Boas Egdan menggenggam pedang panjangnya yang bersinar keperakan. Matanya menyipit menembus kegelapan hutan kota yang dipenuhi hawa kotor. Di hadapannya, berdiri sosok lelaki yang dulu pernah ia angkat menjadi tabib kerajaan—kini bukan lagi manusia seutuhnya. Kadas, manusia iblis, bukanlah pria yang sama seperti masa kejayaan kerajaan Egdan.
Boas, sang mantan raja legendaris yang pernah ditakuti seantero benua, kini hanya bayang-bayang dari kejayaannya dulu. Namun, auranya tak pernah benar-benar padam. Ketika ia berdiri di bawah langit kelam, dengan kilat menyala dari ujung pedangnya, dunia masih tunduk pada pesonanya.
Kadas, tubuhnya tinggi kurus, rambut putih menjuntai tak rapi, menyeringai sinis. Dari tangannya, sebuah tongkat kayu tua melayang menuju genggamannya, diselimuti oleh gumpalan kabut gelap yang berputar perlahan seperti pusaran kutukan.
“Kita akan bertarung di sini, Yang Mulia?” ejeknya. Suaranya dipenuhi racun, dengan senyum miring dan mata sehitam neraka.
Boas menarik napas panjang, lalu berkata pelan dengan nada jijik, “Iya. Aku ingin menyingkirkan tubuh busukmu dari tanah ini. Bagaimana bisa kau bertahan hidup di antara manusia yang mencintai kebersihan, sementara tubuhmu membuatku ingin muntah?”
Ia menutup hidungnya dengan kain, tatapannya tajam, suaranya dingin seperti salju musim gugur.
Kadas tertawa getir. “Ini kutukan! Bukan hanya dari dewa, tapi dari pengkhianatanmu juga! Aku dikutuk hidup abadi, bau busuk, tak berwujud sepenuhnya. Tapi kelak, Boas, aku akan menguasai semua elemen, menghancurkan para dewa sialan itu... dan tentunya, menghabisimu. Aku akan datang bersama pasukan neraka.”
“Oh, jadi si ratu iblis memberimu kunci neraka? Peningkatan yang cukup bagus untuk seorang mantan tabib.” Boas mengayunkan pedangnya ke udara. Dari bilahnya, petir menyambar, menyibak gelap malam, menghiasi hutan dengan cahaya kehancuran.
Tersinggung, Kadas menggeram dan mengayunkan tongkatnya. Awan keunguan menebal lalu menyambar Boas dengan ganas. Namun sang raja sudah bersiaga—ia melompat ke belakang dan mengangkat telapak tangannya. Kilatan listrik menggelegar, meluncur deras, menghantam dada Kadas hingga tubuh iblis itu terpental mundur beberapa langkah.
Kadas menunduk, menggenggam dadanya, terbatuk kecil, darah mengalir dari bibirnya.
“Cuma segitu kekuatanmu, Kadas?” seru Boas mengejek, matanya menyala penuh nyala perang. “Ratusan tahun kau jadi budak iblis, tapi tenaga hanya sebesar anak ayam?”
Kadas meraung dan mengarahkan tongkatnya, menyemburkan awan kemarahan. “Berhenti meledekku! Kau dan aku sama—kita sama-sama kena kutukan!”
Boas tertawa rendah. “Salah. Aku dihukum karena sihirmu yang busuk menutup mataku dari kebenaran. Tapi kamu... kamu dihukum karena ketamakanmu sendiri. Kau bersekutu dengan iblis demi kekuasaan. Kita tidak sama, Kadas.”
Darah mendidih dalam tubuh Kadas. Ia terbang, lalu dari mulutnya semburan api keluar, memekik ke arah Boas. Tapi sang raja sudah bersiaga. Ia mengaktifkan perisai putih transparan, seperti gelembung yang menyelubungi tubuhnya.
“Licik!” raung Kadas. Ia mengayunkan tongkatnya dengan ganas, kekuatan hitam keungu-unguan meledak keluar—menabrak perisai keras bagai baja. Tapi perisai itu tidak bergeming. Malah, sihirnya terpental, menabrak Kadas sendiri, membuatnya terhuyung.
Boas tertawa dari balik perisainya. Suara tawanya tajam, menusuk seperti belati.
“Apa kekuatanmu cuma segede biji jagung, Kadas?”
Kadas, kini merah padam, mulai menghimpun kekuatan besar. Bola hitam terbentuk di tangannya—elemen gelap, kekuatan terlarang, putaran energi yang nyaris meledak.
Boas hanya berdiri tenang, memperkuat perisainya hingga tiga lapis. Tangan bersilang di dada, wajah datar namun mata mengamati penuh perhitungan.
“Aku akan menghabisimu juga, Raja! Bersiaplah!” teriak Kadas penuh amarah.
Serangannya menghantam keras. Buuum! Lapisan pertama perisai pecah—tapi masih ada dua lagi.
Boas tidak bergerak. “Ayo, Kadas. Tunjukkan padaku semua kekuatanmu. Buktikan kau bukan hanya budak iblis yang kalah sebelum bertarung.”
Kadas meraung. Bola hitam kembali terbentuk. Ia melontarkan semua tenaganya. Tapi tubuhnya sudah kelelahan, energi dalamnya mulai terbakar. Ketika serangan kedua meluncur, tubuhnya mulai gemetar. Napas tersengal, darah mengalir dari mulutnya.
Boas tahu—ini saatnya.
Kadas masih mencoba serangan ketiga, tapi tubuhnya goyah. Ia batuk darah, lututnya hampir menyentuh tanah.
Melihat itu, Boas melesat. Ia terbang dan menangkap pergelangan kaki Kadas. Dalam sekejap, pedang panjangnya terangkat tinggi dan—
Hiaaak!
Pedang itu menyabet pundak Kadas. Daging terkoyak, tulang retak, darah muncrat liar.
“AAARGH!!” teriak Kadas memecah malam. Binatang hutan kabur ketakutan mendengar jeritan itu.
Tapi Boas tak memberinya kesempatan. Ia berputar di udara dan—buuuub!—ujung pedangnya menembus dada Kadas, menghujam jantungnya hingga menembus ke punggung.
Cairan merah menyembur, membasahi wajah sang raja.
Boas mencabut pedangnya dengan gerakan kasar. Suara krek dari daging dan tulang terdengar nyeri dan meremangkan bulu kuduk. Kadas terjatuh, terkapar, tubuhnya menggelepar dalam darah dan kesakitan.
“Akh… akh… akaaaah…”
Boas menatapnya tajam. Ada kepuasan dingin dalam matanya. Dendamnya perlahan terbayar.
Namun... saat Boas berbalik dan hendak pergi, cahaya merah menyala samar dari dada Kadas. Sebuah simbol kuno, berputar, bersinar. Boas menyipitkan mata.
“...Apa itu?” gumamnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Albertus Sinaga
sadis
2023-10-24
0
Ida
masih agak bingung.... tapi suka aku ceritanya....
2022-12-20
0