Carlos tersenyum melihat Calista makan dengan lahap. Menghentikan pekerjaan lalu berjalan ke arah sofa duduk di sebelah Calista.
"Enak?"
Calista mengangguk cepat lalu lanjut mengunyah karena mulutnya penuh oleh makanan.
"Salad buah yang tadi dimakan, kalau gak suka salad nya, potongan buah yang tadi kamu bawa di makan."
Calista kembali mengangguk lalu mengambil satu box berisi salad buah. Tadi, baru saja ia menghabiskan spaghetti.
"Calt. Aku pengen rujak itu, boleh?" tanya Carlos menatap penuh ingin satu cup berisi rujak milik Calista.
Calista menghentikan suapan. Iaengambil cup rujak lalu memberikan pada Carlos kemudian melanjutkan makan salad buah tadi.
"Kamu mau?" tanya Carlos seraya menyeka keringat di dahi. Matanya merah efek dari pedas rujak yang telah habis separuh dimakannya.
Calista melihat Carlos sudah berkeringat, bibir memerah, dan yakin bila mulut suaminya terasa terbakar sekarang.
Calista menggeleng. "Kalau gak tahan pedas, jangan dilanjut makan nya Om!" kata Calista menyodorkan sebotol air minum miliknya, Carlos menerima langsung meminum air itu.
"Ini enak. Aku sering gak bisa makan-makanan yang aku ingin, Calt. Nadia pernah bilang aku kayak orang ngidam, jadi aku takut dia curiga!"
Calista mendengar itu tersenyum miris. "Bahkan kamu lebih mengutamakan istri pertama mu dari pada keinginan dari anakmu sendiri. Ternyata mengambil keputusan untuk menjadi istri simpanan demi anak kita begitu menyakitkan. Aku pergi," ucap Calista bangkit lalu keluar begitu saja tanpa mendengar teriakan dari Carlos.
Sepanjang jalan keluar dari Kantor, Calista terus mengepal erat tangan nya sembari menghapus air mata agar tak dicurigai oleh para pegawai.
Ia masuk ke dalam taksi yang telah diberhentikan. Di dalam sana akhirnya tangisan pecah. Tangan tetap terkepal berada di dada nya.
Ia menyadari. Dirinya tidak sekuat niat untuk membalas sakit hati nya.Dan sekarang, ucapan Mami Ivy teringat kembali.
"Mami. Calista gak kuat," ucapnya.
"Tujuan kemana ya, Dik?"
Calista memberi tahu tujuan nya. Dirinya butuh ketenangan demi kewarasan.
...****...
Carlos mengemudi mobil begitu kencang mengikuti taksi yang ditumpangi Calista. Sungguh, ia tak bermaksud seperti itu tadi.
"Sial," umpat Carlos memukul setir karena terjebak lampu merah sedang mobil taksi yang di tumpangi Calista telah melaju sebelum lampu merah menyala.
Beberapa saat kemudian lampu hijau menyala tetapi Carlos kehilangan jejak. Di ambil ponsel khusus untuk menghubungi Calista. Sekali lagi umpatan keluar dari mulutnya ketika suara operator terdengar di sambungan telepon.
Carlos menghentikan mobil di depan supermarket. "Aku lupa kalau perasaan ibu hamil begitu sensitif dan istri muda ku masih belia,"
Ia memutuskan menghubungi Bimo agar menggerakkan anah buah nya untuk mencari Calista.
"Periksa CCTV sekitar tempatku berada, Bim."
...****...
"Sudah jangan nangis, lagi. Mau anakmu cengeng kayak kamu? kemana Calista ku yang ceria dan optimis dulu? apa bawaan hamil, ya?" cerca Anita.
Calista mendatangi Anita di tempat kerja. Syukur Anita sudah selesai jam kerja dan beberes. Sehingga ia bisa menjadi bahu tempat sang sahabat bersandar dan menangis.
"Kenapa aku harus hamil, Ta?" tanya Calista dengan suara parau.
Belum sempat menjawab, Anita di kejutkan oleh Carlos yang sudah berdiri di belakang Calista yang tengah duduk memeluknya.
Carlos sendiri merasa hatinya tercabik mendengar pertanyaan Calista seakan menyesali kehamilan yang tanpa sengaja terjadi. Tetapi, demi apapun Carlos tak menyesali apapun terjadi diantara dirinya dan Calista, sekarang.
"Calista," panggil Carlos lirih.
Calista terkejut langsung menegakkan badan dan menoleh ke belakang dimana Carlos berada.
Carlos duduk di sebelah Calista yang masih memasang wajah cemberut. "Kita pulang, ya. Kita bicarakan dirumah," kata Carlos sembara mengusap kepala Calista.
Anita beranjak dari sana karena tak ingin mengganggu urusan rumah tangga sang sahabat.
Calista mengangguk lalu merentangkan tangan. "Gendong. Aku capek jalan cepat dan nangis sepanjang jalan," rengek Calista manja.
Carlos terkekeh. Baru beberapa hari menikahi Calista sudah membuat hatinya penuh warna. Berbeda dengan Nadia yang lebih dewasa dari Calista.
Dengan senang hati Carlos menggendong Calista ala bridal style.
"Apa aku berat, Om?" tanya Calista melingkarkan tangan ke leher Carlos.
"Gak sama sekali," sahut Carlos menatap Calista sekilas lalu berjalan kembali beberapa langkah hingga sampai pada badan mobil.
Carlos mendudukkan Calista di kursi penumpang samping kursi kemudi lalu ia berlari kecil kesisi lain dan duduk di kursi kemudi.
"Mau pulang atau ikut ke Kantor, lagi?"
"Pulang. Aku ngantuk," ucap Calista seraya menutup mulut karena menguap.
"Tidurlah."
Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai Carlos telah tiba di basement. Ia keluar lalu memutar membuka pintu dimana Calista berada.
Digendong kembali tubuh Calista lalu masuk ke dalam lift yang terhubung langsung di lantai teratas dimana Apartemen nya berada.
Masuk ke dalam kamar lalu direbahkan tubuh Calista perlahan tanpa mengganggu tidur istri kecilnya. Dikecup kening Calista.
Bohong jika Carlos tak sayang pada Calista. Karena semenjak kegilaan dahulu pada Calista dan ia memutuskan menikahi Nadia, ia juga sering berkunjung dan main bersama Calista hingga istri kecilnya ini beranjak remaja.
Carlos balik badan hendak meninggalkan Calista namun tangannya dicekal membuat balik badan kembali.
"Temani Calista tidur," ucap Calista lirih.
Carlos mengangguk lalu duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Calista dengan sayang.
"Tidur di sebelahku, Om!" rengek Calista.
"Baiklah," Carlos melepas sepatu, melonggarkan dasi kemudian naik ke atas ranjang dan merebahkan diri di sebelah Calista.
Ini memang rencana Calista agar Carlos terbiasa akan kehadirannya. Tetapi, ada satu alasan lain yaitu Calista begitu merindukan Papi Edzard.
Calista merapatkan tubuh lalu menyembunyikan wajah di dada bidang Carlos.
"Calista. Bisakah kalau kita sedang bertengkar jangan pergi begitu saja apalagi mengaduh pada orang lain? gak baik membicarakan masalah rumah tangga kita pada orang lain," tegur Carlos sambil mengelus kepala Calista.
Tubuh Calista membeku setelah Carlos menegurnya. Ia lupa akan hal itu, bahkan Mami Ivy juga pernah mengatakan hal yang sama.
"Aku tahu, akulah yang salah. Dan aku butuh waktu untuk beradaptasi pada peranku yang sekarang begitu juga kamu yang masih muda sudah menikah dan sedang mengandung."
Apakah ini termasuk peran Calista untuk menarik simpati?
Atau ini adalah bawaan sang jabang bayi membuat Calista terisak di dada Carlos hingga kemeja suaminya basah.
"Hei, kenapa menangis?" tanya Carlos khawatir, menunduk karena tangis Calista menjadi pecah.
"Aku bukan istri dan ibu yang baik," sahut Calista terbata-bata.
Carlos memberi jarak lalu menangkup wajah Calista seraya mengusap air mata yang telah membasahi pipi. "Kita belajar bersama menjadi lebih baik lagi ya. Mungkin, aku gak bisa setiap waktu ada sama kamu tapi aku akan berusaha untuk menjadikanmu dan anak kita nomor satu. Aku akan mendahului kalian baru Nadia," ucap Carlos tulus agar bisa memenangkan hati Calista.
"Benarkah?" tanya Calista.
"Iya. Kita belajar lebih mengenal lebih dahulu," sahut Carlos lalu memeluk Calista kembali.
Disaat keduanya menikmati pelukan. Suara ponsel keduanya berdering membuat pelukan itu terurai.
Mata keduanya melotot kala melihat nama seseorang tertera di layar ponsel mereka masing-masing.
"Papi telepon, Om!" ucap Calista panik.
"Ini juga Ivy, eh bukan Mami juga telepon!" kata Carlos tak kalah panik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
semangat Calt biar Nadia trrsingkir...
2025-04-05
0
꧁✯☞︎︎︎𝘼𝙇𝙒𝙄𝙇☜︎︎︎✯꧂
Lucu jgk sih Carlos ini.
Dari se'Orang Adik.
Sekarang Naik Pangkat Jadi MERTUA😂😂
2022-08-17
0
Naviah
😂😂😂😂😂😂😂
2022-08-05
0