13
Apartmen yang di tempati Rachel sangat nyaman dan terletak di lokasi strategis. Dilengkapi tv led berukuran besar dan furniture lainnya. Meskipun tempat tinggalnya sekarang lebih mewah daripada ruko yang selama ini ia tempati, tapi Rachel merasa asing dan kesepian tanpa Kalea dan kakaknya.
"Kamu suka tempatnya, El? Kalau kamu kurang nyaman di sini, kita bisa cari yang lain." Lian bicara setelah menunjukkan tiap sudut ruangan yang ada di dalam sini, sebagai orang yang paham tentang design bangunan ia tentu tahu tempat ini sangat layak untuk wanita seperti Rachel, tapi semua keputusan ia serahkan kepada Rachel.
"Tempat ini udah lebih dari cukup untukku, Yan. Selama ini, aku bahkan nggak berani bermimpi bisa tinggal di sini."
Sebenarnya, gaji yang didapatkan Rachel bisa membeli rumah mewah untuk di tempati bersama keluarganya, tapi Rachel lebih memilih menabung uang itu untuk masa depan Kalea.
"Syukurlah, kalau kamu suka. Apartmen sudah beres, urusan mobil masih diurus berkas-berkasnya. Dan menunggu tanda tangan pak Bara," terang Lian sembari meresapi koffe capucino buatan Rachel.
Tubuh Rachel menegang, telinganya mendengung, pikirannya resah dan gelisah setelah mendengar nama Bara disebut. Tapi, tidak mungkin Kenzi Barata Abimana, 'kan?
"Pak Bara?" Kenapa hatinya was-was? Apa mungkin karena masih berharap bisa bertemu dengan Kenzi?
"Hem, iya...." Lian meletakkan gelas berisi koffe cappucino itu di atas meja, kemudian menatap Rachel. "Kamu belum tau, ya? Pak Bara mengemban jabatan sebagai QM menggantikan QM sebelumnya. Pak Bara lulusan dari salah satu universitas terbaik di Amerika. Ya, meskipun usianya masih muda, tapi pengalaman dan ketangkasannya tidak diragukan lagi," terang Lian sambil tersenyum mengingat Bara. "Tapi dia sangat-sangat keras kepala!"
"Oh...," Rachel menghela nafas panjang, kecewa? Ntahlah, sudah jelas itu Bara yang lain. Bukan Kenzi Barata Abimana. Siswa abadi yang pernah tidak naik kelas itu mana bisa kuliah di Amerika sana. Sebab, Kenzi tidak sekaya itu, dulu utangnya saja numpuk di kantin sekolah.
"Jangan khawatir, El. Meskipun Bara keras kepala, tapi hatinya baik, kok. Dia baru datang dari Amerika, harusnya sih besok udah mulai menduduki posisinya. Sama seperti kamu."
"Jadi ada dua anak baru di kantor?"
Pertanyaan Rachel membuat Lian tertawa dan berucap,"Kalian pindahan, bukan anak baru!"
"Apa aku boleh nolak mobil itu?" tanya Rachel setelah menimbang sesutu.
"Kenapa ditolak? Itu fasilitas dari kantor khusus untuk kamu."
"Itu dia masalahnya, aku nggak mau ada masalah lagi, Lian. Jangan sampai orang-orang berfikiran buruk sama aku seperti di tempat sebelumnya. Lagi pula, aku nggak mahir nyetir mobil di Jakarta."
Lian tampak berfikir, meskipun ia keberatan Rachel menolak mobil dari kantor, tapi alasan yang diberikan Rachel cukup masuk akal. Lian tahu kalau Rachel masih truma atas kejadian buruk di kantor lama.
"Tapi, ada syaratnya," ucap Lian dengan bibir tersenyum.
"Syarat apa?"
"Aku yang antar jemput kamu dan ini keputusan final nggak bisa ditolak."
Rachel tentu keberatan dan menolak dengan alasan jarak dari apartmen dan kantor tidak terlalu jauh, tapi Lian tetap memaksa. Akhirnya Rachel terpaksa mengindahkan syarat yang diberikan Lian.
***
Keesokan harinya.
Kemeja kantor warna baby pink dan rok bahan yang menggantung di bawah lutut melengkapi penampilan Rachel pagi ini. Rachel bergegas keluar setelah membaca pesan dari Lian yang sudah menunggu di lobby apartmen. Hari ini merupakan hari pertama Rachel kerja di lingkungan yang baru, ia berharap semua berjalan lancar.
"Harusnya SEM tidak perlu repot-repot menjemputku," ucap Rachel setelah berhadapan dengan Lian.
"Apalah arti SEM tanpa arsitektur muda dan berbakt seperti Rachel," goda Lian.
"Pak Lian terlalu berlebihan, jangan protes kalau kali ini aku panggil Bapak, Ok!"
"Hanya di lingkungan kerja, Ok!" Lian tertawa gemas karena Rachel berhasil membuat hari-harinya lebih hidup dari sebelumnya.
.
.
.
.
.
Mobil Lian berhenti beberapa meter dari kantor, Rachel sengaja turun di sana karena tidak mau ada orang yang melihatnya datang bersama petinggi di perusahaan itu. Sementara Lian sudah kembali melajukan mobilnya.
"Ceweknya pak Lian, ya, Mbak? Kok turun di jalan?"
Rachel terperanjat kaget tidak menduga ada orang yang melihat ia turun dari mobil Lian. Perempuan berkemeja putih yang sudah berdiri di sampingnya tersenyum ramah.
"Beneran cewek pak Lian, Mbak?"
"Bu-bukan, ini hari pertama saya kerja di sini, ja_
"Oh, arsitek muda dari Surabaya?" Ia menatap kagum. "Hebat, sih. Masih muda tapi udah berbakat banget." Ia mengulurkan tangan. "Gue Tasya. Satu divisi sama lo."
"Rachel!" jawab Rachel setelah berjabatan tangan dengan Tasya. "Soal tadi ja_
"Beres!" Tasya merangkul lengan Rachel membuat mereka berjalan beriringan. "Rahasia aman dan gue nggak cemburu," kekehnya.
"Tapi beneran aku sama pak Lian nggak pacaran." Rachel mencoba menjelaskan, tapi keadaan yang sekarang membuat Tasya semakin tidak percaya.
Lian sudah berdiri di lobby melihat ke arah mereka.
"Terus pak Lian nunggu siapa kalau gak nunggu ceweknya?"
Godaan Tasya membuat Rachel menghela nafas berat, sepertinya teman barunya ini sudah terlalu banyak bicara.
"Pagi, Pak Lian!" sapa Tasya sambil menyikut tangan Rachel.
"Pagi, Pak!"
Lian tersenyum melihat Rachel canggung padanya. "Pagi ... aku harap kamu betah di kantor ini, El."
Tasya terbatuk-batuk, baru sekarang dia melihat Lian menyapa karyawan bahkan tersenyum manis.
"Terimakasih, Pak." Rachel bergegas menarik Tasya. "Shtt jangan berlebihan," bisiknya setelah mereka berdiri di depan lift.
"Gue kaget karena pak Lian mesra banget nyebut nama, lo. Apa tadi ... El?"
Rachel membekap mulut Tasya agar beberapa orang yang sudah bergabung dengan mereka tidak ikut salah paham dengan ocehan Tasya.
"Gimana, pak Bara udah datang?"
"Kayaknya belum. Tadi gue cuma liat pak Lian."
"Bakalan betah seumur hidup gue kerja di sini, secara pemimpinnya ganteng semua. Pak Lian aja nggak ada obat, apa lagi pak Bara?"
Rachel menarik tangannya kemudian menarik Tasya masuk ke dalam lift. Beberapa wanita yang tadi membahas pimpinan perusahaan pun melanjutkan obrolan mereka di sana.
"Memangnya lo semua udah pernah liat tampangnya pak Bara?" tanya Tasya setelah cukup menyimak dengan baik. Awalnya ia berniat mengikhlaskan Lian untuk Rachel karena akan ada penggantinya. Tapi ternyata saingannya sebanyak ini.
"Memang belum, sih. Tapi kalau gak salah, pak Bara itu anak kandungnya pak Permana. Bokapnya aja ganteng, apalagi anaknya?" terang wanita yang berdiri di samping Rachel.
Karena tidak tahu apa-apa dan bukan urusannya. Rachel hanya diam saja, tapi ia mendadak ikut penasaran dengan sosok pak Bara.
"Baru-baru ini pak Permana ke Amerika menghadiri acara pertunangan anaknya. Apa mungkin pak Bara yang ini udah punya tunangan?"
"Gue denger, sih gitu. Yah, pak Bara udah ada yang punya. Gak tau diri banget kita kalau ngerebut pak Bara."
"Memangnya pak Bara mau sama lo?" Tasya terkekeh, Rachel menggelengkan kepala melihatnya.
"Diem, lo sirik aja. Awas ya kalau lo godain pak Bara!"
"Idihhhh." Tasya tidak melanjutkan ucapannya, sebab Rachel membungkam mulutnya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
cheepychan
mantannya meresahkan ya El makanya masih gamon...😄
2022-07-20
1
Desy Noviana
siap gak siap ketemu mantan
2022-07-17
0
Erni Handayani
rumit banget hidup lo ken🤦♀️
2022-07-17
0