kamar mandi menyiapkan air mandinya.
Setelah menyiapkan semuanya Zahra pun keluar dan mempersilahkan suaminya itu untuk mandi, ia kembali menyiapkan keperluan lainnya. Zahra duduk disisi tempat tidur menunggu suaminya itu keluar dari kamar mandi sambil menyiapkan hatinya. Ia akan mengatakan apa yang dilihatnya dan meminta penjelasan mengenai hal itu.
Setelah menunggu beberapa saat Arham pun keluar, dia menghampiri Zahra dan mengambil pakaian yang sudah disiapkan oleh istrinya itu. Zahra membiarkan suaminya itu untuk tenang terlebih dahulu sepulang bekerja. kemudian barulah ia menanyakan hal tersebut.
"Mas, aku mau bicara, apa boleh?" tanya Zahra saat suaminya akan berjalan keluar setelah memakai pakaiannya.
"Tentu saja," ucap Arham duduk di samping Zahra.
"Apa Mas begitu sibuk sebulan terakhir ini? Aku merasa mas itu seperti menghindariku."
"Iya, aku sangat sibuk. kamu tahu sendiri kan pekerjaanku sangat banyak. Hari ini saja harus lembur dan masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di ruang kerjaku. Aku tak bermaksud menghindarimu. Kamu ingin bicara apa? bicaralah aku akan mendengarkannya?" ucap Arham.
Bagaimana tentang keinginanku untuk melakukan program bayi tabung, Mas? Apakah Mas sudah memberitahu ibu akan hal itu? Tadi aku dari rumah sakit dan pihak rumah sakit mengatakan kita membutuhkan uang 50 sampai 100 juta untuk melakukan program itu.
Mendengar nominal itu Arham hanya terdiam, ia tak mungkin meminta uang sebanyak itu kepada ibunya apalagi untuk hal yang belum pasti keberhasilannya.
"Aku sudah bicara pada ibu dan ibu tak mengizinkannya," jawab Arham padahal Ia belum mengatakan apa-apa pada ibunya.
"Ya udah, nggak apa-apa kalau memang Ibu tak mengizinkan. Kita bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit uang itu kan? Kemudian melakukan program bayi tabung. Ia kan, Mas?" tanya Zahra membuat Arham hanya mengangguk.
Zahra terdiam sebentar, ia tak tahu harus mulai dari mana menanyakan hal tersebut, membuat Arham yang mengira jika Zahra sudah selesai pun berdiri dan kembali ingan ke ruang kerjanya.
"Masih ada satu lagi yang ingin aku tanyakan?"
Mendengar kalimat itu, Arham yang tadinya ingin melangkah kembali menghentikan langkahnya dan kembali duduk di samping Zahra.
"Sewaktu tadi aku menelpon Mas, apa Mas yakin berada di kantor?"
Mendengar pertanyaan itu, Arham menatapnya dengan kening berkerut.
"Maksud kamu apa? kamu mengira aku berbohong?"
"Mas di kantor atau di restoran?"
"Zahra apa sebenarnya yang kau ingin tanyakan, tak usah berbelit-belit seperti itu. Langsung saja pada pertanyaan mu!" ucap Arham.
Zahra menatap mata suaminya dengan berkaca-kaca, ia tak bisa bohong jika hatinya kembali terasa perih. "Mas berbohong 'kan padaku? Mas bukan di kantor, tapi sedang di Restoran 'kan, Mas? Mas di Restoran bersama dengan Nasya kan?" tanya Nasya dengan suara bergetar.
"Iya, aku di Restoran bersama dengan Nasya."
"Lalu mengapa Mas membohongiku?"
"Aku tak berbohong, Nasya sekarang itu adalah sekretarisku, kami hanya membahas masalah pekerjaan di restoran tak seperti yang kau pikirkan," ucap Arham yang langsung tersulut emosi mendengar ucapan istrinya itu..
"Kenapa Mas marah padaku? Aku hanya bertanya? Aku hanya ingin memastikan? Seharusnya aku yang marah karena Mas tega membohongiku. Kenapa Mas harus berbohong padaku mengatakan jika Mas di kantor tak mengatakan jika Mas di restoran bersama dengan Nasya," ucap Zahra juga ikut terpancing emosi membuat keduanya mengeraskan suara mereka dan itu didengar oleh Wani yang kebetulan lewat di depan kamar mereka.
"Aku hanya berpikir jika aku mengatakan jika aku di restoran bersama dengan Nasya itu pasti akan menyakitimu dan aku tak ingin hal itu terjadi. Lagian Kami memang hanya membahas masalah pekerjaan."
"Mas tahu itu bisa menyakitiku lalu Kenapa Mas masih berbicara di Restoran berdua dengan Nasya. Mas bisa kan membahas pekerjaan di kantor, bukankah Nasya adalah sekretaris Mas, sangat mudah membahas pekerjaan dengan sekretaris saat di kantor, tak perlu ke Restoran seperti itu apalagi sampai berbohong padaku."
"Sudahlah Zahra. Aku tak ingin berdebat masalah sepele seperti ini, aku banyak pekerjaan." Arham berjalan ke arah pintu.
"Masalah sepele? Apa Mas selama ini sering bertemu dengan Nasya seperti itu dibelakangku?" tanya Zahra lagi menghentikan Arham yang ingin keluar.
"Aku sudah bilang, aku hanya mengurus pekerjaan bersama dengan Nasya. Nasya sekretarisku kau tak usah mencurigaiku seperti itu."
"Wajar, Mas kalau aku curigamu. Mas berbohong padaku, aku melihatnya sendiri. Mas begitu terlihat bahagia setelah berbohong kepadaku. Tadi aku juga ada di Restoran bersama dengan temanku, tadinya aku ingin menghampirimu saat Mas membohongiku. Namun, aku takut tak bisa menahan diriku."
"Sudahlah aku kan sudah bilang aku sedang ada pekerjaan. Aku tak ingin membahasnya lagi," ucap Arham membentak Zahra.
Zahra terkejut dan terdiam.
Arham membuka pintu dan melihat ibunya ada di luar sana.
Tatapan tajam langsung diarahkan wanita paruh baya itu pada Zahra yang ada di belakang Arham.
"Oh, jadi sekarang kamu sudah memata-matai Arham. Dengar ya Zahra suami kamu itu bekerja, jangan kau mencurigai nya dengan tuduhan murah seperti itu. Percaya saja apa yang dikatakan oleh suamimu dan jangan sekali-kali kau mencurigainya lagi. Dasar perempuan parasit. Kamu sudah tak bisa memberikan kebahagiaan kepada suami, tapi kamu juga terus mencurigainya."
Zahra hanya diam membalas tatapan tajam mertuanya, ia yakin apapun yang dia katakan ia tak akan menang melawan mereka berdua.
"Sudahlah. Aku banyak kerjaan," ucap Arham berlalu meninggalkan mereka berdua menuju ke ruang kerjanya.
"Denger ya sekalian lagi, jangan mengganggu konsentrasi dan pekerjaan Arham, dia itu banyak pekerjaan, dia seorang CEO di perusahaannya, tak seperti dirimu yang pengangguran dan hanya merepotkan saja. Makan dan tinggal disini secara gratis tanpa bisa memberikan apapun pada keluarga ini. Jika kau tahu diri kau bisa mencari pekerjaan dan membantu suamimu, bukannya terus saja mencurigai suamimu dan meminta uang padanya." Wani menatap jijik pada menantunya itu kemudian meninggalkan Zahra yang sudah mengepal tangannya. Jika bukan karena Arham yang memintanya untuk berhenti bekerja sampai saat ini mungkin ia masih bekerja.
Tangan Zahra bergetar, ingin rasanya ia melayangkan tamparannya ke wajah mertuanya itu.
"Baiklah, kalau itu yang Ibu inginkan, aku memang bosan hidup berpangku tangan seperti ini. Menjadi pembantu di rumah ibu dengan gaji berupa hinaan. Ibu pikir aku tak bisa bekerja? Ibu salah, aku sudah terbiasa bekerja sejak dulu. Terima kasih telah memberiku saran yang bagus, Ibu." ucap Zahra mengeratkan giginya menata punggung mertuanya itu, ia pun masuk ke dalam kamar dan menelepon Nindy. Meminta pendapat kepada Nindy tentang keinginan untuk bekerja, apakah itu tak akan berpengaruh pada kandungannya.
"Itu sangat tepat, dalam hubungan keluargamu saat ini kamu harus bisa hidup mandiri dan mencari pegangan sendiri jangan hanya mengharapkan dari suamimu. Mengenai kandunganmu,
Itu tak masalah selagi kamu memilih pekerjaan yang tak mengharuskan kamu mengangkat sesuatu yang berat."
"Baiklah, aku akan mencari pekerjaan yang ringan saja."
"Aku mendukung keputusanmu 100% untuk bekerja," jawab Nindy..
"Ya sudah terima kasih, aku akan bicarakan dulu dengan mas Arham," ucapnya mematikan panggilannya.
Aku pasti bisa melewati ini semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yuni Rahma
zahra berjuang sendiri untuk mempertahankan pernikahannya,
2022-12-08
0
MiraBeauty
ya Allah aku kalau di posisi kamu ya udah pergi apalagi sejak kehilangan anak udah gak punya sesuatu untuk dipertahan kan
2022-08-26
1
Arie
💪💪💪💪💪💪💪💪💪go zahra
2022-08-21
0