''Sial, kenapa harus tersebar seperti ini. Bukankah malam itu tidak ada siapa-siapa selain Zahra?''
Amera bergegas turun dari ranjang setelah membuka ponselnya. Ia terkejut melihat gambarnya yang sudah terpampang di sosmed. Bukan karena penampilannya di majalah ataupun saat pemotretan, akan tetapi karena perselingkuhannya dengan pria yang tak dikenal.
''Walaupun mereka ingin mencari sensasi pasti dia sudah mengenal Aidin, tapi ini. Mereka bilang aku selingkuh dengan pria asing, apa-apaan ini?''
Amera menjabak rambutnya, ia tak terima dengan berita yang menurutnya hanya merugikan satu pihak, sedangkan dari pihak Aidin tetap beruntung.
''Jangan-jangan ini ulah keluarga Aidin,'' terka Amera. Sebab, ada yang menjanggal dengan gambar itu yang sedikitpun tidak menyangkut sang kekasih. Seolah-olah hanya ingin menjatuhkannya seorang. Bahkan gambar itu diambil saat dirinya tidur sendirian di ranjang, itu artinya Aidin sudah pergi dari hotel.
''Kalau seperti ini, aku harus datang ke kantornya. Dia harus tanggung jawab.''
Aidin menyerah, seharian penuh berada di jalan dan tempat-tempat yang sering Zahra kunjungi, namun tak ada hasil apapun. Akhirnya ia menyuruh beberapa orang suruhan pak Herman untuk mencari Zahra sampai ketemu.
''Sampai kapan kamu akan merepotkanku.'' Memukul meja kerja dengan keras. Otaknya semrawut dipenuhi dengan masalah. Selain harus mencari Zahra, pekerjaan Aidin pun menumpuk karena kemarin tidak masuk.
Beberapa dokumen terbengkalai dan belum disentuh sedikitpun. Tiga map juga belum diteliti, padahal itu akan diserahkan satu jam lagi. Hilangnya Zahra benar-benar menambah beban Aidin yang memang sangat sibuk.
Pak Herman menatap putranya yang nampak termenung. Entah apa yang dipikirkan, berharap saat ini Aidin menyesal sudah menghianati Zahra, menantunya.
''Nanti datang ke restoran. Ada yang ingin papa bicarakan,'' ucap pak Herman dari ambang pintu.
Aidin tak menjawab, ia sudah terlalu kesal dengan keadaannya saat ini.
Amera yang melihat pak Herman masuk ruangan itu segera berlari ke ruangan Aidin. Ia belum siap kalau harus berpapasan dengannya.
Ceklek
Aidin menoleh ke arah pintu yang terbuka. Matanya membulat sempurna melihat sosok yang baru saja masuk.
"Amera, ngapain kamu ke sini?''
Aidin menghampiri Amera yang nampak kesal.
Amera mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pada Aidin apa yang ia lihat tadi pagi.
''Kamu lihat ini!'' Menghadapkan layar ponselnya di depan Aidin. ''Sepertinya ada orang yang ingin menjatuhkan karirku.''
Aidin menatap dengan lekat. Ia bersyukur karena tidak ada namanya di sana, namun ia heran dengan pelaku yang melakukan itu pada Amera. Ingin mengusut, Aidin tak ada keberanian, pasti pak Herman akan murka jika sampai tahu.
Aidin menatap Amera sebentar lalu duduk di kursi kebesarannya. Menggigit jari. Masih menebak orang yang berani melakukan itu.
''Ini gimana dong, aku gak mau karirku hancur hanya karena masalah ini.'' Amera frustasi, menghempaskan tubuhnya di sofa. Sama seperti Aidin, ia pun tak bisa berpikir jernih.
Aidin menghampiri Amera dan merangkulnya. ''Aku akan cari solusi, tapi tidak untuk sekarang, Zahra belum pulang, dan aku harus mencarinya.''
''Tapi bagaimana denganku? Kita melakukan atas dasar suka, dan aku tidak mau menanggungnya sendiri, kamu harus bertanggung jawab,'' pinta Amera dengan tegas.
Aidin menghembuskan napas kasar. Ia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi harus mempertahankan Zahra demi posisinya saat ini. Di sisi lain Aidin tak tega dengan Amera yang nampak kacau.
''Aku akan tanggung jawab.''
Akhirnya Amera tersenyum lebar. Memeluk Aidin dengan erat dan mengucapkan terima kasih.
Aidin berjalan lenggang menuju restoran, di mana pak Herman sudah menunggu. Selain membicarakan tentang pekerjaan, ia pun akan membicarakan tentang hubungannya dengan Amera.
''Apa kamu sudah menemukan Zahra?''
Aidin menggeleng tanpa suara. Ia belum mendapatkan kabar apapun dari anak buahnya.
Wajahnya tertunduk lesu dengan kedua tangan saling terpaut di atas meja.
''Kenapa kamu tidak mencarinya?'' tanya pak Herman menekankan. ''Dia istri kamu, bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?''
''Pa, dia yang ingin pergi dari rumah, biarkan saja. Lagi pula Zahra itu sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri.''
Pak Herman tertawa. Sekian lama baru menyadari bahwa putranya itu terlalu bodoh dan buta.
''Dia pergi dari rumah karena kelakuanmu. Seandainya kamu yang ada di posisi dia. Apa yang akan kamu lakukan, hah. Apa kamu akan terima begitu saja. Diam dan pura-pura tidak tahu.''
Pak Herman kembali memekik. Ia tersulut emosi mendengar ucapan Aidin yang nampak cuek.
''Sudah lah, Pa, mungkin aku dan Zahra memang tidak berjodoh.''
''Apa kamu bilang, tidak berjodoh. Kamu yang kurang bersyukur mendapatkan istri seperti Zahra. Ingat, Din. Karma itu masih berlaku. Kamu sudah berani menyia-nyiakan perempuan sebaik Zahra, jangan menyesal kalau suatu saat dia menyerah dan pergi dari hidupmu. Kamu akan merasakan sakitnya kehilangan orang yang benar-benar tulus mencintaimu.''
Aidin berdiri. Sedikitpun tak berpengaruh dengan ucapan pak Herman. ''Aku tidak akan menyesal karena sekarang ada Amera, dia yang nantinya akan menjadi istriku.''
''Kalau kamu berani menceraikan Zahra, siapkan dirimu untuk menjadi orang miskin, dan aku akan melihat sejauh mana Amera bisa bertahan dengan kamu yang tidak punya apa-apa.''
Pak Herman pergi. Meskipun ancaman itu tak serius, setidaknya bisa menakut-nakuti Aidin.
Argh
Aidin mengerang. Menatap punggung papanya yang semakin menjauh.
Beberapa pengunjung pun ikut menyaksikan kekesalan Aidin yang semakin menjadi.
Ponsel Aidin yang ada di saku celana berdering mengurungkan niat pria itu yang akan meninggalkan restoran.
Ternyata Amera yang menghubungi nya.
''Halo, Ra. Ada apa?'' tanya Aidin menyapa lebih dulu. Mungkin mendengar suara Amera akan sedikit mengurangi amarahnya yang menggebu.
''Bagaimana? Apa kamu berhasil membujuk om Herman?''
Terdengar helaan nafas panjang membuat Amera ketar-ketir.
''Belum, papa tidak setuju kalau aku menceraikan Zahra. Dia juga akan mencabut semua fasilitas yang aku miliki kalau sampai itu terjadi, kamu yang sabar.''
Dasar si tua bangka, ngapain dia pakai mengancam sih. Benar-benar sial.
''Baiklah, Sayang. Aku akan sabar menunggu sampai om Herman setuju kamu bercerai dengan wanita kampung itu.'' Meskipun hatinya jengkel setengah mati, tetap saja Amera berbicara manis demi mendapatkan sang pujaan hati sekaligus hartanya.
Setelah menutup telponnya. Amera melempar benda pipihnya di atas kasur, setelah itu membuang alat-alat make up yang berjejer rapi di meja rias. Kesabarannya sudah habis. Baru beberapa jam gosip itu menyebar, tiga perusahaan sudah memutuskan kerja sama dan meminta royalti.
"Aku pastikan Aidin akan menceraikan Zahra. Dan aku yang akan menjadi nyonya Adijaya." Menggenggam kuat-kuat botol parfum. Satu-satunya barang yang tertinggal di atas meja. Yakin bahwa dirinya bisa memiliki pria itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Truely Jm Manoppo
Amera ... amera dasar pelakor
2024-01-26
1
fandha
dsr wanita ga punya maluuuu..sdh pelakor...trs gila harta...
2022-09-13
1
Siti Nurjanah
knp ya setiap pelakor di novel atau mantan pacar yg jd pengganggu rmh tangga orang berporesi sebagai model.....apa semurahan itu ya jd model ceritanya di novel ya.....
2022-08-30
2