Dada Zahra bergemuruh saat melihat mobil Aidin masuk ke gerbang hotel ternama. Selama ini ia tak pernah berpikir sejauh itu dan menganggap suaminya keluar hanya bertemu teman. Rasanya mustahil bahkan seperti mimpi, namun suara guntur itu nyata, bahkan punggung tangannya yang masih setia memegang setir motornya itu basah terkena tetesan air yang turun dari langit.
Untuk apa mas Aidin ke hotel? Apa ada klien yang ingin bertemu di sini?
Mulai menerka-nerka gerangan yang akan bertemu suaminya.
"Permisi, Nona, hujannya mulai deras. Apakah anda akan tetap di sini?" Seorang penjaga datang menegur Zahra yang masih berada di area parkir.
Ia tersenyum melepas helmnya lalu singgah di teras. Masih bingung mau melakukan apa, akhirnya Zahra masuk dan langsung menghampiri resepsionis.
"Saya ingin ke kamar atas nama Tuan Aidin."
Wanita yang berjaga membuka buku dan mesin yang ada di depannya. Mencari nama yang disebut Zahra.
"Maaf, Nona. Tidak ada kamar yang dipesan atas nama tersebut."
Zahra mengerutkan alisnya.
Apa mungkin teman mas Aidin yang memesan kamarnya. Atau dia hanya ada rapat di ballroom.
"Terima kasih." Terpaksa Zahra kembali ke depan. Sebelum membuka pintu, ia mencari cara lain untuk bisa bertemu dengan suaminya yang jelas-jelas masuk ke dalam. Ia kembali menghampiri resepsionis yang bertugas.
"Saya ingin bertemu tamu atas nama Aidin adijaya."
Semoga berhasil.
Tak berselang lama, wanita cantik itu tersenyum.
"Di kamar vip no 99, beliau baru saja masuk."
"Terima kasih." Zahra bergegas masuk setelah mendapat petunjuk.
Ia terus menyusuri lorong hotel yang lumayan sepi, sekali berpapasan dengan orang-orang yang sangat aneh, sebagian dari mereka seperti mabuk dan berjalan sempoyongan. Sebagian lagi merayu-rayu pacarnya di sepanjang jalan.
Menyiapkan hati untuk bisa menerima apapun yang terjadi. Baik itu seperti yang diinginkan maupun tidak. Matanya terus meneliti nomor kamar yang menempel di pintu. Hingga akhirnya ia berhenti di depan pintu kamar yang disebut sang resepsionis.
"Ini kamarnya."
Zahra mengetuk pintu dengan pelan. Ada rasa takut dan gelisah mengiringi tangannya yang mulai berkeringat dingin. Takut apa yang dikatakan mamanya itu benar.
Terdengar gelak tawa dari dalam yang membuat hati Zahra nyeri. Suara seorang pria dan wanita saling bersahutan semakin menggema membelah kesunyian malam.
Tok tok tok
Zahra mengetuk pintunya lagi.
Tak berselang lama, pintu terbuka selebar tubuh satu orang.
Deg deg deg
Wajah yang tak asing di mata Zahra. Ia ingat betul siapa wanita yang ada di depannya itu, dia adalah orang yang ada di foto bersama dengan suaminya.
Begitu juga dengan wanita yang tak lain adalah Amera. Ia pun tahu jika yang ada di depannya itu adalah istri dari pria yang kini sudah berada di ranjang nya. Yang sebentar lagi akan membawanya terbang melayang.
Pergerakan keduanya tercekat. Saling terkejut dengan pertemuan yang tak diduga.
"Siapa, Sayang," teriak suara berat dari arah belakang.
Bahkan kamu memanggil wanita ja lang ini dengan sebutan mesra, Mas.
Amarah Zahra meluap ke ubun-ubun. Kesabarannya sudah habis. Ia mendorong pintu itu dengan keras hingga tubuh Amera terhuyung dan terhempas di dinding.
Sontak Aidin menoleh ke arah sumber suara.
"Zahra." Aidin menutup tubuhnya yang sudah telanjang itu dengan selimut. Ia bukan takut, melainkan kaget melihat kedatangan istrinya.
Air mata luruh begitu saja membasahi pipi wanita cantik yang memakai gamis warna hitam itu dengan hijab yang senada. Seolah-olah ia sudah tahu akan mendapat musibah besar. Bibirnya masih terkunci saat tangan Aidin mulai memungut bajunya yang teronggok di lantai.
Jiwa Zahra terguncang, kenyataan itu mampu memporak porandakan hatinya yang sebenarnya rapuh, namun ia tetap mencoba tegar dan berdiri tegak serta tersenyum lebar.
"Aku memang bukan perempuan yang sempurna dan bisa melayani kamu dengan baik." Zahra beralih menatap Amera yang terus menutup dadanya yang terekspos dengan handuk.
"Tapi aku tidak serendah kamu yang sudah merebut suami orang." Menunjuk wajah Amera dengan jari telunjuknya.
Amera mengepalkan kedua tangannya, ingin membalas ucapan Zahra yang mejatuhkan harga dirinya, namun itu adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri.
Aidin turun dari ranjang menghampiri Amera dan Zahra lalu berdiri di depan sang kekasih, melindungi. Menatap istrinya dengan tatapan tajam.
"Pulang sekarang, aku tidak butuh ceramahmu," usir Aidin menunjuk pintu depan.
Bukan tidak ingin pergi, Zahra hanya ingin menuntaskan yang menjanggal di dada. Ia menggeser tubuh kekar Aidin dengan pelan.
"Kenapa kamu hanya mengusir ku, Mas. Ceraikan aku sekarang juga. Dengan begitu kamu bebas tidur dengan perempuan manapun."
Ceraikan dia, Din. Ayo bilang talak ke dia.
Amera berharap Aidin mengabulkan permintaan Zahra. Dan setelah itu, dirinya bisa menguasai pria itu, termasuk hartanya.
Entah, jika menyangkut perceraian, hati Aidin terasa kelu. Ia tak mampu untuk mengucap meskipun tak ada rasa cinta pada Zahra.
"Sekarang kamu pergi dari sini!" Aidin mendorong tubuh Zahra hingga kepalanya membentur pintu. Hatinya sudah tertutup oleh kegelapan hingga tak bisa melihat apapun selain Amera.
"Ceraikan aku dulu!" pinta Zahra. Ia semakin menantang. Untuk saat ini tak ada yang melintas di hatinya selain kata berpisah.
"Tidak!" jawab Aidin tegas.
Sial. Kenapa Aidin tidak mau menceraikan dia sih.
"Kalau kamu tidak mau menceraikan aku. Tinggalin perempuan murahan ini!"
Plak
Seketika Aidin menampar pipi mulus Zahra dengan keras. Kejadian itu terjadi begitu saja tanpa bisa ditahan.
Sebuah kemenangan bagi Amera melihat perlakuan Aidin pada Zahra yang sangat sadis. Meskipun ia belum bisa memiliki Aidin sepenuhnya, setidaknya ada pembelaan yang dilakukan pria itu untuknya.
"Jangan pernah bilang kalau Amera perempuan murahan, karena kamu juga terlahir dari perempuan yang sama. Amera hanya berhubungan dengan ku, sedangkan mama Delia melayani banyak laki-laki di luaran sana. Sekarang lebih baik kamu pergi."
Aidin mencengkram erat lengan Zahra dan mendorongnya hingga tubuh wanita itu berada di luar kamar.
"Jangan pernah ikut campur urusanku, atau kamu akan menyesal seumur hidup," ancam Aidin lalu menutup pintu dengan keras.
Zahra segera keluar dari hotel dengan hati yang hancur berkeping-keping. Tak peduli derasnya hujan dan suara petir yang terus menggelegar, kakinya terus mengayun membawa tubuhnya yang hampir runtuh.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Mas?" teriak Zahra di sela-sela tangisnya. Tubuhnya ambruk di sisi jalan yang dipenuhi dengan kegelapan.
"Apa salahku?" suaranya semakin pelan, sekujur tubuhnya basah kuyup hingga rasa dingin merasuk ke tulang. Rasa pusing menyeruak membuat mata Zahra berkunang-kunang. Pandangannya terasa redup hingga ia tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
aduhhhh Zahra lemah banget sih jadi perempuan
2024-01-26
1
Nia Kania
zHrat jdi cwe ko lemah bngt si.
2022-10-21
0
Dek Fit Wirawan
jadi cewek kok bodoh ya. sekali dua kali ok disakiti. tapi kalo berkali2 hrs move on
2022-09-25
0