Setelah menenangkan Zahra dan mencoba melerai pertengkaran antara istri dan ibunya Arham pun mengantar ibunya pulang.
"Arham, kamu dengar sendiri kan apa yang dikatakan Dokter tadi? Kemungkinan Zahra untuk hamil lagi itu sangat kecil, bahkan kalian disarankan untuk melakukan program kehamilan beberapa tahun ke depan. Ibu tak mau menundanya, Ibu ingin mendapatkan cucu lagi!" tegas Wani pada anaknya, saat mereka sedang dalam perjalanan pulang.
Arham tak menjawab, ia masih mencerna semua apa yang terjadi, kebahagiaannya, kecelakaan, kehilangan bayinya dan sekarang kenyataan jika Zahra mungkin tak bisa memberinya keturunan, semua itu menjadi pukulan besar bagi Arham. Ia sangat mencintai Zahra. Namun, hati kecilnya juga merasa kecewa dengan kenyataan jika Zahra tak bisa memberinya keturunan. Arham adalah putra tunggal di keluarganya, memiliki keturunan sangat penting untuk kelangsungan keturunan keluarganya.
"Arham, Ibu tak mau tahu, kau harus memberi keturunan kepada keluarga kita dan Ibu tak mau jika Ibu tak memiliki seorang cucu hanya karena kondisi Zahra," ucap ibu sebelum keluar dari mobil saat mereka sudah sampai di rumah.
Arham menyandarkan bahunya di sandaran mobil Ibunya, mobil miliknya sendiri entah dimana sekarang.
Arham menarik rambutnya merasa frustasi. Disisi lain ia mencintai Zahra. Namun, kenyataan itu begitu pahit dan dia juga tak menyalahkan keinginan dari ibunya yang menginginkan seorang cucu.
"Apa yang harus aku lakukan, mengapa semua ini harus terjadi," ucap memukul stir mobil melampiaskan segala kekesalannya. Lama ia terduduk di sana, setelah merasa lebih tenang Ia pun masuk membersihkan diri dan mengemas beberapa pakaian untuknya dan juga Zahra kemudian bergegas Kembali menuju ke rumah sakit.
Sementara itu Zahra di rumah sakit terus saja menangis, hatinya terasa sangat terpuruk.
"Mengapa semua ini harus terjadi padaku, kesalahan apa yang aku lakukan sehingga mendapat hukuman seperti ini. Mengapa aku harus diberi kebahagiaan yang begitu sempurna, kemudian diberi cobaan yang begitu dahsyat seperti ini. Apakah aku sanggup menghadapi semua ini? Apakah aku bisa melewatinya? Ini sangat menyakitkan," ucapnya terus berderai air mata. Zahra menepuk-nepuk dadanya menghilangkan rasa sesak yang semakin membuatnya kesulitan untuk bernafas.
"Maafkan ibu, Nak. Ibu tidak bisa menjagamu dengan baik, semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya ibu menjagamu sampai engkau dilahirkan ke dunia ini." Zahra terus menyalahkan kondisinya, menyalahkan dirinya atas meninggalnya bayi yang ada di dalam rahimnya. Bayangan kecelakaan itu terus kembali terlintas di kepalanya membuat perutnya terasa perih, bayangan saat bayi kecilnya menendang dan memberi gerakan-gerakan kecil di dalam rahimnya juga masih teringat jelas di benaknya, semua itu semakin membuatnya terpuruk. Ingin rasanya ia menjerit, mengadu. Namun, tak tahu harus mengadu pada siapa.
Zahra melihat ke arah pintu saat Arham datang dan menghampirinya, membawa makanan untuknya.
"Makanlah dulu, kamu pasti lapar 'kan!"
"Aku tak lapar, Mas," ucapnya membalikan wajahnya, ia tak ingin melihat suaminya. Hati kecilnya juga menyalahkan suaminya atas kejadian ini, jika saja suaminya tak mengajaknya untuk keluar dan lebih berhati-hati membawa kendaraannya mungkin Kejadian ini tak akan terjadi. Namun, ia tak mau melampiaskan semua itu, dia tahu jika semua ini sudah kehendak sang pencipta. Zahra tak ingin menyalahkan siapapun atas apa yang dialaminya. Ia tak ingin memperkeruh hubungannya dengan Arham.
"Aku tahu Kau pasti sangat terpuruk dengan kondisi ini, aku pun merasakan hal yang sama. Tapi, semua itu sudah terjadi, makanlah walau sedikit," ucap Arham mengusap punggung tangan istrinya, Ia sendiri belum makan sedikitpun tak ada rasa lapar yang dirasakannya hanya rasa sakit kehilangan bayi yang kini terus menggores hatinya, meninggalkan rasa perih di sana.
"Mas, kamu dengar sendiri 'kan apa kata dokter, jika aku mungkin tak bisa memberimu keturunan," ucap Zahra kembali menatap suaminya yang duduk disisi tempat tidurnya, setetes air mata kembali menetes saat mengucapkan kalimat itu.
"Kita jangan membahas itu dulu ya, kita pulihkan dulu kondisimu. Aku mohon!" ucap Arham yang belum bisa berpikir jernih saat ini.
Zahra mengangguk dan melihat makanannya.
"Aku tak lapar, Mas. Aku benar-benar tak ingin makan. Mas juga pasti belum makan kan? Mas aja yang makan," ucapnya mendorong makanan yang disodorkan oleh Arham.
Arham menghela nafas panjang, ia kembali menyimpan piring itu di atas meja kecil yang ada di samping tempat tidur.
"Sama halnya denganmu. Aku juga tak lapar. Sebaiknya kau istirahat lah! Aku akan menjagamu." Arham memperbaiki posisi tidur Zahra kemudian menyelimutinya. Mereka pun tertidur sambil terus berpegang tangan, mereka harus menerima kenyataan itu walaupun sangat menyakitkan bagi mereka berdua.
Setelah dirawat selama 5 hari Zahra pun dibolehkan untuk pulang. Selama Zahra dirawat di rumah sakit tak sekalipun Wani menjenguknya. Zahra tak berharap banyak dari mertuanya itu setelah apa yang terjadi padanya.
Wani yang sedang duduk di ruang tamu langsung masuk ke kamarnya saat melihat Zahra sudah kembali, Zahra yang melihat sikap mertuanya menghentikan langkahnya dan menatap pada Arham.
"Beristirahatlah di kamar. Aku ingin bicara pada ibu."
Zahra mengangguk pelan, ia mengerti jika mertuanya itu kecewa padanya, sikapnya jauh berbeda dari sebelum ia mengalami musibah tersebut.
Zahra pun berjalan ke kamarnya sementara Arham masuk ke kamar ibunya.
"Ibu, aku mohon tolong mengertilah. Ini semua bukan kemauan kami, Zahra juga merasa sedih atas kehilangan bayinya."
"Arham, Ibu sudah memikirkan jalan keluar untuk masalah ini!"
Arham hanya yang terdiam mendengar ucapan ibunya.
"Bujuklah istrimu agar kau bisa menikah lagi, dengan begitu Ibu akan memiliki seorang cucu dalam waktu dekat. Itu bisa membayar kekecewaan di hati Ibu dan mungkin saja Ibu akan bersikap baik pada istrimu itu."
"Tidak, Bu. Aku tak mungkin melakukan hal itu, aku mencintai Zahra."
"Ibu tak peduli dengan cinta kalian, yang Ibu pikirkan adalah penerus keluarga kita. Semua harta kekayaan kita ini membutuhkan seseorang yang harus terus mewarisinya, jika kamu terus mempedulikan cintamu. Apa kau ingin semua hasil kerja keras ayahmu ini diberikan kepada orang lain yang bukan darah daging keturunan kita?" bentak Wani pada putranya.
Arham hanya tertunduk mendengar ucapan ibunya, ia sama sekali tak bisa membantah semua itu.
"Arham, jika kamu menolak apa yang Ibu inginkan. Ibu bisa saja meminta orang lain untuk menggantikan posisimu dari sekarang, ingat semua ini adalah masih atas nama Ibu, jika kau memilih istrimu daripada Ibu, Ibu bisa saja mengusir kalian dari rumah ini, Jangan anggap Ibu sebagai Ibu yang kejam, tapi Ibu hanya ingin mempertahankan keluarga kita."
"Beri aku waktu, Bu. Aku belum bisa berpikir jernih untuk saat ini. Tolong mengerti posisi aku. Bu."
Zahra yang bisa mendengar percakapan di antara mereka kembali merasakan sakit di hatinya, ia sudah diterpa cobaan dengan kehilangan bayinya, divonis akan sulit untuk mendapatkan bayi lagi dan sekarang dia dihadapkan pada kenyataan jika ia harus rela mengizinkan suaminya untuk menikah lagi.
"Tidak, aku tidak sanggup. Aku tidak akan membiarkan semua ini terjadi padaku, aku tak selemah itu," ucap Zahra kemudian Ia pun berjalan ke arah kamarnya menghapus dengan kasar air mata yang kembali menetes di pipinya.
Zahra baru tahu jika selama ini ternyata suami tak memiliki apa-apa, semua harta kekayaan suaminya yang selama ini digunakan untuk memanjakannya semua masih atas nama Ibunya, semua itu adalah harta kedua orang tuanya.
Satu yang di takutkan, jika suaminya akan memilih semua kemewahan yang selama ini memanjakannya dibanding dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
my name
kasihan zahra ibarat sudah jatuh tertimpa tangga
2024-06-05
0
MiraBeauty
jangan salahkan dirimu sepenuhnya zahra kamu sudah berusaha jadi jangan patah semangat
2022-08-26
1