Boas Agdan mampu memiliki apa pun yang diinginkannya—kekuasaan, kemewahan, bahkan kekekalan itu sendiri. Hanya dengan satu kedipan mata atau jentikan jari, dunia bersujud di hadapannya. Tapi dari segala hal yang bisa ia genggam dalam satu tarikan napas, ada satu hal yang selalu lolos dari genggamannya: kematian.
Ia telah hidup selama berabad-abad, menyaksikan dunia berganti rupa, menyaksikan kerajaan runtuh dan dibangun kembali, menyaksikan kekasih dan sahabatnya menua dan mati—sementara ia tetap sama. Muda. Tampan. Dan sendirian.
Tak ada siksaan yang lebih menyiksa daripada hidup tanpa akhir.
Senja telah lama pamit dari langit. Matahari kembali ke penatarannya setelah menyelesaikan tugas hari ini. Di atas sebuah batu besar yang terletak di atas bukit sunyi, Boas masih terduduk dengan tubuh santai, matanya terpejam. Ia tidak tidur, ia hanya... memejamkan kepedihan.
Lamunannya menari jauh ke langit ketujuh, hingga sebuah suara kasar merobek keheningan malam.
“Hai, anak manis... jam segini baru pulang? Temenin kita dong...”
Suara lelaki mabuk itu membuat napas Boas mengeras. Ia mengenali nada ketakutan dalam jawaban si gadis.
“Lepaskan aku atau aku teriak!”
“Silakan, Sayang. Di jalanan sepi seperti ini, paling yang dengar cuma setan yang nyasar...”
Tawa jahat bergema. Lalu, teriakan.
“Tolong...!”
Dalam sekejap, mata Boas terbuka. Satu kedipan. Dan tubuhnya sudah berpindah ke tempat kejadian.
Lima lelaki berdiri mengelilingi seorang gadis muda. Gadis yang rambutnya berantakan, matanya merah ketakutan. Boas berdiri di tengah mereka—tiba-tiba dan tanpa suara, seakan waktu sendiri mempersilakan kehadirannya.
“Siapa lo? Mau jadi pahlawan kesiangan? Pergi sebelum gua tembak!” gertak salah satu pria, masih memegang tangan si gadis.
“Lepaskan dia. Aku tak punya waktu untuk main-main dengan manusia sepertimu,” ucap Boas datar, nyaris malas.
Gadis itu menoleh dan wajahnya merekah seperti tomat ranum.
“Tuan Batu!?”
Mata para penjahat menyipit.
“Jadi lo kenal dia?”
“Iya. Dan kalau kamu nggak mau tubuhmu remuk, mending lepaskan aku sekarang juga,” jawab si gadis dengan nada bangga.
Salah satu dari mereka langsung menarik pistol dari pinggang dan menodongkannya ke arah si gadis.
“Kamu pikir kami takut?”
Wajah Boas tidak berubah. Malah semakin dingin. Dan itu berbahaya. Terlalu berbahaya.
“Kalian hanya punya dua pilihan,” katanya, suaranya tajam seperti bilah pedang. “Lepaskan dia dan pulang dengan kepala utuh, atau tetap pegang dia dan kalian semua akan kuterbangkan ke neraka sekarang juga.”
“Lo pikir lo siapa, Tuhan!?” bentak si bertato.
“Kurang lebih...”
“Kurang ajar!” Pria itu mengangkat pistolnya, mengarahkannya pada Boas dan langsung menarik pelatuk.
Dooor!
Tapi... waktu melambat. Pistol itu seolah bergerak dalam air. Dengan satu lambaian ringan, Boas menggeser arah tembakan itu—tepat ke kepala rekan si penembak.
Dooor! Dooor! Dooor!
Si pria itu—dikuasai oleh kekuatan Boas—tak bisa menghentikan jemarinya. Ia menembak teman-temannya satu per satu. Tiga mayat terkapar dengan darah merembes ke batu jalanan.
“Apa yang... aku lakukan... aku nggak bisa kontrol tanganku...!”
Napasnya terengah, tubuhnya bergetar. Ia menjatuhkan pistolnya tapi sudah terlambat.
“Aku sudah memberimu pilihan,” kata Boas pelan. “Tapi kamu menolak. Dan manusia bebal harus menerima konsekuensinya.”
Dengan satu jentikan jari, tangan pria itu kembali terangkat—pistol itu sekarang mengarah ke keningnya sendiri.
“T-tolong... jangan... aku mohon...”
Tapi mata biru Boas tak menunjukkan belas kasih.
Dooor!
Tubuh pria itu ambruk. Nyawanya melayang, dan kesunyian kembali mendominasi malam.
Boas melambaikan tangan, membuat si gadis muda terlelap agar tak melihat sisa kekejian itu. Ia mengangkat mayat-mayat itu dengan satu ayunan jari—melayang ke arah laut dan tenggelam tanpa jejak.
Beberapa menit kemudian, gadis itu terbangun.
“Tuan Batu? Mereka... mereka ke mana?” tanyanya polos, mengucek mata, seperti tak sadar ia nyaris tewas barusan.
“Pulanglah. Sebelum nasibmu ikut terkubur bersama mereka,” jawab Boas dingin.
“Ke mana mereka? Ke bulan? Atau ke bintang?” tanyanya sambil berjalan kecil mengimbangi langkah Boas. Tas sekolahnya bergoyang lucu seperti anak kucing bermain.
“Kamu tidak perlu tahu. Berapa kali harus kukatakan, jangan pulang malam, Gadis Kecil.”
“Aku harus cari uang dulu, Tuan Batu. Buat bayar sekolah...”
Gadis itu... Shena Pudma. Usianya tujuh belas tahun. Cantik. Rambut panjang. Mata bulat. Tapi hidupnya penuh kemalangan. Boas telah melindunginya sejak ia berusia tujuh tahun, sejak malam itu—malam ketika ibunya Shena dirampok dan dibunuh. Boas datang terlambat. Dan rasa bersalahnya masih mengendap sampai hari ini.
“Aku lapar... Para penjahat itu ambil semua uangku. Dari pagi cuma minum air putih.”
“Berhentilah memanfaatkan belas kasihku. Aku bukan ayahmu. Atau saudaramu.”
“Kalau begitu... jadikan aku saudaramu!”
“Aku tidak ingin terikat pada apa pun di dunia ini. Hubungan? Perasaan? Semua hanya beban dari kehampaan tak berujung.”
“Kalau begitu... bawa aku bersamamu.”
Boas mengerang pelan. Gadis itu keras kepala.
“Ini rotimu. Diamlah. Makan, lalu pulang. Jangan ganggu hidupku lagi.”
Ia menyerahkan beberapa potong roti hangat dari warung pinggir jalan. Shena langsung menyantapnya dengan lahap, seperti anak kucing yang baru diselamatkan dari hujan.
Boas melangkah pergi, membiarkan gadis itu di belakang. Tapi... untuk alasan yang tak pernah ia pahami, langkahnya terasa berat.
Di balik bahu lebarnya, suara riang Shena terdengar kembali—dengan tawa kecil yang membuncah di udara malam.
“Tuan Batu... bagaimana kalau suatu hari nanti aku jatuh cinta padamu?”
Boas berhenti. Tapi tak menoleh.
Dan langit mendadak terasa lebih sunyi dari biasanya..
Bantu like dan Vote ya Kakak
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Taufik Hidayat
owh ini raja yang membunuh sahabatnya sendiri (Torax) dan dikutuk oleh dewa
2023-08-28
0
Sari Sarmila
thor maaf..jgn boas thor bos aja biar enak baca nya
2022-10-04
0