Bab 11 - Serendipity

“Eratkan jubahmu, Jerriel! Wajahmu nyaris saja terlihat.”

Pears berbisik pada Jerriel yang langsung menenggelamkan wajahnya dalam jubah lusuh yang di pakainya. Mereka membungkuk dan mempercepat langkah untuk memasuki wilayah pasar.

Menuruti saran Pears untuk mengunjungi rakyat dengan menyamar sebagai pengemis memang membuat mereka lebih mudah berbaur tanpa ada penyambutan atau semacamnya.

Namun jika ada yang mengetahui mereka dalam wujud seperti ini, Jerriel khawatir bahwa mereka akan dianggap sebagai pemimpin yang aneh.

“Tidak akan ada yang mengenali kita. Tenang saja..” Kata Pears seolah bisa mendengar pergumulan di pikiran kakaknya itu.

“Kau begitu yakin. Tapi jika penyamaran kita ketahuan, kau akan kupenggal,”

Pears tertawa mendengar gurauan Jerriel yang terdengar selalu serius, “Hahaha, aku ini juga seorang pangeran. Kenapa kau memberiku hukuman yang sama seperti para penjahat?”

Jeriel menahan hasratnya untuk berteriak ketika melihat Pears berjalan meninggalkannya menuju ke sebuah kedai yang menjual kue.

Pears terlihat sedikit memelas sebelum akhirnya si penjual memberinya satu kantong berisi kue. Kelakuan Pears benar-benar memalukan bagi Jerriel.

“Kau mau?” Pears kembali lalu menawarinya dengan senyuman lebar.

Jerriel mendesis, “Dasar tukang minta-minta!”

“Aku hanya sedang mendalami peranku.” Jawab Pears sambil mengunyah kue itu dan tertawa.

Jerriel mendahului langkah Pears yang sedang menyantap kue pemberian rakyat itu. Lalu setelah keluar dari keramaian menuju sebuah jalan sempit diantara dua bangunan tua yang mulai lengang, Jerriel melepas tudung jubahnya dan berjalan tegap kembali.

“Hey! Katamu kau tidak ingin ada yang mengenali kita?!” Gerutu Pears.

Jerriel tidak menjawabnya. Namun ketika menyadari kemana arah langkah kaki Jerriel membawanya, seketika Pears tertawa keras.

“Kau melepas jubahmu karena tidak ingin terlihat buruk di depan gadis itu ya?”

“Kau berisik sekali..” Desis Jerriel acuh.

Pears tersenyum skeptis, “Akhirnya ada seseorang yang mampu membuatmu rindu.”

“Apa maksudmu? Aku kesini untuk menepati janjiku, kau ingat Sooki? Anak kecil yang ingin membuat seribu bangau kertas waktu itu?”

“Wah.. selain pandai memanah. Kau juga pandai berkilah—aduh!” Pears memekik ketika Jerriel memukul kepalanya.

“Itu pangeran Jerriiiiel!!”

Dari kejauhan terdengar keriuhan suara anak-anak kecil dan membuat senyum di wajah Jerriel mengembang. Tak lama kemudian, mereka berlari menyambut Jerriel dan memeluknya erat.

Pears heran bagaimana bisa anak-anak yang hanya setinggi pinggang Jerriel itu begitu antusias melihat Jerriel yang berwajah angker. Padahal biasanya anak kecil selalu ketakutan melihat Jerriel yang selalu ketus.

Seorang gadis yang kemarin dilihatnya itu membungkuk kepada mereka berdua sambil tersenyum manis.

“Pangeran, aku hampir tidak mengenali kalian dalam pakaian itu.”

“Kami hanya sedang menyamar,” Jawab Pears.

“Terimakasih atas semua yang kau kirim dari istana, Pangeran. Sesungguhnya barang-barang ini terlalu banyak untuk kami, dan Pangeran tidak seharusnya melakukan itu.” Katanya yang terlihat sangat sungkan.

“Aku hanya ingin membantu, dan membuat mereka lebih semangat untuk belajar,” Kata Jerriel yang disambut kembali riuhnya para anak-anak kecil itu.

“Whoa.. kapan kau merencanakannya?” Pears terpukau begitu melihat gubuk yang reyot itu kini menjadi lebih bagus dan nyaman berkat Jerriel. Dan disana juga terdapat berbagai kebutuhan belajar dan makanan yang dikirim dari istana.

“Kau tidak perlu mengetahuinya,” Bisik Jerriel.

Jerriel menatap gadis itu lagi, “Micha membuatkanku lukisan daun kering yang kau ajarkan padanya, di jamuan makan malam kemarin, Nona Minea.”

“Oh, yeah. Maafkan aku, Pangeran. Aku ingin datang, tapi aku tidak bisa meninggalkan Sooki sendirian. Dia sedang sakit, dan harus beristirahat di rumah.”

"Bagaimana keadaannya?"

"Sudah lebih baik, pagi ini demamnya sudah turun tapi dia harus tetap istirahat di rumah."

Jerriel menepati janjinya untuk membuatkan Sooki seribu bangau kertas. Ia duduk di dalam gubuk bersama Minea di sampingnya yang akan mengajarinya melipat bangau kertas.

“Legenda Jepang mengatakan bahwa siapapun yang melipat kertas-kertas menjadi seribu bangau maka permohonannya akan terkabulkan.” Ujar Minea. “Sooki sedang berusaha mengumpulkannya hingga mencapai seribu.”

“Kenapa Sooki ingin membuat ini?” Tanya Jerriel.

”Lewat seribu bangau kertas itu Ia ingin kedua orangtuanya tenang di surga.”

Jerriel tercenung mendengar penuturan Minea.

“Ibunya meninggal sejak melahirkan Sooki, dan Ayahnya yang seorang petani baru saja meninggal setahun yang lalu karena diserang ular.”

“Apakah dia tidak punya siapa-siapa lagi?” Tanya Jerriel mengiba.

“Ya, tapi dia tinggal bersama keluargaku, Pangeran. Kami tidak akan membiarkan anak sekecil Sooki hidup sendirian.”

Jerriel tersenyum lembut mendengar cerita Minea yang sedang sibuk membantunya membuat bangau kertas.

“Kau sudah bisa membuatnya?” Pertanyaan Minea memecahkan lamunan Jerriel.

“Oh—Yeah, hampir. Setelah untuk Sooki, Aku juga ingin membuatnya untuk diriku sendiri, aku ingin Ibuku bisa segera sadar dari tidur panjangnya.”

“Ratu masih belum pulih ya?” Tanya Minea.

Jerriel tertunduk dengan tatapan kosong, “Tidak ada yang bisa mengangkat sihir misterius itu dari tubuhnya. Kami hanya mengharapkan keajaiban.”

“Keajaiban itu akan segera datang, Pangeran. Aku tahu, Ratu adalah wanita yang kuat. Dia pasti bisa bertahan melawan rasa sakit itu.”

Jerriel hanya tersenyum tipis dan melanjutkan origaminya.

Pears bisa melihat bagaimana semburat di wajah Jerriel menggambarkan sebuah kenyamanan. Jerriel pasti senang berada di dekat Minea meskipun Ia tidak pernah mau mengakuinya.

Sebuah kertas origami melayang di depan mata Pears. Seorang anak berusaha menggapainya, lalu Pears tersenyum dan mengatakan, “Biar aku yang mengambilnya, kau tunggu disini ya,”

Ia berlari berusaha meraih sepucuk kertas origami yang terbawa angin itu. Agar anak tadi bisa melanjutkan tugasnya membuat bangau kertas.

Pears berhasil mendapatkannya. Namun langkahnya terpaku di tempatnya berdiri saat ini.

Ia merasakan hal yang aneh ketika menyadari dirinya berada di perbatasan wilayah Kerajaannya dengan sebuah hutan belantara yang berkabut dan terasa sunyi.

Pepohonan lebat dan rumput liar memenuhi hutan itu. Seolah tidak ada kehidupan, dan seolah tempat itu berada di dalam dunia yang lain.

Di antara rerumputan itu seperti terdapat jalan setapak yang panjang dan berujung di sebuah bukit bebatuan yang terlihat misterius.

Sebuah tarikan kecil di ujung bajunya itu menyadarkan Pears dari lamunan. Seorang anak kecil yang menunggunya itu menatapnya dengan tidak sabar.

“Kertasku mana, Pangeran?”

“Oh, maaf. ini dia...” Pears memberikannya pada anak itu.

Kemudian pandangan Pears kembali terfokus pada goa berbatu itu, bisikan-bisikan halus dari dalam sana seolah menghipnotisnya dan membuat tubuh Pears membeku.

“Pangeran, kita harus kembali!" Bocah itu lagi-lagi menyadarkan Pears dari lamunannya, "Ibuku selalu memarahiku jika aku berada di dekat sini.” Sambung bocah itu dengan gelagat agak ketakutan, Ia bahkan enggan menatap ke arah hutan itu.

“Kenapa begitu?” Tanya Pears.

“Ibuku bilang ada monster yang tinggal di goa yang disana itu. Monster yang suka memakan anak-anak. Hiiii... aku tidak mau dimakan monster!"

Pears tertawa mendengar penuturan lugu anak itu. Ia tahu maksud Ibunya adalah melarangnya bermain disekitar sini karena takut diserang ular atau binatang yang berbahaya lainnya.

Pears menunduk padanya lalu berbisik, “Benar, dan kau tahu?.... Dia sedang melihat ke arah kita sekarang,”

Usai Pears mengatakan itu, mereka berdua berteriak dan beradu kecepatan berlari menuju ke gubuk mereka.

“Pears! Kenapa kau berisik sekali?” Gerutu Jerriel yang terganggu melihat Pears yang datang sambil tertawa terbahak-bahak, sedangkan Junie terlihat ketakutan.

“Junie takut dikejar monster pemakan anak-anak, Kak.”

Minea tertawa kecil.

“Monster apa? Tidak ada monster seperti itu,” Timpal Jerriel ketus.

“Ada, Pangeran. Dan monster itu menyukai anak-anak kecil yang nakal. Benar, kan?” Minea tersenyum tipis lalu mengedipkan matanya.

Jerriel paham apa artinya, lalu Ia melirik ke arah anak-anak yang menatapnya tegang. “Oh, iya. Itu benar.”

Dan hanya Pears yang tertawa kembali ketika melihat ekspresi di wajah Jerriel saat ini.

Jerriel yang dengan tulus membuatkan seribu bangau kertas untuk Sooki pun mendapatkan hadiah seribu bangau juga dari anak-anak itu. Mendengar cerita dari Minea, anak-anak itu juga menulis harapan mereka di sebuah kertas untuk kesembuhan sang Ratu.

Dan Pears mempunyai ide yang lebih bagus supaya kedekatan Jerriel dan Minea bisa berlanjut.

Di tengah ketenangan dan keceriaan anak-anak di gubuk belajar itu, tiba-tiba terdengar sebuah jeritan seorang wanita yang cukup memekakan telinga.

Suasana mendadak hening. Suara itu mampu membuat anak-anak merasa ketakutan. Mereka mulai merengek pelan dan beberapa dari mereka menginginkan untuk pulang ke rumah.

"Jangan takut ya, disini ada kami." Minea berusaha menenangkan mereka. Lalu tatapannya beralih pada Jerriel dan Pears yang nampaknya masih tercengang atas apa yang mereka dengarkan barusan.

"Suara siapa itu?" Tanya Jerriel yang terlihat kebingungan.

"Itu adalah suara teriakannya Nyonya Mada, ibu dari salah satu anak yang ada disini." Ujar Minea muram.

Kemudian pandangannya berujung pada salah seorang anak kecil yang duduk di ujung gubuk sedang duduk meringkuk dan mulai menangis, "Ibu..."

Minea menghampirinya lalu mengusap bahu anak itu. "Gion, tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja."

Jeritan wanita itu terdengar kembali sambil tertawa keras, dan membuat anak kecil tersebut seketika berlari hendak meninggalkan gubuk sambil terus memanggil Ibunya.

Minea berseru mencegahnya pergi, Pears sontak menangkap tubuh anak itu dan memeluknya erat meskipun anak itu terus memberontak dan menangis.

"Apa yang terjadi, Nona Minea?" Tanya Jerriel penasaran.

"Belakangan ini beliau mengalami kesulitan dalam keluarganya. Ia tinggal bersama suaminya dan anaknya, Gion. Tapi beberapa hari ini beliau menjadi lebih sensitif dan terkadang bisa marah tak terkendali."

"Apa mungkin dia mengalami depresi?"

"Beberapa penduduk berpendapat seperti itu, namun tabib bilang dia sedang diganggu sesuatu yang membuatnya seperti ini." Ujar Minea lirih. "Tapi semua tabib tidak ada yang bisa menyembuhkannya, setiap malam dia menjerit dan tertawa tak terkendali."

"Kita harus kesana untuk melihatnya, Jerriel. Kasihan mereka." Kata Pears cemas.

Tatapan sendu Jerriel memandangi anak-anak di depannya yang masih nampak ketakutan itu. Kemudian Ia menyentuh bahu Pears yang masih berusaha menenangkan Gion yang menangis di pelukannya.

"Pears, kau disini ya. Jaga mereka. Aku akan kesana untuk melihat keadaan Nyonya Mada."

Pears mengangguki ucapan Jerriel dan membiarkan kakaknya melangkah pergi ke sumber suara.

Jerriel berlari menyusuri jalanan desa yang cukup padat itu, menuju ke rumah yang dimaksud Minea. Beberapa penduduk yang menyadarinya berjalan melewati mereka sempat bingung, apakah pria dalam balutan jubah lusuh itu benar-benar Pangeran Jerriel?

Di sebuah gang sempit Ia menemukan beberapa warga yang berkerumun di salah satu rumah berdinding kayu yang nampak reyot dimakan waktu. Pohon bambu lebat mengitari rumah itu dan membuat daun-daun keringnya yang berguguran mengotori terasnya yang cukup luas.

"Apakah benar ini rumahnya Nyonya Mada?"

Pertanyaan Jerriel mengejutkan para warga disana. Mereka merasa heran melihat Jerriel tiba-tiba ada di hadapan mereka seorang diri tanpa dikawal pasukan dari istana.

"Betul, Pangeran." Kata mereka, lalu memberitahu warga lainnya untuk memberinya jalan.

Jerriel berjalan masuk ke rumah itu dan menemukan seorang wanita yang duduk di lantai ubin yang begitu dingin, Ia terus berteriak dengan kaki dan tangannya dipasung.

Hati Jerriel serasa teriris melihat keadaan beliau yang menyedihkan itu, "Siapa yang melakukannya ini padanya? Kenapa dia dipasung seperti ini?"

Seorang pria yang duduk di samping wanita itu dan sejak tadi berusaha menenangkannya, nampaknya adalah suami dari Nyonya Mada. Beliau berdiri lalu membungkuk sejenak pada Jerriel.

"Maafkan kami, Pangeran. Aku harus melakukan ini karena istriku bisa menjadi berbahaya jika tidak dipasung. Dia akan marah dan menyerang orang di sekitarnya seperti seseorang yang sedang kerasukan."

"Apakah beliau seperti itu setiap hari?" Tanya Jerriel.

"Dia hanya marah ketika kemauannya tidak dituruti. Dia bahkan pernah hampir mencelakai putra kami sendiri dan mengatakan akan membawa jiwa putra kami sebagai kekuatannya. Kami tidak mengerti makhluk apa yang telah mengganggu istriku," Pria itu menceritakannya pada Jerriel sambil menitihkan air mata.

"Maka dari itu untuk sementara putra kami, Gion, harus tinggal terpisah dari ibunya." Sambungnya.

Wanita itu tertawa lagi, kali ini sambil menatap Jerriel dengan sepasang mata memerah yang tampak marah. Kemudian beliau terdiam sambil menunjuk ke arah Jerriel.

"Kau! Disini kau rupanya! Kau keturunan kami kemarilah!" Jeritnya.

Teriakannya begitu memekakan telinga Jerriel, hingga mendadak Ia merasakan pusing di kepalanya. Helaian rambut merah itu kembali menunjukkan cahayanya sebentar.

Tangan wanita itu terulur dari lubang kayu yang memasungnya hingga berhasil menarik ujung baju yang dikenakan Jerriel.

Badan Jerriel yang mulai lemas karena rasa sakit di kepalanya itu pun dengan mudah ditariknya hingga Jerriel terjembab di hadapannya dan jarak mereka menjadi sangat dekat.

Para penduduk yang terkejut melihat kejadian itu dengan cepat berusaha menolong Jerriel, namun Nyonya Mada tidak mau melepaskan cengkramannya di kepala Jerriel.

"Lepaskan aku!" Sergah Jerriel.

"Ikutlah denganku, Nak. Serahkan energi itu untukku sebelum yang lain mengetahuinya." Bisiknya lalu tertawa mengerikan.

"Kau siapa?! Pergi dari sini dan jangan mengganggunya lagi!!" Teriak Jerriel tepat di depan mata merah menyala itu, lalu rasa sakit di kepalanya semakin membuncah dan membuat tubuhnya semakin lemah.

Wanita itu tampak sedih mendengar bentakkannya, kemudian beliau mengusap pipi Jerriel dengan lembut.

Lalu dengan suara bergetar ia berkata, "Kenapa kau mengatakan itu? Jangan berkata seperti itu padaku, kau juga darah dagingku, didalam aliran darahmu terdapat sebagian dari jiwaku...."

Para penduduk berhasil menarik tubuh Jerriel dari genggaman wanita itu, melihat tubuh Sang Pangeran yang terkulai lemas mereka memilih untuk membawa Jerriel menjauh dari rumah Nyonya Mada.

"Kembalikan dia padaku!!!" Dari luar rumah masih terdengar teriakannya yang begitu keras.

Tepat ketika mereka keluar dari gang, Pears yang datang bersama Minea terkejut ketika melihat Jerriel dipapah oleh beberapa penduduk.

"Astaga, Jerriel! Kau kenapa? Apa yang terjadi disini?!"

Dengan cemas Pears mengambil alih untuk memapah Jerriel. Sedangkan Minea masih tercengang melihat keadaan Jerriel, dan mendengar jeritan Nyonya Mada dari rumah itu.

"Bawa dia ke rumahku, Pangeran." Katanya dengan teramat khawatir jika terjadi apa-apa kepada pemimpin mereka.

Jerriel menatap Pears dengan tatapan sayu, Ia masih terlihat lemas dan kesakitan, bahkan Ia tidak sanggup untuk berbicara.

"Kita akan pulang, Jerriel! Pasukan akan segera datang untuk menjemput kita, bertahanlah!"

......................

“Kerajaan Summerion,”

Moon Ara menggeleng lalu mencoret tulisannya di tanah itu dengan batu.

“Kerajaan Runthera,”

Ia kembali menggeleng dan mencoret tulisannya itu. Kemudian Ia bertopang dagu menatap langit.

Mungkin ini terdengar sedikit konyol dan tidak penting.

Sebagai seorang putri kerajaan Umoya, hal ini dianggap tabu atau memalukan. Tapi jika itu soal perasaan tidak ada yang bisa menahannya. Ia masih saja berusaha mencari tahu keberadaan sosok pangeran yang waktu itu datang menemui Shaga.

Bisa saja Ia bertanya kepada Shaga tentang siapa Pangeran itu, namun tentu saja Shaga tidak akan semudah itu mengatakannya pada Moon Ara yang suka bertindak gegabah dan ceroboh.

Ia telah mengunjungi Kerajaan manapun untuk memecahkan rasa penasaran yang telah membunuhnya. Namun Ia tidak mendapatkan apapun.

Di Kerajaan Runthera, Ia malah bertemu seorang Pangeran yang berbeda. Yang berparas tampan, dan dia terlihat begitu lugu dan kalem.

Dan di Kerajaan Summerion, Ia bertemu dengan seorang pangeran yang sangat tinggi, berwajah tegas, namun Ia tidak cukup menguasai panahan. Ia hanya suka bermain musik.

Ia memang belum pernah menghafal jelas bagaimanakah rupa seorang pangeran itu. Tapi dengan melihat beberapa pangeran yang telah ditemuinya, Ia bisa tahu bahwa mereka bukanlah pangeran itu.

Siluet mereka berbeda. Dan Ia yakin, tidak ada pangeran yang memiliki jiwa sekuat itu selain dia. Hanya dengan melihatnya, Moon Ara mengerti ada sesuatu yang dimiliki oleh pemuda itu.

Lalu masalahnya, kemana lagi dia harus mencarinya?

Tolong aku.. Aku ingin kembali.. Tolong keluarkan aku dari sini... Aku tersiksa berada disini.. Aku tidak mau mati seperti ini!!!!

Suara memilukan seorang wanita di dalam menara itu masih terlintas di benak Moon Ara.

Terlalu banyak hal yang ingin Ia cari kebenarannya saat ini. Namun situasi dan waktu menyulitkannya.

Apalagi pengawasan Swain terhadapnya semakin menyusahkannya untuk diam-diam lepas dari larangan Shaga.

Dari kejauhan ia menyadari kehadiran Swain, yang berjalan di tengah hutan yang berkabut menuju goa Pseudo. Lelaki itu membawa sebuah keranjang penuh berisi lobak dan membuat Moon Ara sedikit heran.

“Kau darimana, Swain?”

“Aku mencari lobak di desa,”

“Untuk apa? Oh! Kau dari Kerajaan itu lagi ya?! Kau melarangku pergi kesana, tapi kau sendiri masih sama!” Timpal Moon Ara.

“Dulu saat aku masih menjadi manusia, aku suka sekali memasak. Tapi bakatku itu selalu terpendam dengan berbagai latihan fisik yang mempertaruhkan nyawaku. Andai saja mereka bisa tahu bagaimana lezatnya masakanku, pasti mereka tidak akan meragukanku.”

Mata Moon Ara menyipit heran mendengar celotehan Swain, “Kau tahu? Sebagai seorang pangeran.. bakatmu itu tidak berguna.”

“Terserah! Tapi aku menyukai apa yang aku lakukan,”

“Lalu untuk apa kau memasak? Kita tidak memakan makanan seperti manusia! Kau lupa hah?”

Swain tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya, “Diluar sana ada banyak manusia yang kelaparan, Moon Ara.”

Seketika Moon Ara teringat sesuatu. Desa Wedelia yang waktu itu Ia datangi, yang keadaannya begitu kering dan menyedihkan.

“Swain! Aku rasa bakatmu itu ada gunanya. Di salah satu desa disana, terjadi kekeringan yang luar biasa. Mereka kelaparan dan butuh persediaan makanan. Aku tidak mengerti kenapa pemimpin mereka tidak mengurus desa itu. Aku rasa aku akan meminta bantuanmu untuk menolong mereka, kau mau?”

^^^to be continue...^^^

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Halo!

Terimakasih sudah membaca cerita ini yaa.

Jangan lupa tinggalkan like, komen, dan vote ;)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!