Calista tersenyum miris, namun air matanya kembali membanjiri pipi. Ia terus menatap tiga benda pipih nan mungil di genggaman tangannya. Benda tersebut menunjukkan dua garis merah begitu terang.
Antara bahagia dan sedih.
Antara pernyatuan atau kehancuran.
Calista bingung harus bagaimana melanjutkan hidup. Selama sebulan lebih sebelum mengetahui dirinya hamil, ia sudah bisa menata hidup kembali. Sudah menerima keadaan bagaimana dirinya yang sudah tak suci dan tak ingin terlibat kembali pada pria yang tak bertanggung jawab itu.
Ia menyeka air matanya secara kasar. Ia menyimpan bendah pipih mungil itu kemudian membersihkan diri. Selesai itu, Calista membawa alat test kehamilan keluar menaruhnya di meja rias, sementara dirinya harus bersiap.
"Aku gak boleh hancur sendirian," gumam Calista sembari memakai pakaian lalu ber-make up sedikit untuk menyamarkan matanya yang sembab akibat menangis.
Calista melihat penampilannya di pantulan cermin. Lalu ia berdecak menyadari kecantikannya diusia sekarang.
"Seriusan harus minta tanggung jawab dia?"
"Pasti bakal ada perang dunia ketiga dan keempat kalau sampai Papi dan Mami tahu."
Merasa sudah puas melihat penampilannya, ia memasukkan bendah pipih mungil tersebut ke dalam tas selempangnya lalu turun ke lantai dasar menemui Mami Ivy.
"Mi. Papi sudah berangkat kerja?" tanya Calista ketika berada di meja makan. Ia mengambil roti selai yang sudah berada di depannya.
"Iya. Ada pertemuan penting kata Papi. Kamu mau kemana?" tanya Mami Ivy. Sekarang beliau sering mengomel jika Calista pulang terlambat.
"Jalan-jalan, Mi. Mumpung belum masuk kuliah," sahut Calista segera menghabiskan sarapan nya.
"Hati-hati. Kalau ada apa-apa segera hubungi Mami atau Papi," ucap Mami Ivy langsung di iya kan Calista.
Ivy masuk ke dalam mobil taksi yang sudah ia pesan secara online menuju ke suatu tempat. Beberapa saat kemudian taksi yang ditumpangi Calista telah sampai di depan Gedung Kerajaan Bisnis Martinez Group.
Sebelum keluar, dari jendela mobil Calista menatap ke atas Gedung tersebut lalu memakai kacamatanya. Ia keluar langsung berjalan menuju Lobby.
"Mbak. Om Carlos ada?" tanya Calista sopan.
"Ada. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku mau ketemu Om Carlos. Penting," sahut Calista.
"Sudah buat janji?"
Ah, Calista lupa jika ada peraturan untuk bertemu dengan pemilik Perusahaan.
"Belum. Tapi mbak bisa bilang kalau Calista ingin bertemu," jawab Calista yaki jika Carlos tak ingin bertemu, maka ia siap membuat keributan disini.
Resepsionis tersebut langsung menelepon entah siapa. Bahkan terlihat angguk-angguk kepala.
...****...
Bimo memijit pelipisnya setelah menerima telepon dari Resepsionis. Alangkah terkejutnya ketika diberitahu ada tamu yang ingin menemui Carlos. Tetapi, jika dipikir-pikir lebih baik harus begini jika tidak maka Carlos tak akan tanggung jawab pada gadis malam tersebut.
Ia bangkit menuju ruang kerja Carlos tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Decakan terdengar ketika melihat Nadia sedang berada dipangkuan Carlos.
"Berhentilah bermesraan. Bukan nya suamimu itu sedang sakit?" sindir Bimo membola.
"Aku hanya merindukan suamiku, Bim!" sangkal Nadia dengan mimik wajah terlihat sedih lalu turun dari pangkuan Carlos.
Carlos melengos melihat Bimo yang sudah berubah setelah kejadian malam itu. Tentu saja ia tak bisa melawan karena takut Bimo akan buka mulut.
Carlos mengambil kartu sakti lalu menyerahkan pada Nadia. "Pergilah berbelanja, Nad. Kami harus rapat sekarang. Jangan diambil hati," ucap Carlos menenangkan.
Nadia mengangguk lalu mengecup pipi Carlos. "Aku pergi dulu. Jangan lupa minum obatnya," ucap Nadia kemudian berlalu.
Bimo berjalan mendekati meja Carlos yang masih diam saja. Ia mengambil gagang telepon menghubungi Resepsionis.
"Bawa dia ke Ruang Direktur," ucapnya lalu menaruh gagang telepon kembali.
"Siapa yang kamu suruh bawa kemari, Bim?" tanya Carlos menyelidik.
Belum menjawab Carlos bangkit lalu berlari menuju kamar pribadinya. Aroma parfum Nadia dan Bimo sungguh membuatnya mual dan ingin muntah.
Yang dialami Carlos benar-benar begitu menyiksa.
...****...
Calista masuk ke dalam ruang kerja Carlos untuk pertama kali. Ruangan yang besar sama seperti Papi Edzard.
"Duduk Calista," tutur Bimo langsung di iya kan oleh Calista.
Jangan berharap Calista merasakan debaran jantung sebagaimana orang sedang jatuh cinta. Ia tak merasakan sama sekali. Yang diinginkan nya saat ini adalah, Carlos juga harus merasakan kehancuran yang sama seperti dirinya.
Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka. Senyum miring terbit ketika melihat Carlos terkejut atas kehadiran nya.
"Calista," ucap Carlos hendak duduk di sofa tunggal namun dengan cepat Bimo duduk disana. Terpaksa Carlos duduk di sofa panjang sebelah Calista.
Carlos berdehem. "Ada apa kamu kemari?"
Jujur saja pertanyaan Carlos membuat Calista tersulut emosi. Pria di sebelahnya ini seperti tidak terjadi apa-apa diantara mereka.
Calista tak menjawab memilih mengambil benda pipih yang tak lain adalah alat test kehamilan.
"Aku hamil," ucap Calista menaruh benda pipih itu di atas meja.
Sedang Carlos mematung. Pasokan udara seakan menipis membuat dadanya terasa begitu sesak. Dan Bimo hanya menyeringai melihat wajah tegang Carlos.
"Selamat, Tuan. Anda akan segera menjadi seorang ayah," ucap Bimo entah sebagai ejekan atau ucapan tulus pada Carlos.
Dengan tangan gemetar di saksikan Calista dan Bimo, Carlos mengambil alat test kehamilan itu lalu melihat dari jarak dekat.
Matanya memanas. Antara bahagia dan sedih secara bersamaan. Kembali Carlos menyesali pertemuan nya dengan William. Jika saja tak bertemu dengan William, pasti semua jalan seperti biasanya.
"Maaf," ucap Carlos lirih.
Calista berdecak lalu menaikkan kaki kanan ke kaki kirinya. "Sekarang bukan maaf yang aku butuhkan. Tapi tanggup jawab kamu sebagai pria dan ayah dari janin yang ada di kandunganku," percayalah, Calista begitu berusaha menekan gejolak di hati agar tidak menangis kembali.
"Tapi, gimana bisa kamu hamil? kita hanya melakukan nya malam itu."
Calista mengepalkan tangan begitu juga Bimo. "Karena aku bukan Nadia yang sudah kamu tiduri berulang kali tapi tak kunjung hamil," skakmat. Calista berhasil membuat Carlos diam.
"Aku sudah mendaftarkan periksa kehamilan dan satu jam lagi baru giliran kita. Aku juga mau besok kamu harus menikahi ku," ucapan Calista mengejutkan kedua pria matang itu.
Carlos menatap Calista dengan intens dan Calista membalas tatapan itu tanpa rasa takut.
"Aku gak mau kuliah dalam keadaan hamil tanpa suami. Tenanglah, Papi Ed belum tahu!"
Selain aku gak mau buat Papi kecewa, aku juga akan membalas perbuatanmu Carlos!
"Dan aku gak mau tahu tentang urusan Nadia. Aku ingin kamu memprioritaskan aku yang sedang mengandung anak kamu."
"Ide bagus," tutur Bimo.
Carlos menatap Bimo dengan tajam. "Apa maksudmu, Bim?"
"Maaf, Tuan. Saat istriku hamil dan aku yang alami ngidamnya pasti sangat ingin berada di dekat istri. Mungkin saja dengan berada di dekat Nona Calista, Tuan jadi selera makan!"
Calista menyeringai. Syukurlah dia yang ngidam.
Carlosenoleh kearah Calista. Gimana dengan Nadia? dan kenapa harus Calista? aku seperti kembali pada 14 tahun lalu.
Mau pilih yang mana untuk Carlos?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Cicih Sophiana
keren Calista emang harus begitu...
2025-04-05
0
Rauhun Dikta
yg bwah lah thor papa ed sharusnya yg d bawah😅😅
2024-08-07
0
Ica Warnita
yang bawah thor biar ngg tua kli untuk Calista
2024-05-05
0