Pulang dari kantor, Aidin tak langsung ke rumah setelah mendapat telepon dari Amera yang katanya ingin bertemu. Ia melajukan mobilnya ke arah rumah sang kekasih yang tak jauh dari kantor pak Herman.
''Memangnya Amera mau membicarakan apa, dan sepertinya tadi dia menangis.'' Aidin hanya menebak apa yang terjadi pada wanita itu.
Tak berselang lama, Aidin menghentikan mobilnya di depan rumah mewah milik sang kekasih. Ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Menganggap rumah itu seperti rumahnya sendiri.
Terdengar suara tangis dari arah ruang tengah yang membuat Aidin terkejut. Bergegas ia menghampirinya.
"Kamu kenapa menangis?'' tanya Aidin duduk di samping Amera. Ia merengkuh tubuh Amera yang bergetar hebat.
Terdapat baju kotor di atas meja juga hp dan beberapa uang yang basah.
''Ini kenapa?'' Menyentuh lembaran uang yang berjejer.
''Itu semua ulah Zahra, tadi di restoran dia menyiramku.'' Mengambil bajunya dan menjewer di depan Aidin.
Baju yang berubah warna akibat tumpahan sirup.
''Kenapa dia menyiram mu?'' tanya Aidin balik. Dari lubuk hati yang terdalam, ia tak percaya begitu saja pada Amera mengingat sikap Zahra yang setiap harinya hanya diisi dengan kelembutan.
Amera bercerita, bahwa Zahra sengaja mempermalukannya di depan umum dan menyiramnya dengan minuman yang dibawa. Ia juga mengatakan bahwa Zahra mengumumkan pada semua orang tentang dirinya yang sudah berani merebut suami orang dan menyebutnya wanita murahan.
Aidin mengeratkan giginya, rahangnya mengeras memendam amarah setelah mendengar penjelasan Amera. Ia tak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada Zahra. Pasalnya, ia sudah terlalu sering menyakiti wanita itu, baik secara fisik maupun batin.
''Kamu tenang saja, aku akan menegurnya,'' ucap Aidin melepaskan pelukannya.
Amera merasa puas. Kini rencananya untuk masuk ke keluarga Adijaya semakin dekat, dan Amera berharap kekasihnya itu bertindak cepat.
Tak seperti biasanya yang pulang naik angkot, hari ini Zahra diantar oleh Kirana yang memang ingin datang ke tempat tinggalnya.
''Kamu tinggal di disini?'' tanya Kirana saat melepas helm nya.
Zahra mengangguk lalu mempersilahkan Kirana masuk. Meskipun jauh dari kata mewah, Kirana yakin kalau Zahra pasti nyaman tinggal di sana.
Mereka meletakkan tas lalu ke kamar dan saling berbincang.
''Mau minum apa?'' tanya Zahra menawarkan.
''Gak usah, kan tadi kita sudah ngopi.''
Sebelum pulang, mereka memang mampir ke cafe sejenak untuk menenangkan pikiran dan mencari hiburan.
Zahra membuka tas yang berisi baju milik Kirana. Seperti ucapannya tadi, terpaksa ia meminjam baju wanita itu sebelum mengambil bajunya yang ada di rumah Aidin.
''Gimana, masih kurang?'' tanya Kirana.
Zahra menggeleng tanpa suara. Ia merasa tidak enak sudah merepotkan Kirana terus menerus.
''Makasih ya, Ki. Kamu sudah banyak membantuku, dan hanya Allah yang bisa membalas semuanya.''
Keduanya berpelukan, karena hari sudah semakin sore, Kirana pamit pulang.
Aidin menghentikan mobilnya di ujung jalan. Ia turun lalu masuk ke gang sempit, di mana tadi ia melihat Zahra berjalan dari arah itu.
Matanya berkeliling menatap setiap rumah yang berjejer rapi. Tidak ada satupun rumah yang berkelas dan sudah dipastikan kalau warga di sana kebanyakan orang miskin.
Setiap rumah terdapat lampu kecil yang menerangi teras. Aidin terus membelah kegelapan karena sudah jam delapan malam. Ia terus melangkah, kakinya menyusuri jalan setapak yang sedikit tejal.
Di mana rumah Zahra?
Saat tiba di pertigaan, ia berhenti, bingung mau memilih jalur kiri atau kanan.
Aidin memandang jauh ke arah kiri yang gelap gulita. Lalu beralih ke arah kanan yang lumayan terang, dan akhirnya ia memilih arah itu untuk melanjutkan pencariannya.
Setibanya di rumah yang bertuliskan, "menyediakan kost", Aidin berhenti lalu bertanya pada salah satu warga yang melintas.
''Saya mau bertemu dengan ibu kost di sini?'' tanya Aidin pada seseorang yang baru saja melintas.
''Itu orangnya.'' Nampak wanita yang baru saja keluar. Aidin segera menghampirinya.
''Maaf, Bu. Saya mau bertanya. Apa disini ada yang namanya Zahra?'' tanya Aidin serius.
Wanita itu menatap penampilan Aidin dari atas hingga bawah. Lalu berhenti pada wajah Aidin yang sangat tampan.
''Kamu siapa?'' tanya ibu kos memastikan. Sebagai pemilik tempat itu, ia tak mau memasukkan sembarang orang. Terlebih seorang pria dewasa.
''Suaminya Zahra,'' jawab Aidin dengan suara berat.
Meskipun banyak tanda tanya, wanita itu manggut-manggut lalu menunjuk rumah deretan nomor tiga. Rumah yang paling jelek dan kecil di antara yang lainnya, yang sontak membuat jantung Aidin berdenyut.
Mamun, ia segera menepis perasaan itu. Tak mau mengasihani Zahra lagi. Sebab, tujuannya datang bukan untuk itu, melainkan memberi peringatan.
Ia melangkah kecil menghampiri rumah itu. Pintunya tertutup rapat. Seperti teras yang ada di sekiranya, hanya ada pencahayaan temaram yang menyinari sebagai petunjuk jalan.
Tok tok tok
Aidin mengetuk pintu
Sayup-sayup terdengar seseorang yang sedang mengaji, entah dari dalam atau dari mana, suara itu menggetarkan jiwa Aidin yang sudah lama senyap.
Tak berselang lama, Zahra membuka pintu.
''Mas Aidin,'' sapa Zahra tanpa menyuruh suaminya masuk.
Aidin menatap penampilan Zahra yang masih memakai mukena. Wanita itu memang cantik walaupun tanpa make up.
Beberapa warga yang melintas melihat Aidin dan Zahra yang berdiri di ambang pintu.
''Aku mau bicara sama kamu,'' ucap Aidin pelan. Berharap Zahra menyuruhnya masuk, ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka yang sedikit sensitif.
''Bicara saja,'' cicit Zahra santai. Berusaha tetap tenang dengan apa yang akan dibicarakan suaminya.
''Kita bicara di dalam,'' ajak Aidin tanpa basa-basi. Ia menerobos masuk dan duduk di ruang tamu. Matanya berkeliling menyusuri barang-barang yang usang dan juga langit-langit yang lapuk.
Zahra menutup pintu lalu duduk di depan Aidin. Berseberangan dengan meja.
''Ada apa?'' tanya Zahra ke inti. Ia tidak mau Aidin lama-lama berada di rumahnya.
''Ini tentang Amera,'' ucap Aidin.
''Pasti dia mengadu kalau aku menyiramnya dengan minuman di restoran tadi siang. Iya kan?'' tebak Zahra yang tak meleset sedikitpun.
''Lalu, kamu mau apa ke sini, marah-marah dan memukul ku, membalas perbuatanku pada Amera. Silahkan! Aku siap menerimanya.''
Zahra mempersiapkan diri, seolah-olah ia menantang apa yang akan dilakukan Aidin demi membela wanita murahan itu. Sekarang ia tak takut lagi menerima pelampiasan Aidin.
Aidin membisu, namun itu malah banyak menyimpan teka-teki bagi Zahra.
Jika biasanya pria itu langsung tersulut emosi saat dirinya membantah, kali ini cenderung diam dan tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Hening
Zahra mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia tidak ingin membalas tatapan suaminya yang mengarah padanya.
''Sudah terlalu malam, aku mau tidur.''
Baru saja berdiri, Aidin menarik tangan Zahra hingga wanita itu menoleh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
🙄🙄🙄🙄
2024-01-26
1
Sukliang
anjing aidin lupo minum obat gila, jadi dak ngamuk dh zahra
2023-03-29
1
Risma Farna
Sebenarnya dihati Aidin dah ada cinta tpi dia blom menyadarinya... krna dia hanya memikirkn cara menyenangkn Amera dan kedudukannya diperusahaan... andai dia mw berdamai dia dah bahagia ma Zahra... ntar Zahra dah prgi baru nyesel dia
2023-01-05
0