Aidin dan Amera mengenakan baju pantai dengan warna yang senada. Mereka terus berjalan menyisir pasir putih hingga beberapa meter. Melewati wisatawan yang sedang berbaring dengan tubuh tertutup pasir. Ombak memecah di tepi pantai membasahi kaki mereka.
Angin berhembus lemah lembut membuat rambut panjang Amera berantakan.
"Apa kamu suka?" Aidin memeluk Amera dari belakang. Keduanya menatap ke arah laut yang tiada ujung.
"Suka."
Saling bergandengan tangan dan bercanda, layaknya sepasang kekasih yang berada di puncak kebahagiaan.
"Aku lebih suka kalau ini adalah bulan madu kita," imbuh Amera yang membuat senyum Aidin meredup.
Aidin mengendurkan pelukannya lalu berdiri di samping Amera. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Kamu sabar aja, aku akan secepatnya mencari cara untuk memutuskan semuanya."
Disaat keduanya asyik berbincang, tiba-tiba anak kecil yang berlarian itu menabrak tubuh Amera hingga jatuh tersungkur.
Aidin segera menolongnya lalu menatap bocah laki-laki yang menunduk dengan tangan gemetar.
"Lain kali kalau jalan lihat-lihat," bentak Amera sambil membersihkan lututnya yang dipenuhi pasir.
"Gak papa, pergi saja!" Mengusap pucuk kepala anak kecil itu dan menyuruhnya untuk pergi.
Selama menikah, sekalipun tak pernah terselip ingin memiliki seorang anak, namun kehadiran bocah tadi sangat menyentuh hati Aidin.
"Jangan galak-galak, dia kan gak sengaja. Gimana kalau itu terjadi pada anak kita?" ujar Aidin. Membantu Amera berdiri lalu melanjutkan langkahnya.
Beberapa turis pun mempose mereka. Adegan demi adegan diperagakan dengan mesra. Tak tanggung-tanggung, Amera yang mempunyai bakat di bidang model majalah dewasa itu nampak santai saat para turis itu memintanya untuk mencium Aidin. Bahkan wanita yang berdarah blasteran itu membuka bajunya dan hanya memakai bikini.
"Ini perlu diabadikan, Sayang." Amera memperlihatkan hasil foto tadi di depan Aidin. Terutama saat ia berpelukan dengan baju seksinya.
"Terserah kamu saja." Aidin mengucap dengan nada datar. Membantu Amera memakai bajunya kembali.
Aidin menatap matahari yang hampir terbenam. Menelusuri perbedaan antara Amera dan Zahra. Jangankan untuk memakai pakaian yang terbuka, membuka hijabnya pun Zahra tidak pernah, sedangkan Amera terus memamerkan postur tubuhnya yang nampak indah itu di depan umum.
"Kita pulang sekarang," ajak Aidin. Ia sudah tak selera menikmati pantai yang semakin indah dengan langit yang berwarna jingga.
Amera berlari sedikit menjauh membelah air yang terus mencium bibir pantai.
"Amera, nanti kamu kedinginan," teriak Aidin mengingatkan.
Wanita itu terus berlari ke arah tengah. Tak mengindahkan ucapan Aidin yang semakin tak terdengar.
Terpaksa Aidin mengikuti kekasihnya hingga keduanya basah.
Hampir saja Amera membuka bajunya, tangan Aidin cepat-cepat mencegahnya.
"Jangan dibuka, nanti kamu kedinginan," ucap Aidin asal.
Dari jauh nampak wanita cantik yang memperhatikan Aidin dan Amera yang sedang bermain air. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya saat melihat Aidin mencium wanita yang ada di depannya.
"Laki-laki brengsek," ucapnya dengan dada yang sudah menguap.
Matanya tak teralihkan dari Aidin yang semakin lama semakin mesra dengan wanita yang ada di depannya. Mereka seperti tak memikul dosa dengan perbuatannya.
Langit sudah semakin gelap, Aidin dan Amera akhirnya pulang dengan baju mereka yang basah kuyup. Lokasi hotel dan pantai sangat dekat, dan mereka hanya berjalan untuk tiba di tempat tujuan.
"Malam ini aku mau tidur di kamar kamu," pinta Amera saat keduanya tiba di dalam lift.
"Jangan, aku sudah memesan dua kamar." Aidin menolak dengan cara halus. Terus menggandeng tangan Amera hingga pintu lift terbuka.
Setibanya di depan pintu, Aidin dan Amera saling tatap dari pintu kamar masing-masing. Amera berlari menghampiri Aidin dan memeluknya.
"Semalam saja," pinta nya mengiba yang langsung dijawab anggukan oleh sang kekasih.
Sambil menunggu Amera di kamar mandi, Aidin memesan makanan lewat sambungan telepon, ia malas untuk keluar dan ingin segera tidur.
Baru saja meletakkan benda pipihnya di atas nakas, ketukan pintu membuat Aidin terperangah.
"Cepet banget, baru juga lima menit sudah sampai."
Berjalan gontai membuka pintu. Betapa terkejutnya saat melihat seseorang mematung di depan pintu kamarnya. Bukan pelayan yang mengantar makanan melainkan mama mertuanya.
"Mama…"
Aidin menatap wanita itu dengan lekat. Masih tak percaya, tapi itu benar-benar nyata. Mama mertuanya yang datang.
"Aku ingin bicara dengan kamu. Di restoran bawah." Tante Delia meninggalkan Aidin yang masih terpaku. Menatap kamar mandi yang masih tertutup rapat lalu menutup pintu sebelum keluar.
Aidin mengikuti langkah tante Delia menuju restoran. Ia duduk di depan mamanya. Berseberangan dengan meja.
"Mama mau bicara apa?" tanya Aidin tanpa basa-basi. Dari sorot matanya ia bisa melihat kebencian di wajah mamanya, begitu juga dengannya yang memang tak suka dengan kehadiran wanita itu.
"Kamu ke sini dengan siapa?" tanya tante Delina menekankan. Meskipun sudah melihat semuanya, ia ingin mendengar langsung dari mulut Aidin.
"Bukan urusan, Mama," jawab Aidin ketus.
"Jelas, ini urusanku. Zahra itu anakku, dan aku tidak mungkin membiarkannya hidup dengan kamu yang hanya laki-laki bajingan." Menunjuk wajah Aidin.
Pria itu menyunggingkan bibirnya. Menurunkan jari tante Delia.
"Apa bedanya dengan mama yang hanya perempuan murahan. Aku juga gak yakin kalau Zahra itu adalah anak dari ayah Dinata."
Plakk
Sebuah tamparan mendarat di pipi kokoh Aidin. Tante Delia tak terima dengan tuduhan yang dilayangkan menantunya. Sebab, itu tak hanya merendahkan dirinya, namun juga menghina status putrinya yang jelas-jelas anaknya dan Adinata.
Beberapa pengunjung yang ada di sekeliling ikut memperhatikan tante Delia dan Aidin yang semakin serius.
"Kamu tidak tahu apa-apa tentang masa laluku, jadi jangan pernah bicara sembarangan."
Seorang pria yang berwajah bule datang menghampiri Delia. Pria itu berbicara dengan bahasa asing.
"Aku baik-baik saja. Tinggalkan aku sebentar saja," pinta Delia pada pria itu. Kembali menatap Aidin yang masih mengusap pipinya yang memerah.
"Kalau kamu memang tidak bisa mencintai Zahra, tinggalin dia. Masih banyak laki-laki yang lebih baik dari kamu yang mau sama dia."
Delia beranjak dari duduknya lalu menghampiri pria tadi dan pergi dari restoran itu.
"Sialan, kenapa harus bertemu mama di sini sih," gerutu Aidin seraya menggebrak meja.
Ia kembali ke kamarnya. Ternyata Amera sudah selesai mandi. Wanita itu mengeringkan rambut di depan cermin.
"Kamu dari mana?" tanya nya.
Aidin duduk ditepi ranjang. Ucapan tante Delia masih terngiang-ngiang di telinganya yang membuat Aidin ingin mengamuk.
Ternyata tak hanya Amera, Mama mertuanya pun ingin ia meninggalkan Zahra.
"Hai, pipi kamu kenapa?" Amera mendekati Aidin. Mendongakkan wajah pria itu yang nampak memendam amarah.
"Aku mau mandi." Aidin meninggalkan Amera tanpa menjawab pertanyaannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
good job ... mama Delia pasti punya alasan kenapa sampai dia seperti itu
2024-01-26
1
fandha
zinaaah terusssss.... dsr ga ada akhlak nya..bejaat nya sama
2022-09-13
2
bungaAaAaA
maknya zahra kah?
2022-09-06
0