Zahra memegang kepalanya yang terasa pusing. Baru beberapa jam tertidur, Ia harus kembali terbangun saat mendengar suara Adzan subuh. Dari semalam ia tak bisa memejamkan mata. Sekujur tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa, antara lelah dan banyak pikiran yang terus menyelimutinya. Tidak ada lagi tempat untuk bersandar. Tiada orang yang bisa diajak curhat kecuali pada sang pencipta.
''Aku harus bisa.'' Menyeret kakinya yang terasa berat untuk bisa ke kamar mandi. Seharusnya ada orang yang menemaninya dikala sakit, namun Zahra hanya seorang diri melawan segala yang menimpa tanpa bantuan orang lain.
Dengan susah payah, akhirnya Zahra bisa menjalankan aktivitasnya dengan baik dan lancar. Tangannya mengulur meraih dompet yang ada di atas meja.
Hanya tinggal beberapa lembar uang pecahan dua puluh ribu di dalam dompet itu, yang mana mampu membangkitkan semangat Zahra yang sedikit malas.
''Aku harus kerja, siapa lagi yang peduli padaku selain diriku sendiri.''
Zahra sudah mengembalikan fasilitas dari orang tua Aidin. Ia juga tidak ingin menjadi beban mereka, sementara saat ini sudah yakin akan mengambil jalan perpisahan.
Tak seperti biasanya yang memasak sebelum berangkat, kali ini Zahra langsung berangkat dan tak menghiraukan perutnya.
Setibanya di ujung jalan, langkahnya terhenti saat melihat pria yang ada di depan gang. Dari lubuk hati terdalam, ia malas untuk bertemu dengan pria itu. Namun apa daya, itu tak bisa dihindari lagi.
Mas Aidin
Keduanya saling tatap dari jarak jauh. Entah apa yang dipikirkan Aidin saat ini, Zahra tidak ingin tahu, baginya pria itu bukan miliknya lagi. Terpaksa Zahra mendekati Aidin yang menghalangi jalan.
''Ada apa mas ke sini?'' tanya Zahra tenang. Sedikitpun tak menunjukkan kesedihannya di depan Aidin meskipun dadanya bergemuruh ingin mencakar pria itu.
Aidin menyunggingkan bibirnya. Melipat kedua tangan ke depan dan menatap penampilan Zahra.
"Berani-beraninya kau pergi tanpa izinku. Sekarang pulang!" Aidin mencengkram erat tangan Zahra, namun dengan cepat ditepis oleh wanita itu.
Zahra mendongak, menatap manik mata Aidin dengan lekat. Menahan tangannya yang terasa nyeri akibat cengkraman suaminya.
''Aku tidak mau pulang. Lebih baik mas pergi, aku tidak ada waktu.'' Zahra melintasi tubuh tegap Aidin yang masih mematung di tepat. Ia tak peduli dengan panggilan suaminya dan memilih naik angkot yang berhenti di depan nya.
Mungkin bercerai memang lebih baik, Mas.
Hanya ada senyum di bibir Zahra saat menyapa penumpang lain. Seolah-olah air matanya sudah mengering dan membuatnya menjadi lebih tangguh.
**°
°
°**
Hampir dua jam Zahra sibuk melayani tamu, tubuhnya semakin kelelahan. Kepalanya nyut-nyutan dengan mata berkunang. Keringat dingin bercucuran membuat sekujur tubuhnya gemetar.
''Ki, aku istirahat sebentar ya, kamu ambilkan seafood untuk tamu yang ada di meja nomor 22,'' pinta Zahra menyandarkan punggungnya di dinding dapur.
''Istirahat saja, Za. Biar kami yang melayani tamu,'' timpal yang lainnya
Masih beruntung di tempat kerja, tak ada yang membencinya. Mereka sangat peduli dengan sesama pekerja lainnya.
Melihat kesibukan yang lainnya, Zahra bangkit dari duduknya, meskipun lemas, ia tetap mencoba untuk bisa.
''Biar kubantu.'' Zahra mengambil nampan yang berisi dua jus jambu.
''Antarkan ke meja nomor 3.''
Zahra langsung keluar menghampiri meja yang disebut salah satu sahabat nya.
Di tengah jalan, tiba-tiba Zahra tersandung sesuatu hingga nampan yang di bawanya itu terjatuh. Alhasil dua gelas jus itu tumpah.
''Oh my god,'' teriak seorang wanita yang ada di depan Zahra seraya mengibas-ngibaskan bajunya yang basah terkena tumpahan jus.
Zahra berjongkok memungut pecahan gelas yang berserakan di bawah.
''Maaf, Mbak, saya tidak sengaja,'' ucap Zahra tanpa menatap. Setelahnya berdiri. Ia terkejut melihat sosok yang tak asing di matanya.
Dia kan selingkuhan mas Aidin.
Tamu itu adalah Amera yang sengaja ingin mempermalukan Zahra.
Begitu juga dengan Amera yang menatap Zahra sambil tersenyum tipis.
''Ternyata kamu yang sudah numpahin minuman di bajuku,'' ujar Amera sedikit membentak.
Zahra tak membantah sedikitpun. ''Maaf aku harus bekerja lagi.''
''Tunggu!'' tukas Amera yang membuat Zahra menghentikan langkahnya.
''Kamu sudah membuat bajuku kotor, dan sekarang mau pergi begitu saja, keterlaluan.''
''Saya sudah minta maaf, lagi pula kalau bukan kakimu yang sengaja menghalangiku, tidak mungkin aku kesandung,'' bantah Zahra kemudian.
''Kalian lihat! Seorang pelayan berani memarahi tamu.'' Menunjukkan Sikap Zahra pada semua orang yang ada di tempat itu.
''Mana manager di sini?'' Amera menggebrak meja yang membuat para pengunjung lain hanya menggelengkan kepala.
Tidak ada yang datang, karena manager restoran itu belum datang, hanya Kirana yang menghampiri Zahra, sedangkan lainnya memantau dari jauh.
''Ada apa, Za?'' tanya Kirana memastikan.
''Teman kamu sudah menumpahkan minuman di bajuku, tapi dia tidak mau bertanggung jawab. Awas saja akan aku laporkan kejadian ini pada manager kalian. Dasar pegawai rendahan.''
Hampir saja Kirana menampar Amera, Zahra langsung menahan tangan sang sahabat yang sudah diangkat. Ia tidak suka kekerasan, apalagi di tempat umum.
''Lebih rendah mana dengan kamu.'' Zahra menunjuk dada Amera yang terekspos. Dengan berani ia mengeluarkan kata-kata yang seharusnya dipendam saja.
''Orang yang tidak tahu malu dan berani merebut suami orang,'' lanjutnya.
''Orang yang sudah kotor memang tidak pantas memakai baju yang suci dan bersih, kamu lebih pantas memakai baju seperti ini.'' Mengambil minuman yang ada di meja dan kembali menyiram Amera hingga bajunya semakin kotor.
Semua orang yang ada di sekeliling mereka hanya bisa tertawa melihat Amera yang basah kuyup.
Tak tahan menjadi bahan tertawaan, Amera mengambil tas nya dan pergi setelah mengancam Zahra.
Kirana merangkul Zahra dan membawanya ke dalam. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Zahra padanya, namun dari perkataan tadi, Kirana bisa menebak siapa wanita yang marah itu.
Zahra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya benar-benar hancur jika mengingat malam itu, di mana ia harus menyaksikan suaminya sekamar dengan wanita lain.
''Kamu yang sabar, Za.'' Kirana mengelus punggung Zahra. Mencoba untuk menenangkan.
''Aku sudah terlalu sabar, Ki. Selama ini aku menerima perlakuan kasar mas Aidin, aku sabar menghadapinya yang tidak pernah menganggapku ada, tapi sekarang aku tidak sanggup kalau harus diduakan.''
Tangis Zahra pecah di pelukan Kirana. Ia tak mampu membendung air mata yang dianggap mengering.
''Kenapa kamu tidak meminta cerai?'' tanya Kirana.
''Sudah, Ki. Tapi mas Aidin tidak mau mengabulkannya.''
Kirana menangkupkan kedua pipi Zahra. Menatap manik mata sang sahabat yang masih digenangi cairan bening.
''Apa kamu masih cinta pada Aidin?'' tanya Kirana.
Zahra menundukkan kepalanya, ia tak bisa menjawab pertanyaan itu.
''Kamu itu perempuan yang cantik dan solehah. Jangan menyerah, kamu pasti bisa melewati ini semua, dengan ataupun tanpa Aidin, karena jodoh ada di tangan Allah.''
Zahra mencerna setiap kata yang Kirana ucapkan. Terlintas di otaknya sebuah cara untuk membuat Aidin menyesal seumur hidup karena sudah menyia-nyiakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
😬😬😬😬
2024-01-26
0
Sarini Sadjam
Zahra klo mo pergi ya yg jauh skalian jgn kerja di situs jga hadeeh
2022-11-03
0
rani85
zahra thor bkn haira. . ada beberapa kali typo nama di bab2 sblm nya antara zahra dan haira thor. . aq baru smpet komen di bab ini saking fokusnya baca
2022-08-14
2