Beberapa kali Aidin menatap pintu kamar belakang yang tertutup rapat. Sudah tiga jam ia berada di depan televisi. Tak ada tanda-tanda Zahra keluar. Ia hanya bisa menerka-nerka apa yang dilakukan wanita itu saat ini.
"Apa mungkin dia sudah tidur, kenapa dia melupakan makan malamku," gerutunya, Membaringkan tubuhnya lagi. Tangannya terus menekan remot tv mencari acara kesukaannya.
Pintu terdengar terbuka. Aidin pura-pura memejamkan mata dengan tv yang masih menyala. Ia ingin tahu apa yang dilakukan Zahra jika melihat dirinya yang ketiduran di luar.
Zahra mengambil air minum lalu duduk di ruang makan. Matanya menangkap kaki Aidin yang menjulur melebihi sofa.
"Kenapa mas Aidin tidur di situ?"
Jika teringat perdebatan tadi siang, hatinya masih terasa sakit. Namun, ia tak bisa abai begitu saja. Sifatnya yang lembut pun tak tega membiarkan sang suami.
"Kalau dibangunkan pasti dia marah."
Meneguk air minumnya hingga kandas. Masih mencari cara untuk membuat Aidin nyaman, meskipun tidur di sofa.
Zahra mengambil selimut dari kamar lalu berjalan menghampiri Aidin, setelah sebelumnya mematikan lampu.
Benar saja. Mata Aidin terpejam dengan remot yang masih digenggamnya. Zahra mengambil benda itu dengan pelan dan mematikan tv. Menutup sekujur tubuh Aidin dengan selimut. Hanya menampakkan kepala saja.
Aku gak tau, kenapa sangat mencintai kamu, padahal banyak jalan perpisahan di antara kita.
Tangannya mengulur ingin merapikan rambut Aidin yang sedikit berantakan namun di urungkannya, takut mengusik pria itu.
Aroma parfum khas yang dipakai Zahra membuat Aidin tak tahan. Ia menghirup dalam wangi dari tangan wanita itu yang dekat dengan wajahnya. Berulang kali mencoba untuk tidak bergerak, namun ada sesuatu yang terus mendorong untuk bangun.
Ia adalah istriku. Apa salahnya jika aku meminta hakku.
Seketika itu Aidin menarik tangan Zahra hingga sang empu jatuh menindih tubuhnya.
Netra keduanya bertemu, meskipun mereka berada di ruangan yang redup, Zahra bisa melihat mata Aidin yang di penuhi gairah.
Tangan Aidin melingkar erat di punggung Zahra. Sedikitpun tak memberi ruang pada wanita itu untuk bergerak.
Jantung Zahra berdegup dengan kencang saat nafas Aidin menerpa wajahnya.
"Aku mau tidur, Mas." Zahra menggerakkan tubuhnya yang berada di pelukan Aidin. Namun nihil, tenaganya yang kecil tak mampu untuk bisa lepas. Ia bagaikan tikus yang berada di cengkraman kucing liar.
"Aku meminta hakku malam ini." Ucapan itu meluncur begitu saja dari sudut bibir Aidin.
Ada apa dengan mas Aidin, tidak biasanya ia seperti ini. Zahra hanya berbicara dalam hati. Ingin menolak permintaan itu, namun ia takut akan membuat Aidin marah dan memperlakukannya dengan kasar seperti yang sudah-sudah. Akhirnya Zahra mengangguk setuju. Mengikhlaskan hati untuk menyerahkan tubuhnya pada sang suami.
Layaknya pasangan yang normal, Aidin memperlakukan Zahra dengan lembut. Memberikan sentuhan yang menghangatkan. Kamar yang luas dengan pencahayaan temaram itu menjadi saksi bisu pergulatan mereka. Harapan satu bagi Zahra kali ini, ia ingin memiliki momongan yang diyakini bisa memperkuat hubungannya.
Aidin ambruk di sisi Zahra yang berbaring lemas. Entah sadar atau tidak, penyatuan itu terjadi dan mengalir seperti air. Pria itu tak dapat mengendalikan diri saat di dekat istrinya. Meskipun terkadang ingin menolak, tubuhnya terus bertolak belakang.
Malam itu seperti sebuah anugerah baginya setelah beberapa bulan ini mereka tak melakukannya. Zahra menarik selimut lalu menoleh menatap Aidin yang masih mengatur napas dengan mata terpejam. Berharap ini menjadi awal yang baik setelah beberapa bulan hanya dihiasi dengan perseteruan.
Jam sudah menunjukkan pukul lima pagi, Zahra segera membangunkan Aidin untuk sholat subuh. Ia terus menggoyang-goyangkan lengan sang suami yang masih tenang.
Engh
Suara lenguhan Aidin sambil menggeliat, meregangkan otot-otot nya yang terasa kaku. Wajah cantik Zahra menjadi pandangan pertama saat dirinya membuka mata.
"Sudah subuh," ucap Zahra membantu Aidin membuka selimut.
Hampir saja beranjak, dering ponsel dari nakas berdering. Aidin menggeser duduk nya demi meraih benda pipih yang sedikit jauh. Ternyata nama Amera yang berkedip di layar.
"Keluar, aku mau bicara dengan seseorang." Menatap Zahra datar.
Setelah Zahra menghilang di balik pintu yang tertutup, Aidin langsung menerima panggilan dari sang kekasih.
"Morning, Sayang." Amera menyapa manja.
Aidin yang baru saja tersadar dari alam bawah sadarnya itu tersenyum lalu mengunci pintu. Kembali duduk bersandar herboard.
"Pagi, ada apa? Tumben jam segini nelpon." Aidin menatap jam yang menggantung di dinding, Ternyata baru jam lima pagi, namun dengan lancang Zahra berani membangunkannya.
"Kenapa semalam kamu tidak mengangkat teleponku?" protes Amera kesal.
Aidin kembali memeriksa panggilan masuk, ada sepuluh panggilan dari Amera yang tak terjawab, dan itu diperkirakan dirinya sudah terlelap setelah melakukan ritual dengan Zahra.
"Maaf, semalam aku capek banget, langsung tidur."
Mengelus tengkuk lehernya. Tidak mungkin ia menceritakan pada Amera kejadian semalam yang membuatnya terlelap. Pasti Amera akan mengomel.
"Sayang, aku kangen kamu, nanti malam temani aku ya," pinta Amera memelas.
Tidak ada kata tidak untuk Amera. Apa yang wanita itu inginkan, pasti akan dipenuhi olehnya.
"Apa sih yang nggak buat kamu,"
"Makasih, Sayang."
Setelah puas berbincang, Aidin ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mengingat waktu terus berjalan, sedangkan hari ini ia pun harus berangkat pagi karena ada meeting.
Aidin menghampiri Zahra yang sedang menyiapkan bajunya. Tidak ada yang berbeda, mereka pun saling membisu dengan aktivitas masing-masing. Seolah-olah kejadian semalam hanya sebatas mimpi sekilas yang menghiasi sunyi nya malam.
"Lupakan kejadian semalam, anggap saja itu tidak pernah terjadi."
Seandainya Zahra seorang wanita malam dan dibayar karena melepas kehormatannya, itu sudah wajar. Namun, ia tak bisa terima begitu saja. Ucapan Aidin bagaikan tombak yang menancap di Ulu hati hingga rasa sakit itu menjalar di sekujur tubuh.
"Karena sampai kapanpun aku tidak sudi punya anak dari kamu." Melempar pil kb tepat di wajah Zahra.
Aidin berlalu. Ia tak ingin menyentuh makanan yang sudah disiapkan Zahra di meja makan.
Zahra membuang pil itu di tong sampah. Menahan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk itu untuk tidak tumpah.
Aku bukan perempuan lemah yang bisa mengalah. Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri. Aku akan tetap berusaha untuk mematahkan keangkuhan kamu, sampai akhirnya cinta itu datang disaat diriku sudah membeku. Dan aku ingin kamu berjuang untuk itu seperti yang aku lakukan saat ini.
Zahra mengambil tas yang sudah disiapkan lalu keluar. Hari ini ia sudah mulai masuk kerja setelah mengambil libur beberapa hari.
Setelah keluar dari gerbang, sebuah mobil mewah mengikuti motor Zahra yang mulai membelah jalan raya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
Zahra ... yg sabarrrrr
2024-01-26
0
Bidadarinya Sajum Esbelfik
mashaAllah bodohnya si Zahra 😏😏😏😏😏
2022-12-19
0
fandha
sabar sih sabar zahra...tapi kalo sdh terlalu..jgn bodoh lah..tinggal kan saja suami yg menyebal kan kayak gitu..bisa nya nangis aja kamu..pinter an dkit lah...aku kesel ya kalo liat peempuan yh hanya bisa nya nangis kalo ada mslah..
2022-09-13
0