Bab 13 - Perjodohan?

Jerriel tercenung karena ketika membuka matanya pagi itu Ia menemukan Pears yang berdiri di samping ranjangnya sedang tersenyum lebar kearahnya.

Dengan tatapan heran di sudut matanya yang masih sulit untuk terbuka, Jerriel bertanya dengan suara serak, "Kau mau apa?"

"Selamat pagi, Tuanku Jerriel. Apakah kau sudah berniat untuk bangun dari tidur sekarang? Atau aku harus menunggumu sampai kau selesai dengan tidurmu? Ah, tapi kurasa itu sudah cukup, kau harus bangun sekarang, Jerriel!"

Seperti biasa, Pears selalu membuka lembaran hari seseorang di pagi hari dengan kecerewetannya, namun Jerriel sangat benci jika diganggu ketika dia sedang tidur.

“Keluar sana." Tukas Jerriel singkat lalu memejamkan matanya kembali.

"Heeey, Jerriel! Coba lihat keluar jendelamu, hari sudah cerah begini kenapa kau malah melanjutkan tidurmu, sayang sekali, kan? Kusarankan kau untuk bangun dan mencuci mukamu sebentar,"

"Pears!" Dengus Jerriel sebal, "Apa sih yang kau lakukan disini? Kau menganggu tidurku saja!”

“Tarik kembali ucapanmu itu, Jerriel. Aku tahu kau akan menyesalinya setelah mengetahui suatu hal.”

"Hal apa?" Tanya Jerriel tanpa benar-benar ingin tahu.

"Pertama-tama, kau harus membuka matamu terlebih dahulu." Sahut Pears dengan nada jahil.

Sambil memutar matanya yang masih terasa berat untuk terbuka, Jerriel menggulung dirinya kembali ke dalam selimutnya yang hangat, “Apakah itu tentang lukisanmu lagi hah? Nanti saja ya,”

Pears menghela nafas melihat Jerriel yang melanjutkan kembali tidurnya tanpa mendengarkannya dengan baik.

Ia menengok ke arah pintu dan melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk seseorang yang telah menunggu di depan kamar Jerriel itu agar berjalan masuk.

“Selamat datang, dan perkenalkan. Ini adalah Kakak tertua kami yang menjadi Pangeran Mahkota kerajaan Runthera, dan juga kebiasaan buruknya yang selalu sulit bangun di pagi hari.”

Jerriel heran mendengar penuturan Pears yang begitu menyebalkan, Ia menoleh dan menemukan seseorang berdiri di samping Pears.

“Minea??”

Gadis itu membungkuk dan tersenyum, "Selamat pagi, Pangeran Jerriel."

Mata bulat Jerriel yang semula sulit terbuka kini terbelalak dan mengerjap beberapa detik. Perlahan Ia bangkit dari ranjangnya dan terduduk dengan tampang lugunya yang kebingungan.

"Kenapa Minea ada disini?"

“Mulai hari ini, aku akan membantu di istana dan juga merawat Ratu, Pangeran. Terimakasih banyak sudah mengizinkanku untuk bekerja disini.” Kata Minea.

Jerriel tak tahu apa lagi yang bisa Ia katakan saat ini.

“Itu kedengarannya bagus. La-lalu.. bagaimana dengan anak-anak itu?”

“Jangan khawatir! Aku sudah mengurusnya,” Pears menjawab sambil tersenyum lebar.

Jerriel tahu ini adalah akal bulus Pears yang selalu ingin menyudutkannya.

Seolah kehabisan kata mengetahui kenyataan bahwa Minea akan tinggal di istana untuk merawat Ibunya, Jerriel hanya beranjak turun dari ranjangnya dan buru-buru mengambil sarapannya dari nampan yang dibawa oleh Minea.

Sesekali Ia mengamati penampilan Minea yang terlihat berbeda ketika mengenakan gaun pelayan Istana.

“Silahkan nikmati sarapanmu, Pangeran.” Ujar Minea.

Sementara Pears berusaha menahan tawanya melihat tampang garangnya Jerriel berubah menjadi tersipu malu seperti seekor kelinci yang menggemaskan pagi ini.

Jerriel mempercayai Minea. Jerriel begitu mengagumi Minea. Gadis itu seolah menjadi wanita kedua yang bisa menjadi teman berdebat dalam segala hal bagi Jerriel setelah Ibunya.

Disetiap latihan, Jerriel menjadi lebih ambisius untuk menang melawan Vins dan Pears. Dan semua orang bisa melihat betapa cerianya Jerriel ketika bersama Minea.

"Kelihatannya Pangeran Jerriel sangat menyukai kedatanganmu disini ya, Minea." Kata salah seorang pelayan istana yang hampir seumur hidupnya telah bekerja untuk Kerajaan Runthera.

"Aku senang. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum seperti itu, selama ini wajahnya selalu cemberut. Seperti ini..." Sambung Nyonya Nina sambil menirukan ekspresi Pangeran Jerriel ketika marah yang mereka anggap sangat menggemaskan itu.

Minea dan beberapa pelayan lainnya yang sedang sibuk memasak di dapur itu tertawa melihat tingkah Nyonya Nina.

"Mungkin dia hanya sedang ingin merubah kebiasaannya, Nyonya. Semua orang selalu berubah setiap harinya, kan?" Timpal Minea.

"Tidak! Kurasa dia berubah karenamu."

"Iya, Nyonya Nina benar. Sepertinya Minea berhasil menghapus awan pekat yang selama ini mengelilingi dunianya Pangeran Jerriel!" Cetus pelayan termuda diantara mereka.

"Ah, Lihat. Kau membuat Minea tersipu malu." Goda Nyonya Nina.

"Tidak, jangan bicara seperti itu." Timpal Minea yang pipinya perlahan merona.

Seorang gadis pelayan lainnya yang tak sengaja mendengar obrolan mereka bertiga itu berhenti sejenak lalu dengan nada sinis Ia berkata, "Lagipula mana mungkin Pangeran Jerriel mau berubah hanya karena pelayan sepertimu?"

"Maksudku, pelayan seperti kita ini seharusnya tidak boleh bermimpi terlalu tinggi apalagi kepada para Pangeran." Sambungnya sambil melempar pandangan kepada salah satu temannya.

"Lana benar, seharusnya Minea sadar diri sebelum berani-beraninya menggoda Pangeran Jerriel seperti itu."

Minea menatap dua gadis itu dengan lurus, Ia tidak ingin membuat keributan disini. Minea hanya ingin bekerja dan memenuhi keinginan Pangeran Pears yang memintanya untuk membantu di Istana.

"Tapi aku tidak mempunyai niat sedikitpun untuk menggodanya, aku sepenuh menyadari batasanku hanya sebagai pelayan disini."

"Jangan bohong, kau pasti mengharapkan sesuatu darinya, kan?" Cecar Lana.

"Lana! Jangan membuat masalah dan segera selesaikan pekerjaanmu sana!" Tukas Nyonya Nina.

"Tunggu sebentar, Nyonya Nina. Aku ingin menyampaikan sesuatu kepada wanita ini. Aku ingin menyadarkannya sebelum dia bermimpi terlalu tinggi." Timpal Lana lantang, kemudian tatapan sinis itu tertuju kepada Minea yang masih terdiam menahan amarah melihat gadis itu terus menyudutkannya.

"Jangan karena Pangeran Pears yang membawamu kesini, kau menjadi besar kepala dan merasa bahwa dirimu adalah pelayan yang special. Kita semua sama disini, kita adalah budak. Jadi ingat itu setiap kau melihat Para Pangeran di hadapanmu. Lagipula dengan wajah dan tubuhmu yang seperti ini, jangankan menjadi seorang permaisuri, sekedar menjadi seorang wanita penggoda bagi Pangeran pun rasanya tidak begitu pantas."

"Hey kau!"

Sebuah suara berat yang cukup menggelegar itu mengejutkan para pelayan di dapur, dari ambang pintu dapur terlihat Pangeran Jerriel menatap tajam ke arah Lana dan pelayan lain yang baru saja mengatakan hal buruk tentang Minea dengan Pangeran Jerriel.

"Bisa kau ulangi lagi yang baru saja kau katakan?" Jerriel melangkah mendekat dan membuat mereka tertunduk ketakutan.

Namun Lana dan temannya yang semula terlihat begitu angkuh kini hanya terdiam seperti seekor tikus yang terperangkap.

"Ayo katakan lagi, aku belum mendengar yang tadi dengan begitu jelas." Cecar Jerriel pada gadis pelayan itu, namun dia masih menghindari tatapan tajam Jerriel yang tertuju ke arahnya.

"Aku memberimu peringatan untuk berhenti berbicara sembarangan. Kami tidak memberimu tempat disini untuk bergunjing dan merendahkan orang lain seperti itu. Kau tahu?"

"M-maafkan aku, Pangeran."

"Memangnya kenapa jika Minea dan aku berteman, apakah hal itu begitu mengganggumu?"

"Tidak, Pangeran."

"Kalau tidak lalu kenapa kau melotot kepada Minea dan mengucapkan kata-kata menyakitkan seperti itu? Dengar ya, jika kau juga ingin berteman dengan Para Pangeran, kau perlu merubah sikap burukmu dan membuang penyakit hatimu itu jauh-jauh." Tandas Jerriel.

Pandangannya beralih pada segelas minuman kesukaan Jerriel yang sedang diracikkan oleh Lana, dan hal itu menjadi kesempatan untuk semakin mempermalukannya.

"Apakah itu susu coklat yang kuminta tadi?" Tanya Jerriel.

"Iya, Pangeran. Benar."

Jerriel berdecak sebal, kemudian Ia berkacak pinggang sambil membuat pengumuman untuk para pelayan di dalam dapur, "Untuk semua yang ada disini, mohon perhatiannya sebentar ya. Ada catatan tambahan atas pesananku hari ini, dan untuk ke depannya. Selain gulanya yang hanya seperempat sendok teh dan air hangat yang tidak terlalu mendidih ketika memasaknya, aku akan menolaknya mentah-mentah kalau minumanku dibuatkan oleh mereka..."

Semua pandangan tertuju ke arah jari telunjuk Jerriel yang menunjuk kepada Lana dan temannya.

"Aku hanya akan meminumnya jika Minea yang membuatkannya untukku." Sambung Jerriel.

Tatapan tajam Jerriel berujung kepada Lana lagi, dan dengan penuh penekanan Jerriel berkata, "Jika aku melihatmu mengatakan hal bodoh, dan menyakiti orang lain dengan mulutmu yang busuk itu sekali lagi, maka aku tidak akan segan-segan memberi perintah untuk membawamu menjauh dari sini."

Lana tertunduk dengan gemetar.

Lalu Jerriel melangkah meninggalkan tempat itu yang masih benar-benar hening sampai Jerriel sudah cukup jauh dari dapur.

"Minea, lanjutkan pekerjaan Lana. Pangeran Jerriel tidak ingin minuman buatan tangan Lana, kan? Jika sudah, antarkan ke ruangan Pangeran Jerriel secepatnya ya." Ujar Nyonya Nina yang semakin memperjelas dan membuat Lana gusar.

"Baik, Nyonya Nina." Sahut Minea.

Terdengar bunyi sebuah gelas kaca yang diletakkan dengan keras di meja kayu, masih dengan raut wajah kesal Lana menggenggam gelas itu dan menatap tajam Minea yang hendak mengambil gelas di tangannya.

"Lepaskan gelas itu, Lana. Kau bisa memecahkan gelasnya jika menggenggamnya seperti itu." Kata Minea dingin.

Gadis itu tidak mengatakan apapun lagi kecuali mendenguskan nafasnya dengan kesal lalu melangkah pergi dengan langkah lebar, menghilang dari hadapan Minea dan para pelayan lainnya yang masih menatapnya dengan tatapan menghakimi.

..................

Tok.. tok.. tok..

Hugo yang sedang berada di dalam ruangannya mendengar sebuah ketukan di pintunya. Pria itu meletakkan sehelai benang yang sedang di tekuninya lalu menurunkan kacamatanya untuk melihat siapa yang datang.

"Masuk saja," Serunya.

Wajah Pears yang selalu berseri-seri itu muncul dibalik pintu dengan senyuman lebar yang nampak sumringah.

"Hai, Paman!" Sapanya.

Hugo hanya tersenyum tipis kemudian mengalihkan perhatiannya pada kerajinan yang sedang digarapnya pada meja di depannya yang menghadap langsung ke balkon yang menyuguhkan pemandangan sore Kota Runthera.

"Apa yang membuatmu kemari, Pears? Apakah kau mau meminta izinku untuk membaca di Perpustakaan lagi dan mengendap keluar istana?"

Nada bicara Pamannya terdengar sarkastik dan membuat Pears mendadak kikuk, sudah beberapa hari berlalu dan Hugo masih terus menggodanya dengan kalimat sindiran seperti itu.

"Paman, tolong jangan ingat-ingat terus tentang hal itu. Aku tahu aku sudah mengecewakan Paman, aku janji akan menjadi yang sekali ini saja, tapi Paman jangan lupakan juga bagaimana aku menjadi anak yang penurut selama ini." Lirih Pears.

Hugo tertawa pelan mendengar keluhan Pears.

"Aku bercanda, Pears. Aku tahu niatmu waktu itu memang demi kebaikan, tapi jangan ulangi lagi karena itu bisa membahayakanmu."

"Aku tahu, Paman. Aku juga sudah menerima hukuman atas perbuatanku dengan perintahmu untuk memberi makan dan memandikan hewan-hewan ternak kita selama tiga hari, kan? Hal itu sudah cukup membuatku kapok agar tidak membohongimu lagi kok!" Ujar Pears.

"Iya, aku percaya kau tidak akan melakukannya lagi." Hugo tersenyum lembut.

"Omong-omong bagaimana keadaan Nyonya Mada sekarang, Paman?"

"Kemarin Aku pergi untuk melihat keadaannya, tapi Nyonya Mada sedang tidur. Suaminya bilang bahwa keadaannya perlahan kembali normal. Dan Aku tidak melihat tanda-tanda misterius itu lagi di rumahnya, jadi tidak usah terlalu cemas." Ujar Hugo sembari terfokus pada beberapa rangkaian gelang berhiaskan sebuah batu marmer putih berbentuk bulan yang sedang diselesaikannya.

"Ingatkan para penjaga untuk terus mengawasinya, Paman. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi ke depannya." Kata Pears, kemudian perhatiannya tertuju pada gelang-gelang unik yang dibuat oleh Pamannya.

Selama hampir seumur hidupnya Ia tinggal bersama Hugo, baru kali ini Ia melihat Pamannya menekuni sebuah kerajinan tangan. Dan gelang-gelang buatannya nampak begitu menarik sekaligus terlihat misterius.

"Paman sedang mengisi waktu senggang dengan membuat gelang ya? Tumben sekali, boleh aku ikut membuatnya, Paman?" Tanya Pears antusias sambil menarik kursi terdekat agar bisa duduk berhadapan dengan Hugo.

"Tidak perlu, aku sudah selesai." Ucapan Hugo membuat Pears menghela nafas kecewa.

Pears tertegun ketika Hugo mengulurkan tangannya yang berisikan salah satu gelang buatannya kepada Pears.

"Pakailah gelang ini di tangan kirimu. Nanti aku akan memberikannya juga untuk Jerriel dan Vins."

Pears menerimanya dengan senang dan langsung mengenakannya di pergelangan tangan kirinya "Whoaa.. ini bagus sekali, Paman! Aku suka!"

"Pakai ini, dan jangan pernah sekalipun kamu melepasnya."

Kedua alis Pears menaut heran, "Memangnya kenapa, Paman?"

"Gelang ini untuk melindungi kalian." Kata Hugo.

Sekali lagi Pears mengamati gelang dari tali hitam berhiaskan batu marmer putih yang semakin ditatapnya maka semakin terasa aura magisnya itu.

"Paman menyimpan sesuatu di dalam batu ini ya?" Gumam Pears yang kini sedang tersenyum skeptis menatap Hugo.

"Apakah di dalamnya terdapat sebuah makhluk, yang akan muncul dan melindungi kita setiap mengusap batu ini?" Celoteh Pears jahil.

Tanpa berniat menanggapi celotehan Pears, pandangan Hugo tertuju kepada sebuah kertas yang tergulung dengan rapi sedang menggantung dan hampir jatuh dari saku jas Pears.

"Kau kesini mau menunjukkan sesuatu kepadaku, kan?" Pertanyaan Hugo membuat Pears tersadar akan tujuan awalnya menemui Hugo kesini.

"Aku hampir lupa karena keasikkan mengobrol dengan Paman. Ada sebuah surat untuk Kita, aku belum membacanya. Tuan Homin yang menerima surat itu dan langsung kubawa kemari." Ujar Pears sambil meletakkan surat gulungan itu di meja Hugo yang masih berantakan.

Hugo membuka ikat kertas itu lalu membacanya dengan cepat, kemudian Ia menyandarkan punggungnya di kursinya, "Surat ini dari Leruviana, Mereka ingin berkunjung minggu depan."

Pears mengusap jari telunjuknya ke dagu sembari bola matanya melihat keatas selagi dirinya mengingat suatu hal, "Kalau tidak salah, Kerajaan itu adalah keluarga Kerajaan yang dulu sering mengunjungi istana kita, kan, Paman? Putri-putri mereka bermain bersama kami ketika masih kecil."

"Ternyata kau masih mengingatnya ya,"

"Tentu saja, Paman. Aku masih ingat bagaimana Ayah mereka terus membicarakan tentang perjodohan diantara kami saat sudah dewasa, di depan Ayah dan Ibu saat itu."

Hugo mengerjapkan mata mendengar penuturan Pears, kemudian Ia menggulung kembali surat itu bangkit dari kursinya.

Pandangan Pears yang nampak cemas itu mengikuti punggung Hugo yang berjalan menuju pintu, "Paman, katakan padaku. Mereka kemari bukan untuk menagih perjanjian itu, kan?"

Tak ada jawaban dari Hugo yang semakin membuat Pears penasaran, Ia bergegas menyusul Hugo dan terus mencecarnya dengan pertanyaan.

"Paman, jangan katakan kalau salah satu dari kita akan dilibatkan dalam perjodohan itu? Paman? Paman!"

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!