Aidin pembuka pintu utama. Melempar jas dan tas nya di sofa. Melangkah menuju meja makan. Tangannya mengulur membuka tudung saji. Tidak ada apa-apa di sana. Dapur pun tampak sepi.
"Zahra," teriak Aidin. Kembali ke sofa lalu menghempaskan tubuhnya. Mengurai rasa lelah karena seharian bergelut dengan pekerjaan.
Tidak ada jawaban yang membuat Aidin kembali memanggil sang istri.
Semakin lama Aidin semakin kesal. Mata elangnya menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Kemudian melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Tidak biasanya jam segini dia tidur," gumam nya.
Aidin beranjak dari duduknya. Berjalan lenggang menuju kamarnya. Tanpa mengetuk, pria itu membuka pintu kamar, menatap Zahra yang meringkuk di ranjang.
"Apa ini cara kamu menyambut suami yang baru pulang?"
Zahra bergeming, sedikitpun tak ingin balik menyapa. Jika mengingat kejadian di kantor hatinya tersayat.
Dentuman sepatu dan lantai terdengar semakin menggema. Zahra memejamkan matanya menghindari tatapan sang suami yang pasti penuh dengan amarah.
"Aku tahu, kamu hanya pura-pura tidur." Aidin menggoyang-goyangkan tangan Zahra dengan kasar hingga wanita itu tersentak.
Terpaksa Zahra membuka mata. Menurunkan kakinya, merapikan hijabnya yang lumayan berantakan.
"Buatkan aku makanan!" titah Aidin meninggalkan kamar.
Pintu tertutup dengan keras menandakan jika Aidin sudah keluar dari ruangan itu.
Aku harus tanyakan pada mas Aidin. Siapa perempuan tadi.
Zahra keluar, seperti perintah Aidin, ia langsung ke dapur untuk membuat makanan. Sesekali melirik ke arah Aidin yang tersenyum dengan benda pipih di tangannya.
Aaaww
Zahra menjerit saat tangannya teriris pisau. Darah mengucur deras hingga ia panik dan memanggil Aidin.
"Mas, tolong ambilkan kotak obat!" pinta Zahra sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa perih.
"Kamu kan bisa ambil sendiri, jangan manja."
Aidin mengabaikan permintaan Zahra, bahkan pria itu sedikit pun tak ada rasa simpati pada istrinya.
Zahra mencuci jarinya yang terluka lalu membalutnya dengan kain bersih. Berlari kecil mengambil kotak obat yang ada di laci, tepatnya di depan sofa yang Aidin duduki.
Mungkin kamu akan peduli jika aku dinyatakan sekarat. Atau mungkin kamu juga senang, karena jika aku meninggal, kamu tidak akan melihatku lagi.
Zahra duduk di ruang makan. Ia mengobati lukanya dan menutupnya dengan plester untuk meredakan rasa perih jika terkena air.
"Cepetan, Za! Aku lapar," pekik Aidin.
"Iya Mas, sebentar." Zahra kembali melanjutkan aktivitasnya di dapur tanpa mengembalikan kotak obat di tempatnya.
Tiga puluh menit kemudian, Zahra menyajikan makanan di meja makan. Sebenarnya ia enggan untuk melayani Aidin. Namun, hatinya yang lembut tak tega jika melihat pria itu kelaparan. Bagaimanapun juga sudah menjadi tugasnya untuk mempersiapkan segala kebutuhan sang suami termasuk urusan makan
"Makanannya sudah siap," ucap Zahra berdiri di samping Aidin.
Aidin langsung ke meja makan. Melewati tubuh Zahra tanpa ingin mengajaknya.
Zahra duduk di samping pria itu. Piring nya kosong tanpa nasi. Meskipun seharian tak makan, Zahra pun tidak selera dengan makanan yang ada di depannya.
"Mas, aku mau tanya?" ucap Zahra.
"Bisa nggak sih, kamu nungguin aku selesai," bentak Aidin.
Zahra menghela nafas panjang. Menunggu Aidin menghabiskan makannya yang tinggal beberapa suap lagi.
"Siapa perempuan yang ada di ruangan kamu?"
Aidin menyemburkan air yang hampir tertelan. Meletakkan gelas di meja makan dengan kasar hingga air yang masih penuh itu tumpah.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Di kantor aku bekerja, dan banyak perempuan yang masuk ke sana, lalu siapa yang kamu tanyakan?"
"Perempuan yang duduk di meja kerja kamu. Dia memakai baju warna maroon. Rambutnya panjang. Kalau gak salah, bahunya ada tato kupu-kupu."
Aidin kembali meneguk airnya, mengingat sosok yang disebutkan sang istri.
Itu kan Amera. Dari mana Zahra tahu kedatangan Amera di kantor. Apa dia memata-mataiku.
"Klien," jawab Aidin singkat.
"Mas, klien nggak mungkin bersikap seperti itu. Di mana-mana seorang tamu itu akan duduk sopan. Tapi aku lihat perempuan itu bersikap manja sama kamu."
Zahra menahan air matanya yang menumpuk di pelupuk. Tak ingin terlihat lemah saat di depan Aidin.
Aidin mendorong kursi kosong yang ada di depannya itu dengan kaki. Tatapannya bagaikan hunusan pedang yang siap menggores.
"Aku peringatkan sekali lagi, jangan berani-berani ikut campur urusanku." Aidin meninggalkan ruang makan.
Haira mencengkram perutnya yang terasa nyeri. Pasti asam lambungnya kumat karena seharian tidak mengkonsumsi apapun.
"Ya Allah, kenapa perutku sakit banget."
Keringat bercucuran menembus pori-pori. Zahra tak sanggup lagi untuk menahannya. Tubuhnya terasa dingin hingga untuk bergerak saja kesulitan.
"Mas Aidin," panggil Zahra dengan suara lirih. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kedua tangan yang terus menekan perutnya.
Zahra menyeret kakinya menuju kamar, nampak sang suami sedang berbaring di atas pembaringan.
"Mas, perutku sakit." Tangan Zahra memegang erat knop pintu untuk menopang tubuhnya.
Sedikitpun tak ada rasa khawatir dan iba. Aidin membisu sambil menatap Zahra yang terus meringis.
"Mas, anterin aku periksa, aku benar-benar gak kuat."
Aidin turun berjalan ke arah Zahra yang masih berada di ambang pintu.
"Kamu pikir aku akan percaya begitu saja. Aku yakin kamu hanya pura-pura sakit, lalu memintaku untuk terus menemani kamu."
Zahra menggeleng cepat. Air matanya luruh bersamaan dengan dadanya yang sesak karena tuduhan Aidin.
"Mas, aku gak bohong. Perutku benar-benar sakit, sepertinya asam lambungku kumat." Suara Zahra semakin lemah. Tubuhnya kian lemas tak berdaya.
Aidin memilih pergi meninggalkan Zahra.
Suara mesin mobil menderu. Zahra yakin itu pasti mobil Aidin.
Zahra masuk lalu duduk di tepi ranjang. Meraih ponselnya, menghubungi seseorang.
"Halo, Za, ada apa?" sapa suara lembut dari seberang sana.
"Halo, Ki. Perutku sakit, apa kamu bisa membantuku?" tanya Zahra penuh harap.
"Bantu apa?" tanya Kirana mulai cemas. Apalagi suara Zahra terputus-putus membuatnya takut.
"Tolong datang ke rumahku. Anterin aku ke rumah sakit."
Kirana langsung berlari keluar. Ia takut terjadi sesuatu pada Zahra seperti dulu. Bahkan, Zahra nyaris pingsan saat tak segera mendapatkan pertolongan.
Di sepanjang jalan yang dipenuhi berbagai kendaraan, hati Kirana merasa gelisah, membayangkan kondisi Zahra saat ini.
Ya Allah, semoga Zahra baik-baik saja.
Sesampainya, Kirana langsung berlari. Saking gugupnya, gadis itu pun masuk tanpa mengetuk pintu.
"Kamu di mana, Za?" ucap Kirana, mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan yang sangat luas.
Apa mungkin Zahra di kamar?
Kirana tak peduli, ada Aidin ataupun tidak, ia langsung berlari ke kamar yang terbuka lebar. Betapa terkejutnya ia saat melihat tubuh Zahra yang duduk bersandar di dinding dengan kedua kaki menekuk.
"Zahra," pekik Kirana menghampiri sang sahabat yang tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Diajeng Ayu
"tak ingin terlihat lemah saat didepan Aidin" TERUS SELAMA INI APA!!!! lu selalu nurut aidin walaupun dia nggak nghargain lu apa itu namanya kalo ga lemah?anj emosi gw
2024-03-21
0
Diajeng Ayu
pantesan dibully mulu, orang lu lemah cih masih ada perempuan senaif ini ga abis pikir gw jatuh bukan terlalu baik tapi tolol!!
2024-03-21
1
Sur Anastasya
setuju fisah aj jadi wanita mndiri
2023-12-30
0