Mendengar semua itu Zahra merasa sangat terhina, terlebih lagi semua itu datang dari wanita lain yang mendapat dukungan dari mertuanya.
"Apa ibu lupa aku juga pernah mengandung anak mas Arham dan aku yakin aku akan bisa mengandung kembali, tak bisakah ibu memberiku kesempatan dan waktu. Aku baru saja kehilangan bayiku, Bu?"
"Kesempatan? Kesempatan apa? Sudah jelas kan Dokter mengatakan jika kamu tak akan memiliki anak lagi."
"Ibu salah, dokter tak memvonisku seperti itu. Aku percaya, aku masih bisa memberi keturunan kepada mas Arham, kami tak butuh wanita ini. Aku bisa melahirkan anak mas Arham dari rahimku sendiri, Bu."
"Waktu, Sampai kapan? Haa? Sampai kapan kau akan membuatku menunggu? 1 tahun? 2 tahun? 10 tahun? Tidak Zahra, aku tak sesabar itu," ucap Wani berdiri menunjukkan menantunya itu dengan kesal.
Suasana makan malam berubah menegang. Zahra hanya ingin mempertahankan harga dirinya, ia tak ingin dihina seperti itu di hadapan wanita yang akan merusak rumah tangga.
Zahra terus berdebat dengan mertuanya. Wani berusaha membuat Zahra tunduk padanya dengan terus memojokkannya, menekannya dengan kata-kata menyakitkan. Nasya dengan tak tau malunya sesekali masuk ke dalam pembicaraan mereka. Sementara Tanti hanya terdiam begitu juga dengan Arham.
Arham yang seharusnya membela istrinya yang diserang dua wanita, dia justru juga ikut diam.
"Mas, kenapa kamu hanya diam? Apa kamu juga menginginkan pernikahan kalian?" tanya Zahra pada suaminya yang hanya diam layaknya sebuah pajangan. "Mas," panggilan Zahra. Namun, Arham tetap diam.
"Kenapa kamu menyalahkan Arham? semua ini salahmu," bentak ibu membuat Zahra menatap tajam pada mertuanya itu. Lagi dan lagi hanya dia yang di salah kan atas kehilangan bayinya. Zahra kemudian kembali menatap suami tak bergunanya. Selama ini ia keliru, ia berpikir bahwa ia bisa menjadikan suaminya itu pelindungnya. Namun, ternyata ia salah. Ia salah mengenali siapa sebenarnya suaminya, suami yang dinikahinya ternyata tak bisa diandalkan. Rumah tangganya tak seperti yang ia bayangkan, kekecewaan mendera batinnya. Zahra kecewa dengan sikap Arham.
Zahra yang merasa sendiri kemudian masuk ke kamarnya, ia lebih baik meninggalkan mereka daripada harus bergabung bersama dengan mereka dengan penghinaan yang ia dapatkan.
"Kamu lihat kan, itu yang kamu bilang istri yang penurut? Arham Ibu sarankan kamu menceraikannya secepatnya dan menikah dengan Nasya. Lihat! Ada wanita yang lebih baik darinya. Nasya bisa menjadi istri yang baik untukmu dan juga bisa melahirkan anak berapapun yang kau mau. Tak seperti Zahra, apa sih yang kamu lihat dari dia? Sejak awal juga Ibu sudah tidak setuju dengan Pernikahan kalian, tapi karena ibu melihatmu begitu mencintainya makanya ibu menyetujui pernikahan kalian," ucap Wani mengambil segelas air minum dan meminumnya hingga habis, ia terus mengatur nafasnya yang masih memburu. Wani merasa kesal saat Zahra terus menantangnya, ia juga merasa dipermalukan di depan tamunya. "Ibu sudah melakukan kesalahan dengan merestui hubungan kalian, Ibu akan memperbaiki kesalahan Ibu dengan memberikan wanita yang tepat untukmu," lanjutnya. Membuat Nasya yang mendengarnya tersenyum penuh kemenangan.
"Arham bisakah kita bicara berdua?" ucap Nasya. "Boleh kan Tante?"
"Tentu saja boleh, Sayang," jawab Wani. "Arham bawa nasya ke taman belakang, berbicaralah di sana. Kalian sudah lama tak bertemu, pasti banyak hal yang ingin kalian bicarakan," ucap Wani yang bernada perintah pada Putranya. Lagi dan lagi Arham dengan bodohnya berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke taman belakang sesuai dengan yang ibunya perintahkan, berjalan beriringan dengan Nasya.
Tanti menggeleng melihat Arham, pria seperti apa yang akan dinikahi oleh putrinya. Istrinya dipermalukan seperti itu dihadapannya. Namun, ia tetap diam dan sekarang dengan bodohnya dia kembali menuruti apa yang ibunya katakan.
Nasya dan Arham duduk di bangku taman di yang ada di bagian belakang rumah mereka.
"Arham. Aku tahu kamu masih mencintaiku, begitupun denganku, aku masih sangat mencintaimu."
"Nasya, kamu lihat sendiri kan, aku sudah menikah. Aku sudah memiliki Zahra di dalam hidupku."
"Apa kamu begitu mencintai istrimu itu. Ia bahkan tak bisa memberimu keturunan dan kamu masih setia dengannya?"
"Aku sudah menikahinya. Aku punya tanggung jawab atas dirinya. Aku juga bersedih atas kondisi istriku saat ini. Namun, membicarakan perjodohan di waktu ini itu sangat tak tepat. Kami baru saja kehilangan bayi kami, ia masih dalam suasana berduka. Aku mohon padamu bicaralah pada ibuku untuk menolak perjodohan ini. Aku tak mungkin meninggal dia dalam keadaan seperti ini."
"Arham, aku tak memintamu untuk menceraikannya, cukup menjadikanku istri keduamu, aku akan berbagi dengannya. Aku tak akan menuntut banyak darimu selama kau bersikap adil pada kami."
"Aku tak ingin membahas masalah ini saat ini, Nasya. Sebagai kita masuk. Aku tak ingin menambah luka di hati Zahra jika ia melihat kita seperti ini. Tolong mengertilah perasaannya sebagai sesama seorang wanita."
Nasya menghelah nafas, kemudian ia pun mengangguk.
Sementara itu di meja makan Wani dan Tanti masih menikmati hidangan makan malam mereka.
Tanti mengambil air minum dan mendorong piringnya. Ia sudah selesai makan.
"Wani, sikapmu tadi itu sangat berlebihan, kau menyakitkan perasaannya. Walaupun dia tak bisa memberikan keturunan dalam keluarga kalian, tak patut kau mengatakan semua itu padanya, apalagi di hadapan kami. Dia pasti sangat menderita saat ini, sebaiknya kamu minta Arham untuk menemaninya. kami pamit saja, kita ketemu di lain waktu kita bisa mengatur pertemuan berikutnya di luar saja."
"Kamu ini sebenarnya membela putrimu atau Zahra, aneh. Kamu bukannya memikirkan cara agar putrimu bahagia kamu malah kasihan padanya, dia itu tak pantas untuk dikasihani."
"Kami permisi dulu, kita ketemu di lain waktu," ucap Tanti tak suka mendengar jawaban dari temannya itu. Ia pun berdiri dari duduknya berjalan keluar meninggalkan Wani yang coba menghentikannya.
"Nasya, ayo kita pulang!" ucapnya saat bertemu dengan putrinya di pintu masuk.
"Aku masih ingin di sini, Bu." jawab Nasya.
"Tidak! Dengarkan ibu, Kita pulang sekarang!" ucap tegas Tanti yang sudah berjalan menuju ke mobilnya.
"Maaf Tante, kami pulang dulu. Aku senang bisa berkunjung lagi kerumah ini." ucap Nasya saat Wani menghampiri mereka.
"Nanti aku akan menghubungi kalian lagi, tapi kamu mau kan menjadi menantu di rumah ini?"
"Tentu saja tante" jawab Nasya kemudian tersenyum pada Arham sebelum ia menyusul ibunya yang sudah masuk ke dalam mobilnya.
Begitu Nasya masuk, Tanti langsung melajukan mobilnya meninggalkan kediaman teman lamanya itu, ada kekesalan di hatinya sebagai seorang wanita dan juga sebagai seorang ibu ia tak suka melihat sikap Wani kepada menantunya, jika ia bisa bersikap seperti itu kepada Zahra tak menutup kemungkinan ia juga bisa bersikap seperti itu kepada Nasya putrinya suatu saat nanti jika Nasya tak menjadi menantu seperti yang ia inginkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Arie
go Bu Yanti👍👍👍👍👍👍👍👍
2022-08-21
1
siti riyanti
tumben ibu pelakor otaknya waras thor.biasanya kan ikut miring🤣🤣
2022-08-13
1