Bab 7 - Debar Jantung Yang Telah Mati

Apakah aku buta?

Kalimat itu yang terlintas di kepala Moon Ara ketika membuka mata. Rasanya masih terlalu perih ketika Ia membuka matanya sejak semburan asap aneh di kedai itu mengenai matanya, dan hanya kegelapan yang bisa dilihatnya.

“Swain..” Panggilnya, gemetar.

Namun tidak terdengar jawaban.

Yang terdengar hanya bunyi aliran air dari sungai bawah tanah. Ia baru menyadari dimana dirinya berada, di dalam kamarnya yang sunyi. Ia berharap bahwa dirinya benar-benar berada di dalam goa Pseudo saat ini.

“Swain!!” Suaranya menggema.

Ia mencoba bangkit dan menggosok kedua matanya hingga sakit. Moon Ara melakukan apapun asal penglihatannya bisa kembali. Namun seluruh yang dilihatnya hanya kegelapan yang begitu pekat.

Merasa hampir gila setelah semua yang dilakukannya seolah tidak ada hasilnya, Ia mencoba berjalan dan mencari seseorang namun Ia berkali-kali menabrak sesuatu dan terjatuh.

“Paman Shaga... hiks,” Lirihnya putus asa.

Moon Ara merangkak dan menemukan sesuatu untuk bersandar. Ia mengangkat wajahnya keatas, ke lubang langit-langit besar di tengah goa dan merasakan sebuah cahaya kecil yang semakin lama menyilaukan pandangannya. Dan beberapa saat kemudian penglihatannya perlahan kembali. Ia kini berada di tepi sungai bawah tanah goa Pseudo.

Moon Ara tertawa kecil, “Kupikir aku akan buta selamanya,”

Ia mengedarkan pandangan kepada sepanjang lorong. Berpikir kenapa goa ini menjadi sepi, kemana perginya semua orang?

Ia berjalan ke tengah istana dan mendengar obrolan dua lelaki disana. Ia menemukan Shaga sedang berbincang dengan seseorang yang tidak tampak seperti mereka, dia terlihat sempurna seperti manusia.

Ada manusia yang menemui Paman Shaga disini?

Bagaimana bisa manusia itu datang kesini?

Apa yang mereka bicarakan?

Moon Ara mencari tempat persembunyian agar bisa menguping obrolan mereka dengan jarak yang lebih dekat, namun sayangnya pendengarannya tidak begitu tajam.

Atau memang mereka tidak ingin ada yang mendengar?

Dia siapa?

Satu pertanyaan yang perlahan membunuh Moon Ara dalam kekaguman.

Ia baru saja pulih dari kebutaan sesaatnya dan menemukan sebuah pemandangan indah seperti ini. Entah kepada siapa Ia harus berterimakasih.

Sosok manusia yang duduk di hadapan Shaga itu. Dia tinggi dan sangat gagah dengan busur panah yang menggantung di punggungnya yang tegap, dan sebuah pedang di tangan kanannya.

Caranya berbicara kepada Shaga terlihat sangat tegas dan bijaksana. Tatapan matanya terlihat begitu tajam. Namun Moon Ara bisa melihat sebuah keteguhan dan juga kesedihan disana. Dan parasnya sangat rupawan.

Rasa ini, sudah lama Ia tidak merasa seperti ini.

Jantungnya telah lama mati. Tapi melihat manusia yang disana itu, Moon Ara merasakan suatu yang berbeda dalam dirinya.

Apakah terdengar aneh jika Ia jatuh cinta kepada seorang manusia?

“Heyaah! Kau disini rupanya!”

Seseorang langsung mengangkat Moon Ara ke punggung lebarnya tanpa izin.

“Swain, turunkan aku.” Dengus Moon Ara.

"Bagaimana kau bisa sampai sini dengan penglihatanmu yang buruk?"

"Aku sudah bisa melihat." Jawab Moon Ara dingin.

"Benarkah? Itu karena obat yang kuberikan tadi. Ayo berterimakasihlah kepadaku."

"Berhentilah, Swain. Turunkan aku!" Tukas Moon Ara.

“Tidak, tidak. Kau harus kembali ke kamarmu, Euna!”

Moon Ara memukul punggung Swain agar Ia menurunkannya, namun hal itu tidak berhasil. Lelaki itu masih tetap berjalan menuju ke kamarnya.

"Kau tahu? Aku pernah menyihir seorang pemuda yang selalu jahil dan mencari masalah denganku menjadi sebuah pohon pinus di Granades."

Swain tersenyum miring mendengar ancaman gadis itu, "Oh, jadi kau sedang mengancamku dengan sihirmu? Baiklah, coba saja."

Moon Ara berusaha menyerang Swain dengan sihirnya namun gagal. Ia terus mencoba mengerahkan kekuatannya namun tetap tak ada sihir yang keluar dari tangannya. Ia terkejut ketika menyadari sihirnya menghilang.

“S-swain.. apa yang terjadi padaku?” Pekiknya. "Sihirku.. Aku tidak bisa menggunakan sihirku lagi?!"

Swain menurunkannya dari bahunya, lalu menatap Moon Ara dengan serius, “Kau ingat semburan asap dari lilin di kedai itu? Itu adalah lilin pengusir setan,”

“Apakah itu berbahaya untukku??” Pekik Moon Ara.

“Tentu saja,” Sahut Swain pelan sambil menggaruk belakang lehernya, "Aku ingin meminta maaf padamu, aku jadi merasa bersalah karena sudah mengajakmu pergi kesana dan membuatmu dalam masalah seperti ini. Maafkan aku ya, Moon Ara."

Namun bukan itu yang ingin didengarkan gadis itu.

“Lalu bagaimana? Tadi aku mengalami buta ketika membuka mataku, dan sekarang sihirku tiba-tiba lenyap, Swain!”

"Itu adalah salah satu akibat dari semburan asapnya, Euna." Lirih Swain yang kini menatapnya dengan prihatin.

Moon Ara meremas kerah pakaian Swain dengan keras, “Swain!! Aku tidak mau menjadi Umoya lemah seperti ini, tolong beritahu aku bagaimana caranya agar kekuatanku bisa kembali?!”

Swain yang membiarkan Moon Ara meremas kerahnya dan mengguncangnya itu hanya menunjukkan sebuah ekspresi yang datar.

“Jangan takut. Kau hanya perlu beristirahat di kamarmu,” Kata Swain.

Moon Ara melepas cengkramannya lalu tersenyum miring sambil berkacak pinggang, “Hanya itu saja? Hah-Aku pikir sesuatu yang sulit,”

“Yeah, kata Tuan Shaga kau harus beristirahat... selama satu abad,”

Ucapan Swain membuat Moon Ara terbelalak dan hampir saja membuat gadis itu percaya.

"Katakan bahwa itu tidak benar, Swain! Aku tidak mau menjadi lemah selama itu!!"

“Ha ha ha.. tidak, hanya beberapa malam, Tuan Shaga sudah memberimu sedikit ramuan ini dan itu yang aku tidak tahu apakah itu. Dan mungkin cepat atau lambat kau akan segera pulih, kau tenang saja sihirmu akan kembali.”

Tawa Swain yang menyebalkan seketika berhenti ketika Moon Ara menghantam perutnya.

“Ohya, kau tahu siapa yang berbicara dengan Paman Shaga?”

“Yang mana?”

“Manusia yang disana itu,”

......................

“Sampai sekarang, aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Mereka benar-benar menghancurkan semua yang kupunya,”

Pangeran Vins menghela nafas panjang setelah menceritakan masalahnya yang menyesakkan dadanya selama berhari-hari.

Lalu Shaga menyentuh bahu Vins untuk menguatkannya.

“Maafkan aku, Pangeran. Aku tidak bisa membantu banyak atas apa yang terjadi kepada Raja dan Ratu. Sihir itu hanya bisa diangkat oleh Umoya yang menyerangnya. Sayangnya, kami para Umoya memiliki kekuatan yang berbeda.”

Pangeran Vins tersenyum tipis, “Tidak apa, Tuan. Setidaknya aku tahu sedikit hal tentang mereka yang telah menyerang Ayah dan Ibuku.”

“Kau bisa datang kemari kapanpun kau membutuhkan bantuanku.”

“Apakah kau tau, siapakah mereka? Dan dimana mereka berada? Apakah kau mau membantuku agar bisa menemukan mereka?” Tanya Vins penasaran.

“Aku tidak bisa mengatakannya, Pangeran. Aku tidak ingin ucapanku menjadi sebuah masalah yang nantinya dianggap sebuah tuduhan yang mengadu domba.”

Vins menunduk pasrah, “Baiklah, Aku mengerti, Tuan. Aku akan mencari tahu sendiri tentang ini,”

“Maafkan sikapku yang keterlaluan sudah datang dengan tidak sopan dan menuduhmu seperti itu, Tuan Shaga. Aku tidak akan tahu bahwa ada Umoya yang baik jika aku tidak bertemu denganmu, aku pikir mereka semua sama kejamnya.” Sambungnya lirih.

Shaga tersenyum, “Aku bisa memahami keadaanmu, Pangeran.”

“Terimakasih." Vins tersenyum manis kemudian termenung sejenak, "Lalu.. Bagaimana caraku untuk pulang, Tuan? Aku datang kesini dengan sebuah buku yang membawaku masuk ke alam ini, dan aku tidak membaca caranya untuk kembali.”

Shaga tercenung mendengar pengakuan Vins.

“Uhmm.. begini, Pangeran. Sulit untuk mengatakannya, tapi... Kau tidak bisa kembali dengan mudah begitu saja,”

“Apa?! Lalu bagaimana, Tuan?? Apakah aku tidak bisa kembali?!”

......................

“DIMANA VINS?!”

Pangeran Pears berteriak ke seluruh penjuru Istana. Ia bersama para penjaga mengelilingi istana untuk mencari saudaranya yang menghilang sejak siang itu.

“Penjaga!! Apakah kalian sudah mengecek di sekeliling istana??” Seru Pangeran Jerriel.

“Kami sudah memeriksa kawasan di sekeliling istana. Dan kami tidak melihat Pangeran Vins."

“Kalian sudah mencari di setiap desa??”

“Kami berpencar mengelilingi desa di setiap penjuru Runthera, Pangeran. Tapi para penduduk juga tidak ada yang melihat Pangeran Vins,”

Jerriel mengusap wajahnya frustasi. Sudah hampir seharian mereka mencari Vins, namun tidak ada hasilnya. Karena hari mendekati tengah malam, makan pencarian semakin sulit dilakukan.

“Paman Hugo, dimana Vins berada? Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk kepadanya?” Pears terlihat lebih cemas dari semua orang.

Dan bagi Jerriel hal itu semakin memperburuk suasana.

“Pears, diamlah! Lebih baik jika kau membantu lewat doa daripada memikirkan yang tidak-tidak begitu!” Sergah Jerriel tegas.

“Maafkan aku, Jerriel. Aku hanya khawatir.”

Kemudian Pears beralih kepada Perdana Menteri Hugo lagi.

“Paman, apakah sebaiknya kita memeriksa wilayah di perbatasan itu? Mungkin saja Vins berada di tempat Ayah waktu itu?”

“Apa kau gila? Kau pergi kesana sama saja dengan mencari mati, Pears!” Timpal Jerriel emosi.

Pears berbalik menatap Jerriel yang berdiri membelakanginya di balkon istana, “Jika kau tidak mau pergi, maka biar aku saja yang kesana!” Balas Pears tak kalah emosi.

"Beberapa hari ini dia menyendiri dan memikirkan tentang serangan Umoya itu. Kenapa tidak jika aku mengira bahwa dia nekat pergi kesana?!”

Pears mendekati Jerriel dan menatapnya dengan sangat marah, “Lagipula semua pasukan kita sudah berpencar ke seluruh Runthera dan tetap tidak menemukan Vins. Tapi saat ada satu tempat yang belum diperiksa, kau malah melarangku mencarinya!”

Jerriel menatap Pears dengan wajah gusar lalu berteriak, “Tapi kau tidak tahu betapa bahayanya tempat itu, Pears!”

“Aku tidak peduli bahaya apapun, Je! Aku hanya ingin Vins kembali!!”

“Tidak, Pangeran Pears. Pasti ada tempat lain yang belum diperiksa di dalam istana. Terakhir dia pamit untuk membaca buku di perpustakaan istana, bukan?” Kata Hugo menenangkan suasana yang mulai memanas itu.

“Ya Perdana Menteri, kami sudah memeriksanya. Namun pintunya terkunci rapat. Kami mencoba mendobraknya tetap tidak bisa.” Kata penjaga istana.

Hugo langsung berjalan keluar dari kerumunan meninggalkan gedung utama istana, diikuti Pears dan Jerriel juga para penjaga. Di tengah luasnya halaman istana yang mulai ditelan oleh kegelapan malam, Hugo memimpin langkah menuju ke gedung perpustakaan.

Dari kejauhan, jendela besar yang mengelilingi gedung itu menunjukkan bahwa gedung perpustakaan sudah gelap gulita seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan disana.

Setelah tiba disana, pintu tinggi itu memang terkunci rapat dan terkadang memang sulit untuk membukanya. Namun kali ini nampaknya ada yang tidak beres.

Perdana Menteri meminta semua orang untuk mundur sementara dirinya berusaha mendobrak pintu itu. Jerriel dan Pears seketika membantu mendrobaknya dengan kuat. Sehingga pintu tinggi perpustakan itu terbuka.

Mereka menyebar ke setiap lorong perpustakaan yang cukup gelap dan Pears menyalakan penerangan untuk memudahkan pencarian mereka.

Ia mengangkat pandangannya ke langit-langit perpustakaan yang tembus pandang dan terdapat ukiran kaca membentuk burung elang mengelilingi atap yang berbentuk seperti kubah itu.

Dari dalam sini langit nampak mendung dan suram, suhu ruangannya pun terasa berbeda dari biasanya. Sementara malam ini di luar sedang terang dengan terpaan sinar bulan, tapi di dalam perpustakaan kini terasa sangat dingin seakan-akan diluar sedang terjadi badai salju.

Pears berlari melintasi setiap rak buku yang tingginya hampir menyentuh atap, beberapa buku tua yang berjajar disana tergeletak berantakan di lantai dan membuat perasaan Pears semakin tidak keruan.

Apakah telah terjadi sesuatu disini?

Apakah Vins baik-baik saja?

Kekacauan ini tidak ada hubungannya dengan hilangnya Vins kan?!

Batin Pears bergelumit tanpa berani Ia curahkan kepada Jerriel atau siapapun. Suara-suara di otaknya itu terus membuatnya cemas.

Ditengah kekacauan pikiran Pears, tiba-tiba Ia mendengar sebuah seruan.

"Aku menemukan Vins!"

Hugo berteriak dari lorong paling ujung perpustakaan dan meminta semua orang untuk menyusulnya.

Vins ditemukan tak sadarkan diri di antara lorong dengan beberapa buku tebal di sekitar tubuhnya.

"Astaga, Vins!"

Jerriel dan Pears tertegun melihat tubuh Vins yang tampak pucat dan terasa begitu dingin, lalu mereka membantu Hugo untuk memindahkan Vins ke kamarnya.

Sebagai pengganti bagi Ayah para Pangeran, seperti yang diwasiatkan sahabatnya-Raja Joon-itu Hugo merasa gagal jika terjadi sesuatu kepada salah satu Pangeran.

Vins dibaringkan di kamarnya yang begitu luas.

Lalu Jerriel bergegas menyalakan perapian kamar dan memberi selimut tebal untuk Vins supaya suhu tubuhnya bisa kembali hangat.

“Vins!! Apa yang terjadi padamu?!” Seru Pears, yang duduk di sisi ranjang Vins dan terus meremas baju Vins dengan khawatir.

“Tenanglah, Pears. Dia baik-baik saja. Dia tidak terluka sedikitpun.” Jerriel berusaha tenang, meskipun kini pikirannya menjadi kacau ketika menemukan Vins tergeletak disana dalam keadaan tak sadarkan diri.

Pears menatap Hugo dengan cemas, “Apakah dia diserang Umoya, Paman?”

Sedangkan Hugo yang tampak kalut itu hanya bisa mengatakan, “Aku tidak tahu, Pears. Tapi kurasa itu tidak bisa terjadi,”

“Tapi 'tidak bisa' bukan berarti tidak mungkin terjadi, kan?” Timpal Pears melemah.

Perdana Menteri Hugo melakukan berbagai cara untuk mencaritahu keadaan Vins. Ia rasa Vins hanya mengalami pingsan karena kelelahan berlatih.

Seorang pelayan istana mendekat ke arah Hugo sambil menyodorkan satu nampan berisi segelas air yang tampak bersinar. Lalu Hugo membasahi tangannya dengan air itu dan menyentuh puncak kepala Vins sambil bergumam sederet mantra.

Namun tak ada reaksi yang berarti yang ditunjukkan Vins, tubuhnya masih terasa dingin. Tetapi ketika mengecek denyut nadinya, seketika Hugo tercengang.

“Vins.. denyut nadinya melemah..”

Suasana menjadi hening seketika.

“Tidak.. tidak! Tidak boleh! Vins!!”

Pears melompat keatas tubuh Pangeran Vins lalu mencengkram erat kerah pakaiannya dan mengguncangnya dengan kencang.

“Vins bangunlah!!! Jangan biarkan para Umoya itu mengalahkanmu, Vins!! Kau adalah Vins kami yang sangat kuat, kan? VINS KEMBALILAH!!!!!”

“Pears...”

Jerriel menyentuh bahu Pears dan berusaha menenangkannya yang mulai tak terkendali meskipun Ia sendiri tidak bisa berkata lagi.

“Vins tidak boleh mati, Jerriel!”

Hatinya terasa hancur ketika mendengar ucapan Hugo yang bagaikan petir yang menyambarnya, Ia juga tak sanggup jika harus berusaha tegar ketika melihat Pears yang berderai air mata menatapnya dengan sedih.

Jerriel yang mulai menangis pun berlutut disamping ranjang Vins lalu menyentuh puncak kepala adiknya itu dengan lembut, "Vins, Bangunlah. Kau bisa mendengarku, kan?"

Tak ada respon apapun dari tubuh Vins, dan hal itu semakin membuat Jerriel frustasi.

"Vins!" Teriak Jerriel sambil menghantam keras ranjang Vins.

"Kau harus bangun, kau tidak boleh meninggalkan kami seperti ini, Vins! Kau harus hidup lebih lama lagi! Jangan mati dengan cara yang sama seperti Ayah!!" Jerit Jerriel.

Suasana di dalam kamar Vins semakin terasa menusuk hati, semua penjaga dan pelayan istana yang mendengar jerit tangis para Pangeran pun turut meneteskan air mata merasakan kesedihan ini.

"Kita masih membutuhkanmu, Vins!! Jangan pergi..." Lirih Pears sambil meremas ujung baju yang dipakai Vins malam itu.

"Paman, apakah tidak ada cara lain untuk menyelamatkan Vins?" Jerriel menatap Hugo dengan penuh harap.

"Kumohon selamatkan Vins..."

Hugo yang sejak tadi hanya terdiam dan menangis merenungkan yang sedang terjadi saat ini pun berusaha bernafas dan menghapus kesesakan di dadanya.

"Maafkan aku, Pangeran. Aku tidak bisa--"

Mendengar itu Pears sontak memukul dada Vins, “VINS KAU HARUS BANGUN SEKARANG JUGA!!!!!!”

“Oh.. Haah.. haah..”

Semua orang terkejut ketika melihat Vins tiba-tiba bangkit dengan nafas terengah-engah.

Vins mengedarkan pandangannya dengan cemas, melihat ke seluruh penjuru kamarnya, lalu Ia mengecek kedua tangannya untuk memastikan bahwa dirinya telah kembali dari alam semu itu.

“Apa yang terjadi?” Tanya Vins bingung ketika melihat semua orang berada di kamarnya dan menatapnya seperti itu.

Terutama Pears yang berada di atasnya itu masih tertegun dengan wajah berderai air mata.

“Kau baik-baik saja???” Tanya Jerriel cemas sambil menyentuh kepalanya.

“Aku? aku—“ Vins tercenung sejenak lalu memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang sudah dilaluinya di alam bawah sadarnya.

Hugo mendekat sambil mengusap bahunya, "Apakah terjadi sesuatu padamu, Vins?"

Vins masih tak mampu mengatakan apapun, Ia hanya menelan ludah dengan gugup.

"Vins, ada apa denganmu?! Katakan sesuatu! Kau jangan membuat kami ketakutan!" Kata Pears yang masih menangis.

“Aku hanya.. tidur, aku kelelahan. Memangnya kenapa kalian bisa jadi panik begini hah?” Vins terkekeh pelan.

“Tidur apanya? Kau ditemukan pingsan di antara buku-buku tebal itu tahu! Keadaanmu tadi sempat kritis!” Timpal Pears.

“Oh, benarkah? Itu hanya.. aku ingin mengambil buku di rak paling atas, lalu aku.. aku memanjat raknya tapi aku tergelincir sampai terjungkal ke lantai dan buku-buku itu berjatuhan ke kepalaku sehingga aku pingsan. Kalian tahu kan bagaimana tebalnya buku-buku itu. Rasanya sakit sekali, untungnya aku tidak gegar otak. Hihihi,” Celoteh Vins, mengusap kepalanya seolah sedang kesakitan sambil tersenyum lebar.

Dan itu membuat semua orang menghela nafas. Antara lega karena Pangeran mereka baik-baik saja, atau malah tak terpikirkan dengan keanehan dari pengakuan Vins.

Pears perlahan tertawa sambil mengusap air matanya, lalu memukul keras bahu Vins berkali-kali, “Syukurlah, Vins! Aku pikir kau dibunuh oleh Umoya.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!