"Ternyata mas Aidin tidak pulang."
Tangan Zahra yang masih memegang gagang pintu itu menarik nya kembali hingga tertutup. Menatap nanar ke setiap ruangan yang terasa sepi mencekam. Tidak hanya rumah itu, kini hati Zahra pun terasa hampa dan kosong.
Zahra berjalan menuju dapur. Ia membuka lemari es. Tidak ada apa-apa selain kangkung dan tahu, itu pun sisa kemarin.
"Untuk apa aku memasak, pasti mas Aidin sudah makan di luar."
Zahra mengurungkan niatnya. Ia duduk di kursi ruang makan. Sejenak, mengingat-ingat kesalahannya kemarin yang sudah lancang ikut campur urusan suaminya. Dari lubuk hati terdalam ingin berdamai dengan Aidin. Memperbaiki sikapnya yang mungkin kurang berkenan di hati suaminya, sesekali meraba keburukannya selama ini.
"Aku harus minta maaf pada mas Aidin." Zahra menghubungi Kirana, memberi tahu bahwa hari ini tidak masuk.
Tak seperti biasanya yang hanya memakai daster rumahan, kali ini Zahra memakai baju yang mewah. Itu adalah baju pemberian Aidin saat pertama kali berkenalan, mungkin akan mengingatkan pada masa-masa di mana terjalinnya hubungan hingga saat ini.
Zahra juga mengubah penampilannya lebih menarik. Mengganti gaya hijab dan juga make up nya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gedung yang menjulang tinggi itu nampak asing di mata Zahra, meskipun mertuanya adalah pemilik tempat itu dan juga suaminya salah satu petinggi di sana, nyatanya, ia jarang sekali datang.
"Selamat siang, Bu," sapa satpam yang berjaga di depan pintu.
"Siang," jawab Zahra singkat. Menghentikan langkahnya di depan resepsionis yang bertugas.
"Mas Aidin nya ada?" tanya Zahra dengan sopan.
"Ada, Bu. Silakan masuk! Tapi sepertinya beliau sedang menerima tamu."
Zahra mengangguk, "Saya akan menunggu di atas saja."
Setelah Zahra berlalu, dua wanita cantik itu saling berbisik. Menatap punggung istri bosnya yang menghilang di balik pintu lift.
Setibanya di lantai tujuan, Zahra melangkah menuju ruangan Aidin. Sesekali menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Tidak ada yang aneh. Semua baik-baik saja, namun hatinya tiba-tiba saja dirundung rasa cemas.
"Selamat siang, Bu," sapa seorang pria yang yang baru keluar dari ruangan Aidin.
"Siang, Pak. Apa mas Aidin sedang sibuk?"
Seketika wajah pria paruh baya yang ada di depan Zahra itu panik
"A… anu, Bu." Bibirnya seperti kelu hingga tak bisa mengucap kalimat dengan lengkap.
"Anu apa?" tanya Zahra memastikan.
Bagaimana ini? Apa aku bilang saja kalau pak Aidin sedang sibuk.
"Anu, Bapak sedang sibuk, beliau belum bisa diganggu, silahkan ibu tunggu sebentar." Menunjuk ruangan yang ada di sisi Zahra berdiri.
"Baiklah, aku akan menunggu."
Zahra duduk di sofa yang menjulur panjang. Mengambil majalah fashion yang ada di meja untuk menghilangkan jenuh.
Hampir satu jam Zahra berada di ruang tamu. Ia hanya menjadi penonton beberapa orang yang melintas.
"Apa sebaiknya aku bilang mas Aidin saja kalau aku datang." Meraih tasnya lalu berdiri. Kembali merapikan penampilannya sebelum keluar.
Lorong ruangan itu lumayan sepi, hanya ada beberapa karyawan yang ada di sana. Zahra menatap pintu ruangan sang suami yang sedikit terbuka. Kakinya terus melangkah mendekatinya.
"Kamu ada-ada saja."
Suara wanita terdengar dari arah ruangan Aidin mampu menghentikan langkah Zahra.
"Beneran, kalau gak percaya kamu datang saja," imbuh Aidin dengan lembut. Dan itu tak pernah di ucapkan saat di depan Zahra yang berstatus istrinya.
Entah apa yang mereka bahas, namun percakapan itu terdengar hangat di telinga Zahra. Ia maju satu langkah untuk bisa mendengar lebih jelas lagi. Dari sela-sela pintu bisa melihat seorang wanita duduk di meja kerja suaminya. Berhadapan dengan Aidin yang duduk di kursi kebesarannya.
"Siapa itu?" tanya Zahra dalam hati. Menahan dadanya yang bergemuruh.
Baru saja tangannya ingin mendorong pintu, wanita yang ada di dalam itu beranjak. Zahra segera pergi meninggalkan ruangan Aidin dengan membawa seribu pertanyaan.
Baru beberapa langkah, Zahra berpapasan dengan karyawan. Ia menghentikan langkahnya lagi.
"Apa kamu tahu tamu yang ada di ruangan mas Aidin?" tanya Zahra dengan bibir bergetar. Jangan tanya lagi, matanya saat ini sudah digenangi cairan bening mengingat kelembutan sang suami terhadap wanita lain, sedangkan dengan dirinya selalu tak peduli.
"Sepertinya tamu penting, Bu. Saya tidak mengenalnya, tapi beberapa orang di kantor ini banyak yang tahu, katanya dia model majalah dewasa."
Zahra mengangguk lalu mengucapkan terimakasih.
Semoga itu beneran tamu yang membahas pekerjaan, bukan yang lain.
Meskipun curiga, tetap saja ia mencoba percaya dengan kesetiaan Aidin.
Zahra meninggalkan kantor dengan membawa separuh hatinya yang memar. Kenyatan pahit ia telan begitu saja bersamaan kakinya yang mulai lentur saat menyusuri tangga darurat.
Sapaan demi sapaan tak lagi Zahra hiraukan. Saat ini matanya terasa gelap dan tak bisa melihat apapun. Kenyataan itu hampir meruntuhkan kepercayaannya yang terbangun kuat.
Jangan hianati aku, Mas. Serendah apapun kamu memperlakukanku, aku tidak peduli, asalkan kamu tidak menduakan ku, ucapnya dalam hati.
Bersamaan saat Zahra mengeluarkan motor dari arah gerbang, dari arah berlawanan mobil mewah melaju begitu kencang membuatnya tersentak dan ambruk.
Aaawww
Zahra meringis, mencoba untuk melepas helm nya. Dalam hitungan detik, orang - orang berkerumun menolongnya yang jatuh tersungkur.
Mobil mewah yang tadi melaju itu pun berhenti. Sosok pria tampan dengan baju yang rapi itu menghampiri Zahra yang masih duduk.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya suara berat.
Suara yang tak begitu asing di telinga Zahra, namun ia masih menerka gerangan yang berdiri di depannya.
Dilihat dari sepatunya yang bermerek seperti milik Aidin, pasti dia bukan orang sembarangan. Zahra mendongak menatap pria itu.
"Zahra."
"Mas Azka," sapa keduanya serempak.
Azka ikut duduk di depan Zahra.
"Kamu tidak apa-apa?" Wajah Azka nampak khawatir. Matanya menatap punggung tangan Zahra yang terluka.
"Tidak, cuma luka kecil." Berdiri, membersihkan bajunya yang terkena debu. Menepis tangan Azka yang hampir menyentuh tangannya.
"Maaf, Za. Aku panik," ucap Azka sambil menangkup kedua tangannya.
"Gak papa," jawab Zahra singkat.
Satu persatu orang-orang kembali beraktivitas setelah membantu Zahra membangunkan motor.
Azka menatap gedung yang berdiri kokoh di depannya lalu menatap Zahra dengan tatapan intens.
"Ini kantor suamimu?" tanya Azka.
"Bukan, Kantor papa, Mas Aidin bekerja di sini."
Azka manggut-manggut mengerti.
Zahra kembali menaiki motornya, ia tak mau terlihat akrab dengan laki-laki lain. Apalagi pria yang ada di depannya itu adalah orang yang pernah dijodohkan dengannya. Ia tak mau terjadi fitnah yang akan menimbulkan masalah bagi rumah tangga nya.
"Aku pergi dulu, Mas. Assalamualaikum," sapa Zahra kembali melajukan motornya.
Azka menjawab salam itu. Menatap punggung Zahra hingga di ujung jalan.
Kamu tetap cantik dan ramah, Za. Tapi sayang, kamu menolakku dan lebih memilih orang lain. Azka.
Aku pernah menolakmu, Mas. Tapi kamu masih baik padaku. Semoga kamu mendapatkan wanita yang baik seperti kriteria ibumu. Zahra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
😢😢😢😢
2024-01-26
0
Yen Margaret Purba
najong, ditolak org baik dpt yg seken 😛😛
2022-10-05
1
airanur
𝚣𝚊,,, 𝚖𝚞𝚗𝚐𝚔𝚒𝚗 𝚊𝚣𝚊 𝚘𝚛𝚗𝚐 𝚢𝚗𝚐 𝚔𝚖𝚞 𝚝𝚘𝚔𝚔 𝚒𝚝𝚞 𝚘𝚛𝚗𝚐 𝚋𝚊𝚒𝚔,,, 𝚋𝚊𝚛𝚞 𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚍𝚒 𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚓𝚎𝚗𝚐𝚔𝚎𝚕 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒 𝚐𝚔 𝚙𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗,, 🥺
2022-09-04
0