Bab 15 - The Past 1 : Vins dan Ara

Di suatu sore, di dalam kastil sebuah Kerajaan terdahulu.

Terlihat dari jendela lebar sebuah kamar yang berdinding bebatuan besar, dengan cahaya terang dari salah satu lentera. Seorang putri cantik itu sedang mematut dirinya di depan cermin setelah berdandan dan mengenakan gaun yang begitu indah.

Rambut hitamnya yang panjang dikepang ke samping. Kulitnya yang seputih susu nampak bersinar dalam balutan gaun lurus berwarna biru tua tanpa kurungan itu. Penampilannya nampak sederhana.

Hari ini adalah hari dimana Ia akan berkencan dengan kekasihnya, Ia meninggalkan semua perlengkapannya sebagai seorang putri termasuk mahkota dan perhiasannya demi pergi ke luar istana.

Semuanya terasa begitu mendebarkan jantungnya karena mereka harus berkencan secara diam-diam supaya Ayahnya tidak mengetahui hubungan mereka yang ditentang keras oleh keluarganya.

"Kalian masih terlalu muda!"

"Dia tidak pantas untukmu."

"Dia berbahaya! Tinggalkan saja dia, dan lanjutkan rencana pernikahanmu dengan Pangeran dari Kerajaan itu."

"Hidupmu akan sangat sengsara jika tetap bersamanya."

"Pemuda miskin itu harus disingkirkan."

Usia mereka saat itu memang masih belia, namun tak ada yang bisa mencegah dua anak muda yang saling jatuh cinta itu.

Banyak yang mengatakan hal buruk tentang kekasihnya, namun putri itu mengerti apa yang terbaik untuknya.

Ia begitu mengenal kekasihnya dengan sangat baik. Mereka berusaha memisahkan keduanya karena kasta keluarga mereka yang berbeda jauh.

Saat Sang Putri merasa begitu bahagia karena akan berjumpa dengan pujaan hatinya, salah seorang pelayan mengantarkan sebuah surat yang berisi sebuah pesan.

Ia mengenali tulisan yang indah itu, surat itu ditulis oleh kekasihnya yang memintanya untuk menemuinya di sebuah kedai di pinggiran kota demi menghindari pantauan dari para pengawal Sang Putri.

Kemudian Ia pergi secara diam-diam ke pinggiran kota untuk segera menemuinya.

Putri itu tiba di lokasi yang di sebutkan di dalam surat dengan perasaan riang. Senyuman manis kian mengembang diwajahnya. Ia membuka pintu kedai minuman itu dengan cepat.

Suasana di dalam kedai itu cukup ramai, namjn orang-orang disana tidak ada yang menyadari keberadaannya dengan penampilan sederhana itu.

Gadis itu berjalan masuk dan memilih sebuah meja yang terletak di sudut ruangan, di dekat jendela kaca yang menyuguhkan pemandangan indah di Kerajaannya yang makmur.

Ia memesan sebuah minuman sembari menunggu kekasihnya tiba.

Namun hingga hari semakin gelap, kekasihnya tidak kunjung tiba. Beberapa gelas minuman yang telah kosong kini berjajar di mejanya, wajahnya yang cantik menjadi muram, pikirannya menjadi kalut sekaligus marah karena kekasihnya membiarkannya menunggu hingga larut malam begini.

Samar-samar terdengar obrolan pengunjung kedai yang letak mejanya tak jauh dari tempatnya. Namun Ia menutup pendengarannya dan tidak mau memusingkan hal di sekelilingnya karena emosi sedang menguasainya.

"...Dia disiksa dengan begitu sadis sampai berlumuran darah, lalu tubuhnya di tinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat di dalam rumahnya. Mereka melarang orang-orang untuk menyelamatkannya. Kasihan, apalagi dia hanya tinggal sendirian."

Putri itu menghela nafas lalu meneguk minumannya hingga tak tersisa. Berusaha menyabarkan dirinya dan menunggu lebih lama lagi. Tanpa Ia tahu bahwa penantiannya akan berakhir menyedihkan.

......................

Shaga yang merasa aneh ketika tidak menemukan Moon Ara di sekeliling istana mencarinya dan menemukannya di sudut favoritnya. Gadis itu duduk di sebuah batu di bawah hamparan sinar matahari dari lubang di langit-langit goa Pseudo.

Ia melangkah mendekat dan mengintip dari bahu Moon Ara, gadis itu sedang berkutat dengan kuas dan kertas lukisannya lagi.

Dalam beberapa kesempatan Ia menemukan Moon Ara disibukkan dengan lukisan yang ditekuninya. Namun ketika seseorang mencoba melihat hasil lukisannya, gadis itu akan berusaha keras menyembunyikannya.

Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, ketika Swain mencoba merebut lukisan itu karena penasaran. Moon Ara seketika menyemburkan sihirnya kepada Swain hingga lelaki itu terhempas ke tengah sungai dan Moon Ara melenyapkan lukisan itu dalam sekejap.

“Wajah siapa itu?”

Mendengar suara berat di belakangnya, Moon Ara buru-buru berbalik dan berusaha menutupi lukisannya dengan punggungnya.

“Oh! Haaai Paman! Astaga kau mengagetkan saja.” Gumamnya kikuk.

“Aku mencium sesuatu yang sangat manis dan langsung datang kesini, melihatmu sedang melukis wajah seseorang. Bisa kau jelaskan padaku tentang lukisan itu?” Goda Shaga.

“Tidak, tidak. Ini hanya..... wajahnya Swain, dia memintaku untuk melukisnya. Yeah, kau tahu kan betapa sok tampannya panglimamu itu, Paman. Hihihi,”

“Tapi aku merasa bahwa yang ada di lukisan itu bukan Swain. Kau tidak mungkin melukisnya dengan penuh perasaan seperti itu. Masa kau tidak mau menunjukkannya pada Pamanmu sendiri, Euna?”

Moon Ara menggaruk rambutnya dan hanya bisa pasrah ketika Shaga mengulurkan tangannya lalu mengambil lukisannya dengan lembut.

Ia bisa menebak ekspresi Shaga setelah melihat lukisannya, dia pasti akan marah. Namun ternyata prasangkanya berbeda dengan kenyataan, justru Shaga kini sedang tertawa kecil.

“Siapa ini?”

“Dia... manusia... yang waktu itu pernah menemuimu, Paman.”

Dengan tatapan teduhnya, Shaga memandang Moon Ara yang masih menghindari tatapannya. “Pangeran dari Kerajaan Runthera itu?”

“Runthera?" Pekik Moon Ara heran. "Tapi ketika aku kesana, aku malah menemukan Pangeran yang lain—“ Moon Ara sontak membungkam mulutnya, Ia keceplosan bahwa dirinya masih pergi ke desa itu meskipun Shaga telah melarangnya.

Ketika Shaga hanya menatapnya dengan tatapan menyelidik, Moon Ara seolah terhipnotis dan tidak tahan untuk menceritakan semuanya.

“Aku memang masih kesana untuk mencari tahu tentang Pangeran itu, Paman. Aku tidak bisa membunuh rasa penasaranku ini! Aku mengaguminya, Maaf ya Paman.” Lirih Moon Ara.

Shaga menatap nanar kepada Moon Ara dan lukisan di tangannya. Mendengar pengakuan itu Ia teringat pada kisah hidup Moon Ara dan juga kematiannya yang tragis sebelum Ia menjadi abadi sebagai Umoya.

Gadis itu meninggal dalam perasaan sedih sekaligus marah yang tak terbendung ketika melihat seseorang yang dicintainya harus pergi dengan luka siksaan yang memilukan.

Hubungan mereka tidak disetujui dan keluarganya membunuh kekasihnya dengan kejam. Bahkan Moon Ara baru mengetahui kematian kekasihnya setelah dua hari tragedi sadis itu terjadi.

Moon Ara yang terlalu lama menunggu ketika kekasihnya itu membuat janji untuk bertemu merasa janggal karena kekasihnya tidak kunjung tiba. Kemudian ketika Ia pergi ke rumahnya, kekasihnya ditemukan dalam kondisi mengerikan dan hampir membusuk.

Ia tahu bahwa yang menganiaya kekasihnya adalah pembunuh bayaran yang dikirim orang tuanya.

Moon Ara membawa jasad kekasihnya dengan sebuah gerobak, orang-orang di sekelilingnya berusaha mencegahnya namun keputusannya untuk mengakhiri hidup sudah bulat.

Ia membawa jasad kekasihnya untuk melompat dari ujung tebing yang dibawahnya terdapat batu karang dan laut dengan ombak yang sedang pasang, yang mampu menghancurkan tubuh mereka dan menenggelamkan mereka dalam sekejap.

Kematiannya begitu menyedihkan hingga membuat Moon Ara yang sekarang tidak mampu mengingat penyebab kematiannya. Ia akan merasa bingung jika ditanya bagaimana dia bisa mati.

Namun rasa penasaran setelah kehilangan orang yang dicintainya masih mengikutinya hingga saat ini, Ia masih tetap menunggu meskipun tak tahu apa yang membuatnya harus menunggu, dan berusaha mencari sosok semu yang telah hilang dari ingatannya itu.

Shaga merasa itu lebih baik daripada Moon Ara harus mengingat akhir hidupnya yang menyakitkan.

“Kenapa kau minta maaf? Kau tidak salah jika mengaguminya. Hanya saja kau harus mengerti perbedaan antara kau dan dia.” Ujar Shaga lembut.

Moon Ara tersenyum getir dan hanya menunduk, “Aku mengerti, Paman.”

“Tapi Aku merasa kau dan dia memiliki sebuah ikatan yang kuat meskipun saat ini kalian tidak saling bertemu.”

Ucapan Shaga membuat Moon Ara tertegun, “M-maksud paman?”

Shaga tersenyum jahil dan berusaha mengalihkan topik pembicaraan, “Kemana Swain?”

“Aku tidak tahu, tapi tunggu dulu.. maksud paman.. aku 'berjodoh' dengannya dalam arti tertentu?”

“Vins,” Kata Shaga singkat.

“Itukah namanya?”

Shaga melipat kedua tangannya, sepasang mata silvernya menerawang jauh. Hingga Ia dapat menemukan bahwa sosok Pangeran Vins adalah seseorang yang ada hubungannya dengan masa lalu Moon Ara yang kelam.

“Yeah, Vins. Dia memiliki kekuatan yang istimewa. Selain menguasai banyak ilmu bela diri, dia juga cerdas, dan memiliki jiwa yang kuat. Sama sepertimu, Euna.”

Perlahan sudut bibir Moon Ara membentuk senyuman aneh. Disebut sama dengan Pangeran idamannya, Moon Ara merasa dirinya kembali di masa kehidupannya yang dulu ketika Ia masih bisa merasakan jatuh cinta.

“Dan tidak hanya dengannya, dengan dua saudaranya juga. Aku bisa melihat kalian akan menjadi sebuah koneksi yang kuat.”

“Apa yang paman lihat?” Moon Ara tersenyum penuh minat.

“Aku tidak akan mengatakannya padamu,” Shaga tertawa kecil sambil mengusap puncak kepala Moon Ara.

“Paman! Setidaknya beri aku petunjuk dimana aku bisa bertemu dengannya?”

“Lakukan saja kebiasaanmu itu, bukankah kau handal dalam keingintahuanmu?” Shaga meninggalkannya begitu saja dengan sebuah senyuman misterius yang tak dimengerti olehnya.

“Apakah itu berarti Paman menginzinkan aku pergi untuk mencarinya ke daerah manusia?!” Seru Moon Ara. Lama tak mendengar jawaban lalu Ia mendesis, “Itu kuanggap sebagai.. Iya.”

......................

Sebuah kereta kencana dengan iring-iringan pengawal berkuda itu terlihat memasuki halaman istana Runthera.

Ketiga Pangeran dan Perdana Menteri sekaligus jajaran petinggi di Kerajaan sudah menunggu di depan istana untuk menyambut kedatangan mereka.

Jerriel yang berdiri disamping Hugo mengedarkan pandangan, memastikan bahwa semua orang sudah berkumpul. Namun diantara para petinggi lainnya, Ia hanya menemukan Pears yang berdiri di belakangnya dengan raut wajah cemas, Jerriel seketika menghela nafas kesal karena baru menyadari bahwa Vins tidak ada disini bersama mereka.

"Pears, kemana Vins??" Bisiknya.

"Aku tidak tahu, Jerriel. Aku tadi juga mencarinya tapi tidak menemukannya." Sahut Pears.

"Vins tidak ada ya?" Cetus Hugo. "Tadi dia pamit karena sedang sakit perut. Nanti dia akan menyusul untuk bergabung."

"Anak itu selalu saja seperti ini jika ada pertemuan. Kurasa dia sengaja, Paman." Dengus Jerriel.

Hugo hanya tersenyum sambil mengusap punggung Jerriel.

Raja dari Leruviana, Liam, terlihat turun dari Kereta Kencana itu bersama istrinya, Ratu Cintya. Disusul dengan dua putri mereka yang seusia dengan Pears dan Vins.

Putri pertama mereka bernama Griselda, yang nampak cantik dengan balutan gaun berwarna hijau tua dan rambut coklat panjangnya yang digelung dengan hiasan rambut.

Di belakangnya terlihat putri bungsu mereka yang bernama Rosela. Dengan gaun merah marun dan rambut coklat terangnya yang digerai sebahu membuatnya tampak menawan.

Jerriel bersama semua orang yang ada di istana membungkukkan badan menyambut kedatangan mereka.

Kemudian mereka mempersilahkan Keluarga dari Leruviana untuk masuk ke dalam istana dan menjamunya dengan makan malam yang special.

Kini mereka duduk berseberangan di depan meja makan tamu yang begitu panjang. Yang telah diisi dengan berbagai minuman dan hidangan andalan Runthera yang begitu menggugah selera.

"Selamat datang kembali di Runthera, Yang Mulia." Ujar Jerriel pada Raja Liam yang duduk berseberangan dengannya. "Terimakasih atas kunjungannya, dan terimakasih atas semua bantuan yang anda kirim di hari pemakaman Ayah."

Raja Liam tersenyum, "Tidak perlu berterimakasih, Pangeran. Karena sudah seharusnya aku melakukan itu mengingat begitu banyak kebaikan yang diberikan Raja Joon kepadaku selama ini."

"Aku senang melihat Putra Runthera tumbuh dengan sehat dan tegar atas semua yang telah kalian lewati. Perjuangan kalian benar-benar menyentuh hatiku. Kuharap kalian diberi lebih banyak kekuatan dan cinta untuk ke depannya nanti." Ujar Ratu Cintya lembut.

Jerriel tersenyum manis, "Terimakasih banyak, kami juga berharap hal yang sama kepada Keluarga Kerajaan Leruviana."

"Sebelumnya kami memohon maaf karena Pangeran Vins tidak bisa turut menyambut kalian dalam pertemuan ini dikarenakan sedang sakit, hanya sakit ringan. Ia bilang akan segera menyusul jika sakitnya sudah lebih baik." Ujar Jerriel berusaha memberi pengertian

"Tidak masalah, kesehatannya lebih penting." Timpal Raja Liam.

"Sudah lama sekali aku tidak datang kesini, kota ini telah banyak berubah ya." Cetus Putri Griselda. "Sekarang menjadi lebih padat penduduk dan terasa begitu sempit. Oh, atau karena kita yang semakin besar ya?"

"Bisa jadi begitu karena terakhir kali berkunjung saat itu kalian bahkan belum genap berusia sepuluh tahun." Hugo yang duduk di sisi kanan Jerriel pun turut angkat bicara.

"Benar, dan semakin banyak tumbuhan di sepanjang jalannya. Ketika aku datang aku tidak berhenti bersin di perjalanan. Bunga aster itu sebenarnya bagus, tapi sialnya aku mempunyai alergi pada bunga-bunga itu." Cetus Rosela sambil mengusap hidungnya yang nampak memerah.

Pangeran Jerriel yang paling tidak bisa menyembunyikan perasaannya kini menunjukkan wajah yang kurang menyenangkan usai mendengar ucapan Putri Leruviana yang agak menyinggung itu.

Tatapan tajamnya tertuju kepada dua Putri Leruviana yang tak mampu menjaga kata-kata yang mereka ucapkan di tengah jamuan makan malam ini.

Pears yang mengerti apa yang dirasakan Jerriel itu berusaha memberi pengertian, meskipun Ia sendiri sebenarnya juga tak menyangka atas pengakuan Putri Rosela yang cukup tidak sopan itu.

"Bunga Aster adalah bunga kesayangan Ibu kami, Ratu Ryme. Beliau yang memerintahkan seluruh Runthera untuk dikelilingi dengan Aster berwarna ungu, dan beliau juga yang menanam sendiri kebun bunga di istana. Kami benar-benar menjaga kesucian bunga itu dan menjadikan Bunga Aster sebagai identitas Kerajaan Runthera." Ujar Pears dengan tegas sembari diiringi senyuman manisnya.

Kedua putri itu nampak tak mampu berkata mendengar penjelasan dari Pears.

"Maafkan Putriku ya, Pangeran. Mereka masih muda dan terkadang masih suka berbicara sembarangan." Raja Liam nampak menyesali perbuatan kedua anaknya. Sedangkan Ratu Cintya nampak menghakimi kedua putrinya lewat tatapan dingin itu.

"Tidak masalah, kami bisa memakluminya." Sahut Hugo.

"Setelah Raja Joon wafat, siapakah yang menjadi penerusnya? Apakah sudah dilakukan penobatan Raja yang baru?" Pertanyaan Raja Liam yang begitu frontal lagi-lagi membuat Jerriel merasa tidak nyaman dalam pertemuan ini.

"Kami belum merencanakan penobatan itu karena satu dan lain hal. Tapi yang jelas suatu hari jika sudah tiba waktunya kami akan mengutus para Pangeran sebagai pemimpin yang baru."

"Kenapa belum juga dinobatkan? Sudah begitu jelas bahwa Pangeran Mahkota sebagai putra pertama adalah kandidat terkuat menjadi penerus Raja Joon. Jika hingga sekarang belum juga diputuskan, maka aku khawatir akan terjadi perebutan kekuasaan disini."

Sekarang semua orang mengerti dari mana dua putri Leruviana mendapatkan sifat buruk itu setelah melihat Raja Liam.

"Maafkan aku, tapi untuk saat ini bagi kami menunda penobatan itu adalah hal yang terbaik. Dan kami telah memutuskannya dengan mempertimbangkan banyak hal." Ujar Hugo tegas.

Raja Liam mengangguk lalu tersenyum, "Aku bisa memahami itu. Dari dulu Raja Joon tidak pernah salah membuat keputusan, aku harap penerusnya juga mampu mempertahankan itu."

"Apakah mungkin pernikahan yang menjadi akar masalahnya? Jika Para Pangeran memutuskan untuk segera menikah, mungkin saja penobatan itu bisa dilakukan lebih cepat. Kan?" Kata Ratu Cintya dengan senyuman lebar.

Hugo yang mengerti kemana arah pembicaraan ini hanya bisa terdiam menatap Jerriel dan Pears yang duduk di sisi kiri dan kanannya itu. Mereka nampak kurang menyukai obrolan ini.

"Aku akan mempersingkat saja. Kedatangan kami kesini selain untuk melihat kabar Keluarga Kerajaan Runthera, kami membawa kedua putri kami agar mereka bisa menjalin silahturami antara dua Kerajaan yang telah lama bersahabat ini. Raja Joon ataupun Ratu Ryme pasti akan senang melihat keakraban ini." Raja Liam sedang tersenyum lebar menatap Jerriel yang hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun, dan juga Pears yang kini hanya tersenyum kaku.

"Bagaimana menurutmu, Perdana Menteri?" Hugo kini menjadi sasaran Raja Liam untuk menagih perjanjian yang mereka buat sendiri itu.

"Maafkan aku, Yang Mulia. Aku sebagai Perdana Menteri tidak sepantasnya turut andil dalam hal ini, semua keputusan ada di tangan para Pangeran." Ujar Hugo.

Namun Jerriel maupun Pears masih enggan bersuara.

Menyadari situasi canggung ini, Hugo berusaha mencairkan suasana.

"Sebelumnya, bagaimana kalau kita nikmati dulu hidangan yang kami siapkan sebelum semuanya dingin?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!