Bab 3 - The Betrayer

Moon Ara menyapukan kuasnya di gambar terakhir.

Ia meletakkan kuasnya dan memeluk lutut memandangi hasil karyanya. Ia melukis sebuah alam yang luas dan hijau. Mengartikan kebebasan. Ia hanya menginginkan kebebasan untuk dirinya saat ini.

Setelah cukup puas dengan hasilnya, Ia menghela nafas. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan luas yang kosong, namun dindingnya penuh dengan lukisan tangannya. Ia beranjak mendekati jendela besi yang sangat sempit, bahkan Ia tidak bisa mengulurkan tangannya keluar.

Yang Ia tahu, Ia berada di dalam sebuah menara yang sangat tinggi. Menara tertutup. Dan tidak ada jalan turun kecuali dengan merusak temboknya dan terjun ke bawah. Namun jangan lupa dengan pelindung misterius yang mengelilingi menara tinggi itu. Siapapun pasti akan kesulitan menembus pelindung itu.

Entah sudah berapa tahun Ia ditahan dalam penjara Kerajaan itu sejak kejadian penebangan dan kebakaran Kerajaan mereka oleh Raja Kerajaan Runthera. Ia dituduh telah membantu pihak musuh dan memprovokator mereka untuk menghancurkan kerajaannya sendiri.

Tidak salah jika Moon Ara dituduh seperti itu, sebab hanya dirinyalah putri yang bertentangan dengan peraturan dalam kerajaan mereka.

Ayahnya, Sang Raja Granades, benar-benar tidak menganggapnya sebagai seorang putrinya lagi. Saudara-saudaranya memusuhinya. Ia tidak memiliki siapapun lagi yang dapat membelanya. Ia hanya sendirian.

Sejak kejadian itu, Moon Ara benar-benar tidak pernah melihat para keluarganya sama sekali. Tak ada satupun dari mereka yang mengunjungi Moon Ara. Seolah Ia dianggap sudah lenyap.

Dan kelanjutan kerajaan ini pun ia tidak tahu lagi kabarnya. Yang bisa Ia lihat hanya dinding tinggi dengan penuh lukisannya.

Namun suatu hari ada seorang Umoya yang melintas dan mengetahui bahwa ada kehidupan seseorang di dalam menara tinggi antah berantah ini, dan berjanji padanya untuk membebaskannya.

Sebuah kilatan cahaya yang sangat menyilaukan baru saja melintas di depan jendela besi menara itu. Moon Ara mengira Ia sedang diserang, Ia bersiap-siap menggunakan sihirnya meskipun Ia tahu kekuatannya tidak akan berhasil melindunginya dari dinding menara yang begitu kuat.

“Putri Moon Ara!! Tenanglah di dalam dan berusaha berlindunglah. Aku akan menghancurkan menara ini!!” Teriak seseorang dari luar.

Moon Ara tidak menjawab dan hanya mengawasi setiap sudut menara untuk menjaga dirinya dari serangan yang akan terjadi. Namun belum sempat Ia menyadari dari sisi mana menara ini akan diruntuhkan, sedetik setelah pelindung itu hancur semuanya menjadi gelap dan hening.

Tetapi gerbang kebebasan itu sudah mulai terbuka lebar untuknya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suatu hari di Kerajaan Runthera..

Taks.. Taks.. Taks...

Sepasang kaki tanpa alas berlari di atas tanah yang di penuhi daun kering yang berguguran.

Sesekali Ia melompat ketika akar pohon menghalangi jalannya. Menembus hutan yang lebat dengan begitu kencang. Pandangannya tertuju pada seekor burung elang yang terbang kencang menjauh.

“Minggir!!” Terdengar sebuah teriakan dari belakangnya.

Ia merunduk ketika sebuah panah hampir menembus kepalanya dari arah belakang.

“Berhati-hatilah!” Umpatnya, lalu mencabut panah di tasnya dan bersiap dengan busurnya membidik burung elang yang harus di dapatkannya itu.

“Ayolah! Ini tidak akan berhasil!!” Seru suara lain yang melemah, jauh dari belakang.

Mencoba memanah untuk yang kesekian kalinya, namun tetap meleset. Ia mengerang terus berlari mengejar elang itu, panah terakhir baru saja di lepaskannya sebelum Ia menghentikan larinya di ujung tebing.

Sedangkan dari sisi lain seseorang juga melepaskan panah ke sasaran yang sama sebelum akhirnya Ia melompat dari ujung tebing dan terjatuh ke danau di bawahnya.

“Siapa yang menang?” Tanyanya lantang, yang masih mematung di ujung tebing sambil mengatur nafas. Pegas panahnya masih bergetar di tangannya.

“Lain kali Jangan gunakan elang itu sebagai latihan!” Seru yang berada di paling belakang sambil menyeret pedangnya dengan kelelahan.

Burung elang naas yang tertusuk panah itu terjatuh ke danau. Dan sebuah tangan dari dalam danau langsung menangkapnya dengan cepat.

Seseorang bangkit dari dalam air. Pakaiannya, rambutnya, dan wajahnya yang tampan telah basah kuyup. Kedua mata itu menatap dengan tajam. Lalu sebuah senyum kecil yang sinis mendefinisikan betapa sombongnya dia atas apa yang sudah Ia lakukan.

Darah elang itu mengalir di lengannya, dengan dua anak panah yang menancap di tubuh hewan itu.

Ia menatapnya sebentar lalu mengangkatnya lagi dan berseru kepada dua saudaranya yang berada di ujung tebing.

“Aku memanah matanya! Hahaha..” Gelaknya, senang bukan main.

“Dasar tidak punya hati!” Seru si pemegang pedang dari atas tebing yang kesal sendiri.

Yang satunya hanya bersendakap sambil memutar bola matanya.

“Pangeran Pears, Pangeran Jerriel,”

Perdana menteri Hugo melangkah menghampiri mereka bersama tiga pengawal.

Pears, yang membawa pedang itu menoleh dan langsung tersenyum sambil membungkuk memberi penghormatan. Sedangkan Jerriel, yang memanah hanya menatapnya sekilas sambil menyandang busur panahnya di bahu kiri.

“Dimana Vins?” Tanya pria itu.

“Aku disini, Guru!!” Sahut si pemilik nama dari tengah danau di bawah tebing.

Ia menepi dan mulai memanjat tebing yang tidak terlalu tinggi itu, supaya bisa berkumpul dengan mereka. Saat sudah di atas, Ia membungkuk sambil menenteng busur panahnya dan seekor elang yang di panahnya.

Perdana menteri tampak takjub dengan hasil memanah para Pangeran yang di ajarinya selama dua puluh tahun terakhir itu.

“Kalian masih terus latihan?”

“Yeah, Jerriel yang memanah perutnya.” Kata Pangeran Vins.

“Lalu siapa yang memanah matanya?” Tanyanya dengan senyum aneh.

“Tentu saja bukan aku, senjataku hanya pedang!” Sahut Pangeran Pears sebal.

Tanpa mengatakan apapun, Jerriel meletakkan telunjuknya di kepala Pangeran Vins yang cuma tersenyum lebar.

Hugo tersenyum bangga, “Bagus, Pangeran Vins! Tapi Pangeran Pears, berusahalah lebih keras.”

“Aku harus berusaha lebih keras bagaimana, Guru? Jika semua tantanganmu adalah harus memburu seekor hewan yang tidak berdosa! Ah, aku mana tega melakukan itu!” Omel Pangeran Pears.

"Ah, bilang saja kalau kau payah dalam hal memanah." Tukas Jerriel.

"Hey!" Pears berkacak pinggang menatap Jerriel dengan pura-pura marah, "Aku hanya masih butuh latihan. Tapi.. jangan meremehkan kemampuanku dalam hal adu pedang ya!"

Vins menjentikkan jarinya dan ikut bersuara, "Ya! Aku ingat saat pedangmu menancap di jubah milik Jerriel dan membuatnya tersangkut di dinding hingga jubahnya robek. Saat itu kau melakukannya dalam keadaan mata tertutup, bukan?"

Pears tersenyum bangga mendengar penuturan saudara kembarnya itu.

“Lalu tantangan seperti apa yang kau inginkan, Pears?” Tanya Hugo.

“Seperti.. membelah sesuatu. Pohon tumbang, batu, atau sebuah daging panggang. Aku pasti bisa melakukannya. Jangan memburu makhluk hidup, kasihan mereka!” Sontak semua orang tertawa mendengar penuturan Pangeran Pears, Pangeran termuda di Runthera yang sifatnya begitu lugu.

Vins tertawa sambil merangkul saudaranya itu, sedangkan Jerriel hanya tersenyum tipis. Dia memang saudara tertua dan sifatnya sangat dingin.

“Baiklah, sekarang saatnya menantang kemampuanmu, Pangeran Pears. Sasaranmu sudah berada di meja makan,” Kata Perdana Menteri dengan senyuman hangat.

“Benarkah? Daging panggang? Ini sudah waktunya makan yaa?!” Sahut Pangeran Pears yang mulai heboh.

Vins menyerahkan busur panah dan pedang di punggungnya kepada pengawalnya. Pears menyerahkan pedangnya. Dan Jerriel menyerahkan busur panahnya lalu meninggalkan mereka begitu saja.

Sambil sedikit berlari Vins menyamai langkah Kakaknya yang dingin itu. “Jerriel, panahanmu tadi bagus juga.”

Jerriel meliriknya sekilas dan hanya tersenyum singkat.

“Aku memang memanah matanya, tapi panahmu menembus perut elang itu dengan begitu cepat.”

“Jadi kau hanya ingin membicarakan sasaranku yang meleset huh?”

Vins menggeleng cepat, “Tidak. Bukan begitu.”

“Yeah, kemampuan memanahku memang tidak sepandai dirimu, Vins."

Vins tertawa kecil mendengar penuturan Jerriel yang terdengar sarkastik.

“Aku tidak membicarakan soal kemampuan. Itu sudah jelas bahwa kaulah yang lebih menguasai panahan ini daripada aku. Aku hanya kagum dengan gayamu dalam memanah, aku berharap suatu hari kau mau mengajariku. Dan tidak bersaing seperti yang diminta Guru, bisakah?”

Jerriel menghela nafas, lalu menatap adiknya penuh perhitungan, “Dengar ya, Vins. Kau bisa melakukannya sendiri, kenapa harus meminta bantuanku. Aku tahu kemampuanmu sudah sangat baik, kan?”

Terlihat raut wajah sedikit kecewa di wajah Vins, yang kemudian disembunyikannya dengan seulas senyuman manis, “Baiklah.. tapi, bolehkah anak panahmu ini untukku? Aku ingin menyimpannya,”

Vins menunjukkan sebuah anak panah milik Jerriel yang dicabutnya dari perut elang itu.

“Ambil saja,” Jawab Jerriel acuh lalu berjalan mendahului Vins.

Vins sontak bersorai senang, “Terimakasih!”

Selagi kedua saudaranya berbicara seru bersama Sang Perdana Menteri sekaligus guru bagi mereka. Jerriel mendahului mereka hingga berpapasan dengan Ayahnya yang sedang memandangi mereka di dalam Istana.

“Bagaimana hari ini, Nak?” Tanya Ayahnya, Raja Joon. Seorang Ayah yang sempurna bagi ketiga Pangeran ini.

“Aku lelah karena berlatih seharian,” Ujar Jerriel.

“Kau sudah berjalan-jalan mengelilingi kerajaan? Untuk bertemu dengan para rakyatmu.”

“Aku tidak sempat berkeliling, Ayah. Seharian ini, aku harus berlatih dengan Vins dan Pears.”

“Baiklah. Tapi kapan kau akan meluangkan waktu untuk melihat rakyatmu?”

“Lain kali akan ku coba, Ayah.”

Raja Joon tersenyum lembut, “Kau perlu menemui mereka sebagai Pangeran mahkota yang mereka kagumi, nak. Mereka pasti akan senang dengan melihatmu sebentar, dan memeriksa keadaan mereka."

Pangeran Jerriel menatap Ayahnya dengan serius, “Sebagai Pangeran Mahkota, aku juga perlu memperbaiki kemampuanku kan Ayah? Lagipula, menemui mereka adalah tugas Pears juga, dia menyukai hal-hal seperti itu bukan?”

“Tapi kau adalah putra pertama Ayah. Kau juga harus lebih banyak membantu mereka. Dan tersenyum kepada mereka. Jika Ayah tiada, kaulah satu-satunya harapan mereka.”

Pangeran Jerriel termenung mendengar penuturan Ayahnya, “Apa yang Ayah katakan? Jangan bicara seperti orang yang mau mati, Ayah.”

Raja Joon tertawa kecil sambil menepuk bahu putra pertamanya, “Tapi ucapanku benar, bukan? Kau harus meneruskan Ayah jika Ayah sudah tiada.”

Pangeran Jerriel merasakan hal yang aneh ketika mendengar penuturan Ayahnya. Suaranya terdengar nanar, dan wajahnya tampak muram. Firasatnya tidak mengatakan apapun ketika melihat sikap Ayahnya yang mendadak terdengar putus asa.

Namun Ia tahu, Ayahnya masih sangat terpukul sejak Ibunya mengalami sakit parah yang melumpuhkan tubuhnya setelah melahirkan Pangeran Vins dan Pears lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

“Bagaimana Keadaan Ibu, Ayah?” Tanya Jerriel, berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Dia masih berbaring di ranjangnya,” Jawab Raja dengan nada pilu, namun berusaha di sembunyikannya di balik senyuman seorang Ayah. "Cuaca diluar sedang sangat cerah, setidaknya dia tidak merasa kedinginan."

Jerriel menuntun langkah mereka menuju kamar dimana Ratu berada.

Raja Joon melangkah mendekati ranjang Sang Ratu berbaring, lalu berlutut di depannya. Raja menggenggam erat jemari lembut istrinya sembari menahan tangis. Namun mata sang Ratu masih tetap terpejam. Tubuhnya begitu dingin dan pucat, namun kondisi tubuhnya masih menunjukkan bahwa Ia masih bisa melanjutkan kehidupan. Meskipun tidak ada yang tahu kapankah Ia akan membuka matanya kembali.

“Beberapa tahun yang lalu Ibumu membuka matanya setelah tidur panjang. Saat mendengar adikmu semakin mahir dalam memanah. Tapi sihir terkutuk di dalam tubuhnya itu menyerangnya kembali dan membuat kesehatannya menurun. Dan hingga sekarang, dia tidak pernah membuka matanya lagi,” Ujar Raja lirih.

Raja menaruh tangan Ratu di pipinya sambil tersenyum sedih, “Kapan itu bisa terulang lagi? Dan jangan izinkan dia untuk tidur seperti ini lagi.”

Jerriel mendekati Ayahnya dan mengusap bahunya lembut.

“Apakah Ayah sudah yakin bahwa paman Hugo tidak bisa mengangkat sihir yang sudah merusak raga ibu?”

“Hugo sudah pernah mengerahkan seluruh kekuatannya, tapi sihir dari makhluk kerajaan tak kasat mata itu telah merusak raga ibumu terlalu dalam.”

“Ketika melahirkan adik-adikmu, keadaan ibumu membuat kami semua hampir putus asa. Beruntung Vins dan Pears selamat sebelum akhirnya Ibumu kehilangan kesadarannya untuk waktu yang lama. Mereka bilang, sihir itu masih tertanam di dalam tubuh ibumu.” Sambung Raja yang kini mulai menitihkan air matanya mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu itu.

Sejak melahirkan Pangeran Jerriel yang sempat di serang oleh makhluk misterius ketika perjalanan di kerajaan tak kasat mata waktu itu, Ratu seolah kehilangan energi di dalam tubuhnya. Dan, setelah lahirnya Pangeran Vins dan Pangeran Pears, keadaan Ratu benar-benar semakin tak berdaya.

Ia terus mengalami kesakitan yang tak di mengerti oleh para tabib dan juga serangan misterius di dalam rahimnya sehingga membuatnya koma dalam waktu yang lama.

Pada tahun ke-8 setelah tidur panjangnya, Ratu memang sempat tersadar dan menunjukkan bahwa Ia tampak baik-baik saja setelah mendengar kabar Pangeran Vins yang mulai menguasai panahan di usianya yang masih belia. Namun setelah beberapa hari, keadaannya kembali memburuk dan membuatnya koma.

Tak jarang Jerriel berpikir mengapa Ia tidak pernah bisa sepaham dengan adik-adiknya, Ia masih merasa tidak terima begitu mengingat keadaan ibunya memburuk sejak melahirkan kedua adiknya itu.

Namun sebagai seorang kakak tertua, tidak pantas jika Ia terus menyalahkan semua kemalangan ini kepada kedua adiknya yang tidak bersalah. Mungkin ini memang jalan hidup yang harus mereka terima.

“Ini bukan kesalahan Vins dan Pears. Jangan menghakimi mereka, mereka sangat menyayangimu,” Rupanya Raja menyadari perubahan raut wajah Pangeran Jerriel dengan rahang yang mengeras itu.

Namun Ia berusaha tersenyum dan menggeleng. “Aku masih terus mencari tahu tentang Kerajaan Misterius itu, tapi tidak pernah bisa menemukan petunjuk sedikitpun tentangnya. Kita hanya harus mengetahui makhluk seperti apa yang telah menyerang Ibumu, dan seperti apa yang harus kita hadapi.”

“Ternyata kalian di sini? Kami sudah menunggu di meja makan!” Tiba-tiba Pears muncul, lalu berlari menghampiri Ayah dan Kakak tertuanya itu.

Senyum di wajahnya yang ceria perlahan luntur begitu melihat raut wajah mereka yang murung, “Apa yang terjadi? Kenapa Ayah menangis? Apakah ibu baik-baik saja?” Tanya Pears sambil berlutut di antara mereka dengan khawatir.

“Kami baru saja membicarakan kalian,” Jawab Jerriel dengan ekspresi yang datar.

“Aku? Kenapa?”

“Jerriel..” Raja khawatir jika Jerriel benar-benar akan mengatakan tentang perasaan kecewanya terhadap kesakitan yang dialami Ratu yang konon di sebabkan oleh adik-adiknya.

“Karena kemampuan memanahmu sangat buruk, dan kapankah kau bisa dewasa?”

Ucapan Jerriel yang selalu terdengar serius itu kali ini diringi sebuah senyuman manis yang membuat Raja tertawa, kekhawatirannya tidak sungguh terjadi.

Sedangkan Pears menggerutu tidak terima disebut begitu oleh kakaknya.

“Tentu saja, senjataku kan pedang dari gading terkuat. Bukan panah seperti kalian berdua! Soal kedewasaan. Ya, karena aku memang termuda disini, bukan?” Timpalnya.

Pangeran Vins datang dengan di iringi beberapa pelayan yang membawakan nampan berisi makanan.

“Melihat kalian yang sedang seru berkumpul disini, maka aku membawa makanan kalian kesini saja.” Katanya.

“Kami baru saja akan pergi ke meja makan, Vins. Tidak perlu repot-repot mengusung makanan kemari,” Ujar Raja Joon.

“Tapi, Ayah, mereka sudah terlanjur repot membawakan makanan kemari. Apa Ayah tega menyuruh mereka mengembalikannya ke meja makan? Jika kita bisa makan bersama disini,”

“Makanlah di meja makan, jangan di kamar Ibu.” Kata Jerriel.

“Aku hanya ingin makan bersama dengan Ibu di dekatku. Apakah itu dilarang?” Sahutnya dengan senyum menyebalkan.

Pangeran Pears berseru menyetujui. “Ide bagus! Ayo kita makan bersama ibu!”

Kemudian tanpa persetujuan kakaknya, Ia sudah menyuruh para pelayan untuk memberikan makanan kepada kedua saudaranya dan Ayahnya.

Mereka akhirnya makan bersama di depan sang Ratu yang masih dalam tidur panjangnya.

Raja Joon tersenyum melihat ketiga putranya yang sedang bersenda gurau sambil menyantap makanan di ranjang Ratu.

Dalam hati Ia terus mengeluh betapa Ia merindukan momen kebersamaan Ratunya dengan ketiga putra mereka. Ia berharap Ratu Ryme terbangun dan melihat ketiga putra mereka yang telah tumbuh sebagai pangeran yang tampan dan gagah.

Memikirkannya semakin membuat Raja sedih, mengingat sihir terkutuk yang menyerang Ratunya. Ia berjanji akan memusnahkan makhluk misterius itu karena telah mengurangi satu kebahagiaannya.

Hanya keceriaan di wajah Jerriel, Vins, dan Pears yang dapat memberinya semangat untuk terus berjuang.

Ryme.. lihatlah, inilah para pangeran yang kau harapkan untuk terlahir selama ini.

Bisakah kau melihat mereka? Ketampanan dan kehebatan mereka?

Aku tidak tahu, dimanakah kau berada saat ini. tapi kumohon kembalilah. Bukalah matamu.

Aku ingin mendengar tawamu di antara kami. Ini sudah terlalu lama kau pergi.

Kembalilah, aku ingin kau disini. Kami semua merindukanmu...

Dan seolah dapat mendengar jeritan hati sang Raja, bibir Ratu perlahan menunjukkan sebuah senyuman manis yang mereka rindukan. Bersamaan dengan setetes air mata jatuh dari sudut mata Ratu Ryme yang masih terpejam.

......................

Terimakasih banyak sudah menyempatkan waktu buat membaca ceritaku ya!

Jangan lupa like, vote, dan komentar :)

Ikuti terus ceritaku yaa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!