Bab 12 - Selangkah Lebih Dekat

“Kau sangat hebat, Nak!”

Sebuah seruan lembut di koridor istana mengalihkan perhatian Vins kecil yang baru saja berhasil memanah sebuah titik yang diletakkan di atas sebuah pohon pinus dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan Vins diatas kudanya yang sedang berlari mengelilingi halaman belakang istana, sebagai latihan yang di berikan oleh Hugo.

“Ibu!!”

Vins kecil disusul kedua saudaranya yang sama-sama sedang berlatih siang itu, berlari memasuki istana dan naik untuk menemui Ibunya yang baru saja siuman.

“Ibu, kau sudah bangun?!”

Seru ketiga Pangeran kecil itu dengan raut wajah bahagia ketika membuka pintu kamar dan menemukan Ayahnya sedang memeluk Ibunya di balkon.

Senyuman dan haru terlihat di wajah mereka.

Ketiganya melambatkan langkah dan tertegun tak percaya melihat raga ibunya bisa bangkit dan sedang tersenyum manis di depan mereka. Sepertinya kutukan itu sudah terangkat dari tubuhnya.

“Ayo, peluk ibumu. Kalian merindukannya, bukan?” Tanya Ayahnya riang.

Tanpa lama lagi mereka menjatuhkan senjata mereka masing-masing ke lantai lalu berhambur memeluk erat Ibunya dan menangis terharu.

“Ibu, jangan tidur lagi! Aku bosan jika ibu selalu meninggalkan kami untuk tidur dalam waktu yang sangat lama!” Cetus Pears kecil dengan polosnya.

“Hahaha.. tidak, Nak. Ibu tidak akan tidur lagi,”

“Ibu janji? Jangan pernah tinggalkan kami, Bu. Kami bosan bermain dengan Ayah terus,” Kata Jerriel.

Ayahnya melotot pura-pura marah, “Apa katamu? Jadi, Ayah membosankan?”

Ibu dan ketiga putranya tertawa.

“Dia hanya bercanda, Joon.” Ibu menarik ujung jas Ayah agar bisa bergabung dengan mereka.

“O-ow, sepertinya ada yang tidak ingin berbagi,” Goda Ayahnya ketika melihat Vins kecil hanya diam memeluk erat Ibunya sambil memejamkan mata.

“Tidak ada yang boleh menyentuh Ibuku, siapapun!” Cetusnya lantang, diiringi senyuman manis.

“Hey, ibu adalah ibuku juga!” Pears dan Jerriel tidak mau kalah.

Tanpa sadar air mata mengalir dari sudut mata Vins dewasa yang sedang tertutup.

Sebuah senyuman lembut terukir di wajahnya hingga perlahan Ia membuka mata dan menyadari bahwa semua hal indah itu hanya terjadi di dalam mimpinya.

Memori indah bersama ibu dan ayahnya sebelum sesuatu menghancurkan mereka dulu, akan selalu berputar di otaknya.

Vins berbaring termenung menatap langit-langit kamarnya yang begitu mewah. Ukiran atap membentuk awan dengan suasana biru langit membawa pikirannya melayang kepada kejadian beberapa hari yang lalu dimana dirinya pergi ke dimensi yang berbeda untuk pertama kalinya.

Ia bingung harus berbuat apa agar Raja Umoya Shaga bisa memberitahu dimana keberadaan musuhnya itu. Agar Ia bisa segera membalaskan dendamnya dan hidup dengan tenang.

Vins bangkit dan duduk di lantai kamarnya, tangannya mengulur mengambil buku tua tentang Umoya yang disimpannya di bawah ranjang dan melanjutkan membaca buku itu.

Disana tertulis tentang pertukaran jiwa dan juga kekuatan sihir para Umoya jika dipindahkan kepada tubuh manusia. Ia sangat tertarik dengan semua yang tertulis di buku itu. Namun jika harus mencobanya kembali, Ia pikir ini bukan waktu yang tepat.

Detik itu juga Perdana Menteri Hugo mengetuk pintu kamarnya yang terbuka separuh.

Vins terkejut dan langsung menyembunyikan buku itu di balik jasnya yang panjang.

“P-paman..?” Sapanya kikuk.

“Maaf mengganggumu, Pangeran. Ada seorang pelayan yang ingin mengantar ini untukmu ketika aku sedang menuju kesini. Jadi sekalian aku membawanya masuk.”

Vins menerima segelas susu hangat itu dari tangan Hugo.

“Terimakasih, Paman. Aku pikir Paman yang membuatkan ini untukku. Hehehe..”

Hugo tidak tahu betapa canggungnya Vins saat ini, jika Ia ketahuan sedang membaca buku misterius yang katanya sangat dirahasiakan oleh Hugo itu.

"Bagaimana keadaan Paman?" Tanya Vins, "Karena malam itu setelah Paman memastikan keamanan di perbatasan, Paman kembali ke istana dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Penjaga bilang Paman ditemukan di pinggir hutan pinus itu sambil terbatuk-batuk. Apakah ada yang menyerang Paman di perbatasan?"

Hugo hanya tersenyum tipis, "Mungkin karena udaranya cukup dingin, apalagi sempat hujan sangat deras. Tapi aku sudah lebih baik sekarang."

"Syukurlah." Vins tersenyum, "Bahkan Jerriel juga tiba-tiba merasa pusing dan tubuhnya lemas di tengah pesta itu." Sambung Vins lirih.

"Terkadang dia selalu seperti itu, dia sering mendadak pusing dan hampir tidak sadarkan diri. Aku jadi khawatir tentang kesehatan Jerriel. Apakah Jerriel baik-baik saja, Paman?"

"Kau tahu kan, Vins? Dari dulu Jerriel bersikap terlalu keras kepada dirinya sendiri. Sampai dia lupa untuk menjaga kesehatan raga dan pikirannya. Dia selalu menyimpan semua kegelisahan yang Ia rasakan untuk dirinya sendiri tanpa mengizinkan siapapun mengetahui tentang apa yang Ia rasakan, apa yang sedang Ia pikirkan. Hanya Joon yang bisa membuatnya mengungkapkan itu." Ujar Hugo lembut.

"Benar, dia selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik di depan kita semua. Tapi sesekali aku juga ingin Jerriel bisa sedikit terbuka padaku ataupun Pears, karena memang hanya aku dan Pears yang dia punya untuk bersandar sekarang."

Ia ingin memberitahunya tentang kejanggalan helaian rambut merah yang dimiliki Jerriel sejak lahir itu, karena rambut itu selalu mengeluarkan sekilas cahaya setiap kali Jerriel mendadak pusing dan lemas. Namun Vins mengurungkan niat itu ketika melihat wajah serius Hugo saat ini.

“Aku ingin berbicara sebentar denganmu, apakah kau sedang sibuk?”

Vins tersenyum tipis sambil menggeleng, “Silahkan, Paman. Aku tidak sibuk sama sekali,”

Pria itu menutup pintu kamar Vins lalu berjalan masuk supaya obrolan mereka tidak terdengar oleh orang-orang.

“Tentang Ratu, aku ingin kau tidak terlalu serius memikirkannya. Kita pasti bisa menemukan cara untuk membuat Ratu kembali ke dalam raganya.”

Kening Vins mengernyit, “Kembali? Jadi maksud Paman, Ibu sedang terjebak? Atau ditahan sesuatu? Itu yang membuatnya tidak bisa sadar lagi?”

Hugo mengangguk pelan.

Menyadari raut wajah Hugo yang tampak misterius, Vins membidik perdana menterinya itu dengan begitu tajam, “Paman, kau tahu sesuatu tentang hal seperti itu?”

Pertanyaan Vins mampu membuat Hugo tercekat hampir kesulitan berbicara, “Tidak, aku hanya mendengarnya.. dari beberapa peramal.”

Vins menarik nafas dan mengusap wajahnya dengan dengusan nafas yang terdengar lelah.

“Kenapa peramal itu tidak bisa menunjukkan juga bagaimana caranya kita bisa membebaskan ibuku? Harus berapa tahun lagi kita memecahkan teka-teki ini?”

“Vins, mahluk itu bukanlah manusia biasa. Peramal tidak akan mengerti bagaimana caranya.”

Hugo tertegun menatap lantai, “Andai saja menebas habis Kerajaan mereka bisa semudah itu. Aku yakin sihir itu akan ikut lenyap bersama semua dari mereka, dan Ratu akan segera pulih.”

Pria itu terkejut menyadari kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya dan membuat Vins kini menatapnya dengan serius.

Maka Hugo buru-buru menambahkan, “Maksudku, andai aku bukan manusia.. mungkin itu yang harus dilakukan,”

Tatapan hampa Vins tertuju pada lantai kamarnya yang diselimuti karpet berwarna merah bata, “Hmm.. Kau benar, andai aku juga bukan.”

Detik itu, terdengar ketukan keras di pintu kamar Vins. Dari luar samar-samar terdengar seseorang memanggil-manggil Perdana Menteri dan Vins, kedengarannya ada sebuah pemberitahuan yang genting untuk Ia sampaikan.

Vins bergegas membuka pintu kamarnya, Nyonya Gana yang merupakan salah satu petinggi Kerajaan sedang berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang khawatir.

"Nyonya Gana, ada apa? Kenapa kau sampai terengah-engah seperti itu?" Tanya Vins.

"Terjadi sesuatu pada Pangeran Jerriel!" Ujarnya, sembari berusaha mengatur nafas.

"Jerriel? Kenapa? Bukankah dia sedang tidur di kamarnya?" Sahut Hugo heran, pasalnya sejak pagi Ia memang tidak melihat para Pangeran di seluruh penjuru istana.

Ia sempat mengecek kamar Jerriel dan menemukannya sedang meringkuk di dalam selimut, Hugo tidak ingin menganggunya yang sedang beristirahat setelah dia bilang sedang merasa pusing semalam. Sedangkan Pears, pagi-pagi sekali Ia pamit untuk membaca buku di perpustakaan.

"Beberapa penjaga di desa Zinnia menyampaikan bahwa Pangeran Jerriel pergi kesana bersama Pangeran Pears sendirian tanpa pengawal. Para Pangeran mengunjungi beberapa rumah penduduk, dan mereka bilang ada seseorang yang menyerang Pangeran Jerriel." Ujar Nyonya Gana.

Hugo dan Vins tercenung mendengar penjelasan wanita itu.

"Mari kita jemput mereka, Paman!"

"Para penjaga sedang dalam perjalanan kemari, mereka mengantar Pangeran Jerriel dan Pangeran Pears ke istana. Kita tunggu saja mereka datang." Sambung Nyonya Gana.

"Bagaimana keadaan Jerriel?" Hugo berjalan dengan langkah cepat menuju ke pintu utama istana, guratan wajahnya nampak gusar namun sulit untuk diartikan, diikuti Vins dan Nyonya Gana yang berjalan di belakangnya.

"Mereka bilang keadaan Pangeran Jerriel lemah dan masih syok."

Mendengar itu sebesit amarah dibenak Hugo mulai membuncah. Bagaimana bisa dengan keadaan lemas setelah mengeluhkan kepalanya yang terasa sakit di malam pesta itu, Jerriel malah keluar dari istana tanpa penjagaan dan juga tanpa meminta izin darinya.

Dan bisa-bisanya Pears yang selama ini selalu bersikap jujur juga membohonginya untuk pergi bersama Jerriel tanpa memikirkan bahaya yang bisa saja mencelakai mereka di luar sana.

Dari kejauhan tampak beberapa pasukan Kerajaan telah tiba, mereka mengawal sebuah kereta kuda yang memasuki gerbang istana. Lalu Hugo berjalan ke tengah halaman istana masih dengan wajahnya yang tampak gusar, menunggu Jerriel dan Pears turun dari kereta itu.

Tak lama kemudian Pears turun lebih dulu, kemudian Ia hendak membantu Jerriel untuk turun namun Kakaknya itu menolak meskipun Ia berjalan dengan agak sempoyongan sambil memegangi kepalanya.

Pears berjalan di belakang Jerriel dengan takut, Ia hanya menunduk tanpa berani menatap Pamannya. Sedangkan Jerriel menyadari keberadaan Hugo dan Vins yang bediri di depannya, namun dengan sengaja Ia melewati mereka seolah tidak melihat apa-apa.

"Tetap disitu, Pangeran." Tandas Hugo dengan sangat tegas.

Jerriel menghentikan langkah lalu mendesis, "Aku ingin istirahat, Paman. Aku lelah."

"Kenapa kalian pergi dari istana tanpa sepengetahuanku?" Pertanyaan Hugo terdengar mencekam.

"Aku hanya mengunjungi rakyat seperti yang diinginkan Ayah, seperti yang kau perintahkan juga." Timpal Jerriel yang terus bersikap acuh.

"Tapi kalian tidak boleh pergi sembarangan tanpa penjagaan seperti ini!" Sergah Hugo.

"Aku hanya pergi ke sekitar Runthera, bukan keluar wilayah Kerajaan. Lagipula aku bisa menjaga diriku sendiri dengan kekuatanku. Paman patut mencemaskanku seperti itu jika aku ini adalah Pears."

Ucapan yang dilontarkan Jerriel itu seolah menusuk hati Pears yang hanya bisa terdiam mendengar kata-kata merendahkan yang ditujukan padanya itu. Tapi di dalam lubuk hatinya, Ia membenarkan apa kata Jerriel.

Diantara mereka bertiga, Pears sejak kecil memiliki kondisi tubuh yang cukup lemah dan mudah letih. Ia tidak setangguh Jerriel ataupun Vins, jadi Ia membutuhkan penjaga khusus kemanapun Ia pergi. Meskipun sesekali Ia pernah kabur dari penjagaan.

Dan hal itu seringkali membuat Pears menjadi rendah diri setiap mengingatnya.

"Kau tidak perlu mengatakan itu, Jerriel!" Tukas Vins lantang.

Jerriel tak mengindahkan teguran dari Vins, Ia hanya memutar bola matanya pertanda tidak peduli dengan apa yang telah keluar dari mulutnya.

"Tapi kekuatanmu tidak cukup untuk melindungi dirimu dan Pears dari ancaman serangan musuh kita di luar sana." Kata Hugo.

Pears yang merasa bersalah karena telah mengajak Jerriel mengendap-endap keluar istana dengan berbagai cara dan penyamaran itu pun melangkah maju dan menjatuhkan lututnya di hadapan Hugo.

"Aku minta maaf, Paman. Jangan salahkan Jerriel. Aku yang sudah memaksanya untuk ikut denganku. Aku juga meminta maaf karena sudah menipumu tadi pagi, aku tidak berniat seperti itu, Paman. Aku diam-diam keluar dari istana tanpa pengawal karena aku ingin menemui mereka dengan cara yang biasa saja. Kumohon maafkan aku, Paman." Ujar Pears.

"Aku kecewa padamu, Pears." Lirih Hugo.

Ucapan singkat Hugo membuat Pears tertunduk dengan sangat menyesal.

Kini tatapan tajam Hugo beralih kepada Jerriel yang masih enggan melihat wajahnya, tangan kirinya berada di dalam saku celananya, dengan begitu angkuh Ia masih menatap lurus ke arah tangga menuju istana sementara Hugo dan Vins melihat ke arahnya.

"Dan kau, Jerriel. Sebagai seorang Pangeran Mahkota kau harus bersikap tegas kepada adikmu. Tidak baik jika kalian pergi sembarangan tanpa memberitahu kami."

"Paman, apakah kau sedang menuntut permintaan maaf dariku?" Kata Jerriel dingin.

Ia melirik Hugo sekilas sambil tertawa pelan, lalu menambahkan, "Baiklah. Memang hanya Jerriel yang selalu jadi sasaran setiap kesalahan yang terjadi. Aku minta maaf ya, Paman. Kumohon maafkan Aku."

"Jerriel! jaga bicaramu--" Vins yang sudah siap menghajar Jerriel karena ucapannya yang sangat tidak sopan terhadap Hugo, harus menahan dirinya ketika Hugo menyentuh lengannya sambil menggelengkan kepalanya lembut, Hugo melarangnya untuk menuruti kemarahannya.

"Kudengar ada yang telah menyerangmu di desa itu. Memangnya sosok seperti apa yang mereka maksud, Jerriel?" Hugo masih berusaha bertanya dengan lembut.

Jerriel terdiam sejenak, tangannya bergerak menyentuh sisi kiri rahangnya yang mulai terasa perih. Segores luka yang disebabkan oleh kuku jari Nyonya Mada yang begitu tajam tadi sempat mencengkram kuat wajah Jerriel.

"Hanya seorang penduduk yang mengalami sedikit gangguan jiwa." Ucapan Jerriel membuat Pears menatapnya dengan tidak percaya.

"Tapi jangan khawatir, sekarang aku baik-baik saja." Imbuh Jerriel.

"Jerriel! Kenapa kau mengatakan itu?" Tukas Pears lantang. "Nyonya Mada mengalami gangguan mistis yang membuatnya hilang kesadaran! Bagaimana bisa kau menyebutnya seperti itu?!"

"Aku melihatnya sendiri bahwa dia terus berteriak dan meracaukan hal-hal tidak masuk akal. Bahkan suaminya harus memasungnya di rumah itu. Wanita itu sudah hilang kewarasannya, Pears."

Nada bicara Jerriel yang terdengar begitu tenang seolah itu bukan masalah besar, membuat Pears masih tidak terima dengan penuturan Kakaknya itu.

Pandangan Jerriel tertuju kepada Nyonya Gana yang hanya diam berdiri di belakang Hugo menyaksikan perdebatan mereka, "Nyonya Gana, Siapkan satu kereta kuda beserta pasokan makanan dan beberapa uang untuk keluarga di rumah itu. Sampaikan kepada yang lainnya. Aku mau mereka kirimkan malam ini juga."

"Baik, Pangeran." Sahut wanita itu.

"Tunggu dulu. Sebenarnya apa yang terjadi disana? Rumah siapa?" Tanya Hugo.

"Tanyakan kepada Pears, Paman. Aku mau istirahat." Jerriel berjalan meninggalkan Hugo yang masih menunggu penjelasannya.

Pandangan Vins mengikuti punggung Jerriel yang mulai menjauh dengan begitu kesal, sebenarnya sikap Jerriel yang kasar adalah hal yang sudah biasa mereka hadapi. Namun hari ini dia benar-benar menyebalkan.

Punggung Jerriel hampir menghilang dari pandangannya setelah lelaki itu masuk ke dalam istana, namun Vins masih bisa menangkap sekelebat cahaya merah itu kembali menyala di sela-sela rambut Jerriel. Pasti ada yang tidak beres dengan kilauan itu.

"Paman, wanita yang dimaksud Jerriel adalah Nyonya Mada. Beliau adalah salah satu penduduk di desa Zinnia, para tetangganya bilang bahwa beberapa hari ini beliau bersikap seperti seseorang yang kerasukan makhluk hingga membuatnya tak terkendali. Beliau tidak gila seperti yang kau pikir." Ujar Pears dengan sendu.

"Jika Paman bersedia, aku ingin meminta bantuan Paman untuk dapat menyembuhkannya. Aku merasa kasihan pada keluarganya, Paman. Bahkan anak mereka harus tinggal terpisah dengan orang tuanya setelah ibunya berusaha merebut jiwanya, mereka bilang ibunya terus menerus mengatakan hal aneh tentang mengambil jiwa, kekuatan, atau keabadian. Hal semacam itu."

Hugo tampak tertegun mendengar penuturan Pears yang panjang. Perlahan raut wajahnya berubah menjadi marah dan membuat Vins juga Pears merasa cemas.

"Paman?"

"Antar aku ke rumah itu, Pears."

Malam itu juga Hugo pergi ke desa Zinnia bersama Pears dan para pengawal.

Para penduduk yang penasaran atas kedatangan Perdana Menteri Hugo dan Pangeran Pears di rumah Nyonya Mada mulai memenuhi jalanan di depan gang. Apalagi setelah Pangeran Jerriel tadi siang berkunjung kesana dan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.

Hugo tertegun melihat seorang wanita yang terjebak dalam jeratan pasung di kaki dan tangannya itu. Sedangkan Pears merasa iba melihat kondisinya yang nampak mengenaskan.

Pears berlutut di depannya sambil berusaha menyentuh tangan beliau yang hanya terdiam dan menunduk tanpa berani menatap mata Pears, terutama Hugo.

"Tolong bantu istriku, Tuan. Kumohon sembuhkan dia dari pengaruh setan itu.." Disamping Hugo, suami Nyonya Mada terus memohon dengan tak berdaya.

"Bisakah kita melepas pasung ini darinya? Kurasa akan baik-baik saja jika kita melepasnya karena disini ada Paman Hugo." Ujar Pears.

"Pangeran Pears," Suara Hugo terdengar begitu dingin.

"Ya, Paman?"

"Aku minta bantuanmu untuk menunggu di luar, dan kumohon bubarkan kerumunan penduduk disana. Mereka harus berlindung di dalam rumah."

Pears mengerjapkan mata nampak cemas, "Apakah Paman yakin bisa mengatasi ini sendirian?"

Begitu mendapat anggukan dari Hugo, Pears segera mengajak suami Nyonya Mada pergi. Membiarkan Hugo sendirian di dalam rumah itu menghadapi Nyonya Mada yang masih diam tak berkutik.

Wanita itu masih berusaha menghindari tatapan Hugo yang kini sedang menarik pedangnya. Bunyi gesekan pedangnya mampu membuatnya meringkuk ketakutan.

"Apa yang kau lakukan disini? Kau sedang mengincar sesuatu?"

Ia masih enggan menjawab pertanyaan Hugo.

"Jawab pertanyaanku. Apa yang kau cari? Bagaimana kau bisa ada disini?"

Hugo menunggunya bersuara, namun wanita itu masih saja menundukkan kepala tanpa berani bersuara. Tangan dan kakinya nampak gemetar. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya kepada Jerriel.

Kesabaran Hugo yang mulai menipis membuat Hugo harus menghunuskan pedangnya yang perlahan menunjukkan sebuah cahaya putih yang begitu terang dan terasa sedingin es.

"TINGGALKAN TEMPAT INI DAN LEPASKAN DIA!!!" Teriak Hugo tepat di depan wajahnya.

Pedang itu ditebaskannya hingga pasung kayu itu terbelah menjadi dua, membebaskan kaki dan tangan Nyonya Mada hingga membuatnya tercengang atas apa yang baru saja dilakukan Hugo.

"Kau masih tidak mau bicara?"

"Aku akan membawanya, camkan ucapanku ya! Aku akan membawanya pergi!!" Sergah Makhluk yang singgah di tubuh Nyonya Mada dengan begitu marah.

Cahaya merah yang berkilau di dalam sepasang mata sayu itu membuat Hugo terpaku sesaat. Rasa cemas mulai menghantuinya ketika gangguan Umoya Granades bisa menembus perisai yang telah dibangunnya di perbatasan, dan mengingatkannya pada tragedi dua puluh tahun yang lalu.

Umoya Granades.. Apakah dia sedang berusaha membalaskan dendamnya?. Batin Hugo.

"Aku akan membawanya bersamaku. Lalu menghabisi satu persatu yang ada di Kerajaannya, rakyatnya, lalu keluarganya. Dan kau harus menyaksikan itu terjadi tanpa bisa melakukan apapun!" Wanita itu tertawa melihat Hugo yang kini terdiam.

"Tidak akan ada yang bisa kau ambil dari tempat ini." Ujar Hugo pelan.

Tangan kanan Hugo bergerak menarik sebuah kalung dengan liontin dari batu berwarna putih menyala, lalu menaruhnya tepat di depan mata Nyonya Mada. Dalam hitungan detik makhluk itu berteriak keras sehingga membuat Pears dan semua orang di depan rumah merasa khawatir.

"Pangeran Pears!"

Ketika mendengar teriakan Hugo, Pears dengan cepat bergegas masuk.

"Nyonya Mada sudah sadar. Dia hanya sedang kelelahan sehingga terlelap. Tapi makhluk itu sudah pergi dari sini. Meskipun begitu kita harus tetap waspada, jangan sungkan untuk meminta pertolongan dari istana ketika gangguan itu datang lagi." Ujar Hugo.

Suami Nyonya Mada tak ada henti mengucapkan terimakasih kepada Hugo dan Pears atas bantuan mereka malam ini.

......................

Malam itu setelah rombongan Kerajaan berkunjung untuk melihat keadaan Nyonya Mada, lalu mereka kembali ke Istana. Sebuah angin kencang berhembus di desa Zinnia dan membuat suasana kian mencekam.

Seberkas cahaya merah yang mulai meredup itu tertahan di perbatasan tanpa bisa membebaskan dirinya keluar, kini cahaya itu mengelilingi desa Zinnia. Lalu kembali ke rumah reyot milik Nyonya Mada.

Nyonya Mada yang sedang terlelap di kasurnya dengan nyaman tiba-tiba menghempaskan selimut yang menghangatkan tubuhnya, Ia terduduk smabil memandang suaminya yang juga tertidur pulas disampingnya.

Kemudian Ia berlari ke arah hutan. Menembus 'dinding' pembatas antara Runthera dan hutan belantara. Wanita itu terus berlari menyusuri setiap pepohonan dalam kegelapan hingga mencapai pusat hutan itu.

Usai Ia menembus dinding pelindung di perbatasan, kini perlahan tubuhnya melemah hingga akhirnya terkapar di tanah hutan yang kering. Lalu seberkas cahaya merah melayang keluar dari tubuhnya seperti sebuah asap.

Cahaya merah yang menyilaukan itu perlahan berubah menjadi sosok seorang wanita cantik bergaun merah seperti darah, yang memiliki cahaya merah menyala di setiap jengkal tubuhnya.

Sebuah senyuman yang nampak bengis terukir di wajahnya yang cantik, lalu pandangannya berujung pada seonggok tubuh yang baru saja dibawanya ke dalam Kerajaan tak kasat mata miliknya itu.

"Apa yang kau lakukan, Tara?"

Gadis itu terkejut ketika mendengar sebuah suara di tengah keheningan yang mengelilinginya.

"Oh, Fiers.." Lirihnya tertahan, raut wajahnya nampak kebingungan.

Mata tajam Fiers melirik tubuh wanita tersebut yang tergeletak di dekat mereka, di depan sebuah kastil milik Granades, "Apakah kau baru saja keluar dari tubuh wanita itu?"

"Ya! Keren, bukan?" Tara tersenyum bengis, "Aku bisa menggunakan tubuh itu untuk menjadi setengah manusia, San Fiers."

Sebuah senyuman misterius terukir di wajah Fiers, "Jadi cara itu juga yang dipakai Moon Ara ya?"

"Kurasa kekuatan milik Si Pengkhianat itu berbeda dengan yang baru saja di pelajari Dan Tara."

Terdengar sebuah suara lain dari arah pepohonan, lalu sebuah cahaya merah itu jatuh ke tanah dan berubah menjadi sesosok wanita cantik, gaunnya yang hitam panjang dikelilingi cahaya merah yang pekat seperti yang dimiliki Fiers. Umoya itu bernama Kasha, yang merupakan kakak kedua Putri Granades setelah Fiers.

"Ara bisa masuk ke wilayah itu dalam wujud sempurna, tanpa kurang satupun kecuali kekuatannya. Sihirnya mungkin masih dapat digunakan, tetapi kekuatannya tidak terlalu besar untuk melindungi dirinya. Maka dari itu ketika Fiers menyerangnya dulu, dia benar-benar tidak sanggup melawan." Ujar Kasha.

"Anak itu pasti mendapatkan ilmu selemah itu dari Shaga." Cetus Fiers.

"Sudah Pasti. Tapi kalau Tara.. Dia hanya bisa masuk ke dalam tubuh manusia dan mengendalikan pikirannya. Tapi dia masih bisa menggunakan kekuatan sihirnya seperti biasa." Sambung Kasha.

"Ya. Kau benar, Kak!" Cetus Dan Tara. "Tapi tubuh itu terlalu lemah untukku, dia terlalu tua dan penyakitan. Aku ingin mencari yang lainnya saja."

"Apakah kau akan melenyapkan wanita ini?" Tanya Kasha.

"Tidak, aku tidak akan bisa masuk ke Kerajaan itu tanpa melakukan pertukaran wujud di perbatasan. Tapi saat seluruh energinya kuambil agar aku bisa berpindah ke tubuh manusia yang lain, maka wanita ini akan kehilangan nyawanya." Tara tersenyum sinis lalu menatap Fiers yang tampak masih takjub dengan kekuatan yang dimilikinya itu.

"Darimana kau mempelajari ilmu itu?" Cecar Kasha tajam.

"Ini adalah rahasia Dan Tara!"

Fiers melangkah maju secepat angin hingga menyudutkan adik termudanya itu ke dinding kastil, "Ajari aku! Cepat beritahu aku bagaimana caranya, Tara!" Tukas Fiers dengan suara keras, yang kini dikuasai dengan dendam dam amarah.

Melihat wajah Fiers yang seperti kehausan darah, Tara mulai tersenyum nakal, "Eh, kenapa Kak Fiers ingin tahu sekali? Apakah ada yang ingin kau temui di desa itu?"

"Ada yang harus kucari disana. Dan aku harus mendapatkannya!" Sergah Fiers.

"Apakah maksudmu lelaki yang kau serang ketika dia masih di dalam kandungan waktu itu?" Tanya Tara.

"Itu bukan urusanmu, Tara!" Tukas Fiers.

"Aku tidak akan menunjukkan caranya padamu!" Balas Tara tak kalah keras.

Ucapan Tara itu seketika menjadi alasan bagi Fiers dan Kasha untuk melemparnya dengan hempasan sihir secara bersamaan.

"Jangan membantahku, Tara!!" Jerit Fiers.

"Cepat tunjukkan caranya, Tara! Kau harus membagi ilmu itu kepadaku juga!" Kasha juga berteriak di depan wajah Tara yang kini mulai marah karena serangan dari kedua kakaknya itu.

"Kak Kasha juga berambisi untuk masuk ke Kerajaan itu rupanya ya?" Tara menyeringai sinis.

Fiers menatap Kasha dengan tajam, "Siapa yang kau cari disana huh? Kalian jangan coba-coba untuk mengincar mangsaku!"

"Oh, Fiers, ayolah. Ayah saja tidak pernah melarangku untuk menyerang siapapun, kenapa aku harus patuh pada perintahmu?"

Sedetik kemudian Kasha sudah terhempas hingga terjembab ke semak belukar karena ulah Fiers. Merasa tidak terima dengan serangan ini, Kasha pun melakukan hal serupa kepada kakaknya. Hingga perkelahian mereka menjadi kesempatan bagi Tara untuk menghilang dari sana.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Hai!

Terimakasih sudah menyempatkan waktu buat membaca ceritaku :)

Jangan lupa like, komen, dan votenya yaa

Terimakasih;)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!