Zahra mengerjap-ngerjapkan mata. Memijat kepalanya yang terasa pusing. Pandangannya menyusuri langit-langit yang tampak berbeda dari kamarnya.
Dimana ini? Bertanya pada diri sendiri.
Diam sejenak, mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dirinya berada di tempat itu.
"Semalam aku pingsan, siapa yang menolongku?" Ia terperanjat kaget. Menyibak selimutnya dengan cepat dan memeriksa baju yang dipakainya. Tak peduli dengan kepalanya yang masih nyut-nyutan, ia memastikan jika dirinya baik-baik saja.
"Siapa yang mengganti bajuku?"
Zahra juga meraba kepalanya yang sudah dibalut hijab. Bingung, tapi ia yakin yang menolongnya adalah orang baik.
"Tidak mungkin orang jahat. Buktinya dia tetap mengganti hijabku."
Zahra turun dari ranjang lalu ke kamar mandi saat merasakan sakit perut.
Tanpa mengetuk pintu, seorang wanita paruh baya masuk membawa seporsi nasi di tangannya. Ia tak terkejut dengan ranjang yang kosong setelah mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
"Ternyata Nona itu sudah sadar. Kasihan dia." Geleng-geleng lalu meletakkan nasinya di atas nakas.
Hampir saja keluar, pintu kamar mandi terbuka. Terpaksa wanita itu membatalkan niatnya dan menghampiri Zahra yang masih sedikit sempoyongan.
"Nona tidak apa-apa?" tanya wanita itu menuntun Zahra menuju sofa.
Zahra menggeleng. Menatap penampilan wanita itu yang seperti pembantu.
"Saya pembantu di sini," ucapnya sebelum Zahra bertanya.
"Siapa yang menolong saya, Bi?" tanya Zahra antusias.
"Tuan Azka, Nona."
"Azka?" ulang Zahra memastikan.
Wanita itu mengangguk tanpa suara. Mereka memang tak saling kenal karena pembantu itu baru tiga bulan bekerja di rumah keluarga Azka, sedangkan pembantu yang lain bekerja di luar.
"Sekarang Nona makan dulu." Bibi mengambilkan makanan lalu membantu menyuapi Zahra yang masih lemah.
Tak berselang lama, Azka masuk tanpa permisi. Pria itu tersenyum melihat Zahra yang akhirnya sadar dari pingsannya.
"Kamu kenapa nolongin aku?" tanya Zahra menunduk malu.
Banyak kenangan masa lalu yang membuat nya merasa bersalah pada Azka, termasuk perjodohan yang harus ditolaknya. Zahra sedikitpun tidak ingin menyakiti orang lain, namun itu harus ia lakukan demi kebaikan semua orang.
"Memangnya kenapa? Bukankah sekarang kita menjadi sahabat?"
"Tapi bukan kamu kan yang gantiin bajuku?"
Bibi membawa piring keluar, ia tak mau mengganggu Zahra dan Azka yang saling berbincang.
Kayaknya godain Zahra lucu juga.
Azka tersenyum menyeringai lalu duduk di samping Zahra. Mereka berjarak hampir satu meter karena Zahra terus menggeser tubuhnya ke arah tepi.
"Aku yang menolongmu, aku juga yang gantiin bajumu."
Sontak mata Zahra terbelalak. Ia tak percaya dengan ucapan Azka yang kemungkinan besar bisa terjadi juga mengingat bajunya yang basah kuyup karena kehujanan.
"Mas Azka jangan bohong," pekik Zahra. Mengelak sepenuhnya. Bagaimana jika itu benar, itu artinya ada pria lain yang sudah melihat tubuhnya.
Menangkupkan kedua tangannya di dada dan terus menatap Azka jijik. Seolah-olah pria itu adalah baji ngan yang menakutkan.
"Aku gak bohong. Semalam kamu kedinginan dan terpaksa aku membuka bajumu, dan aku sudah melihat lekuk tubuhmu yang seksi itu." Menyungutkan kepalanya seraya menaik turunkan alisnya yang membuat Zahra semakin kesal dan melempar bantal ke arah Azka yang masih cengengesan.
"Azka, kamu sudah ditunggu pak Eman di depan," teriak seorang wanita cantik dari ambang pintu. Menghentikan canda mereka berdua.
Zahra segera menoleh. Ia tak lupa dengan seseorang yang pernah merendahkannya. Dan juga membuatnya harus menjauh dari Azka.
"Sebentar, Bu," ucap Azka. Ia melihat jam yang melingkar di tangannya lalu beranjak dari duduknya.
Zahra mengikuti langkah Azka yang menghampiri ibunya.
"Bu, biarkan Zahra istirahat di sini untuk sementara. Nanti biar aku yang antar dia pulang," ujar Azka pada ibunya yang tampak cemberut.
"Terserah, yang penting dia tidak membawa pengaruh buruk padamu." Ucapnya lalu pergi. Tak memperdulikan tangan Zahra yang mengulur ingin bersalaman.
"Kamu istirahat saja, Za. Nanti siang aku akan mengantarmu pulang."
Zahra mengangguk tanpa suara. Sebab, untuk saat ini ia masih bingung mau ke mana, mengingat Aidin yang sudah tega mengkhianatinya.
Zahra memilih duduk di tepi ranjang dan menatap ke arah luar jendela. Tidak mungkin ia keluar dari kamar itu, sedangkan seluruh keluarga Azka ada di ruang tengah.
Zahra terdiam, ia tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu Azka, tak ada lagi tempat untuk berlabuh, ia enggan pulang dan bertemu dengan Aidin. Jika ke rumah ayahnya pasti penindasan akan kembali terulang. Zahra juga tidak mau tinggal di rumah mamanya.
"Enak banget, numpang di rumah orang yang pernah yang pernah ditolak."
Lagi-lagi seseorang datang tanpa permisi. Seolah-olah menyindir keberadaan Zahra.
Zahra berdiri dan menatap gadis yang bersandar di samping pintu.
"Apa maksud kamu, Nilam?" Gadis itu adalah adik Azka yang juga membenci Zahra karena pernah menolak kakaknya.
"Seharusnya kamu tahu diri dan tidak berani menginjakkan kaki di rumah ini," imbuhnya.
"Sekarang pergi! Jangan coba-coba untuk mengganggu kak Azka, karena sebentar lagi dia akan menikah dengan perempuan yang lebih cantik dan kaya, bukan perempuan seperti kamu yang sok suci tapi punya ibu seorang pe lacur."
Kedua tangan Zahra terkepal sempurna. Amarahnya memuncak saat mendengar mamanya dihina. Seburuk apapun mamanya adalah orang yang melahirkannya dan hatinya ikut nyeri jika mendengar itu.
"Kalau bukan kakak kamu yang membawaku ke sini, aku juga tidak akan menginjakkan kakiku di rumah ini."
Zahra keluar melintasi tubuh Nilam. Tanpa basa-basi ia pergi dari rumah itu daripada harus menerima hinaan lagi.
Di sisi lain
Aidin sudah benar-benar frustasi. Hampir semalaman penuh ia mencari Zahra, namun tidak menemukan keberadaan wanita itu. Ia datang ke rumah ayah Adinata dan ternyata Zahra tidak pulang ke sana. Tempat terakhir yang belum ia datangi yaitu kediaman mama Delia.
Aidin memarkirkan mobilnya di tepi jalan. Menatap rumah mewah mama Delia dari samping mobil.
Kalau Zahra tidak ada di sini lalu dia pergi ke mana?
Aidin masuk dan mengetuk pintu gerbang. Penjaga pun tak melarang, karena mereka sudah tahu siapa pria yang saat ini berada di depan pintu.
"Mau apa kau datang ke sini?"
Mama Delia melipat kedua tangannya menatap Aidin sinis.
"Di mana mama menyembunyikan Zahra?" tanya Aidin langsung ke inti. Ia tidak mau mengulur waktu lagi.
Mama Delia tersenyum kecut. Melihat penampilan Aidin yang sedikit kusut dan amburadul.
"Kenapa kamu mencarinya? Bukankah ini yang kamu inginkan, Zahra pergi dan kamu bisa bebas tidur dengan perempuan manapun."
Sebagai seorang ibu, Mama Delia pun ikut merasakan sakit dengan perlakuan Aidin yang tidak adil pada putrinya. Namun, ia bagaikan patung yang tak bisa berbuat apa-apa, takut Zahra akan lebih marah padanya.
Aidin tak banyak bicara, ia memilih pergi daripada harus meladeni mama mertuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
bungaAaAaA
halah wong sendirinya jg gak berhubungan baik sm maknya
2022-09-06
1
Adelia Rahma
seorang ibu walaupun bagaimana kerjanya tetap hati ibu tidak bisa di bohongin..
dia tetap merasa sakit jika anaknya di sakiti
2022-07-25
2
Maniem May
sebisa mungkin pergi yg jauh za,,,semoga bertemu malaikat penolongmu za yg bisa mengantarkanmu menuju kesuksesan...
2022-07-24
0