Di ujung zaman, saat manusia telah melupakan dongeng dan menertawakan mitos, satu sosok masih tetap hidup—terkutuk dalam keabadian. Dialah Raja Pedro, kini dikenal sebagai Boas Agdan, berjalan di antara manusia, mengenakan topeng seorang pengusaha, tapi menyimpan jiwa seorang raja perang dari masa silam.
Siang itu, di kota Sukoi yang hiruk pikuk, sebuah mobil mewah berhenti mulus di pelataran gedung pencakar langit. Mobil itu bukan sembarang kendaraan—diproduksi terbatas, hanya segelintir manusia yang mampu memilikinya.
Pintu terbuka.
Seorang lelaki turun, mengenakan jas pastel yang disesuaikan sempurna dengan tubuhnya yang tegap. Sepatu kulit buaya berkilat membalut kakinya, mengisyaratkan kelas. Boas Agdan, sang CEO dari perusahaan penyedia layanan internet terbesar di kota itu, melangkah angkuh ke dalam lobi. Semua karyawan membungkukkan kepala. Tak ada yang berani menatap mata biru langitnya secara langsung.
Boas tidak membalas dengan senyuman. Tak ada sapaan, tak ada basa-basi. Ia hanya mengangguk kecil, nyaris tak terlihat, lalu lenyap di balik pintu kaca ruangannya—ruangan eksklusif yang tampak seperti ruang komando raja daripada kantor seorang pebisnis.
Pena emas di tangannya menari di atas tumpukan dokumen. Tanda tangan demi tanda tangan ia torehkan tanpa suara. Dua puluh menit kemudian, ia berdiri, mengenakan jasnya kembali, dan menghilang melalui pintu rahasia di samping ruangannya. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi setiap kali keluar dari sana.
Langkah kakinya membawanya ke jalan setapak, menuju pantai. Debur ombak menyapa telinganya. Ia duduk di atas batu besar, menutup mata. Damai. Inilah satu-satunya saat ia merasa... hidup. Tapi tidak hari ini.
Sayup terdengar suara lirih—teriakan minta tolong. Lamat-lamat, namun cukup tajam untuk menyusup ke telinganya yang tajam.
Dan dalam satu jentikan jarinya—tubuhnya lenyap dari tempat duduk itu.
Ia berpindah.
Kini, Boas berdiri di gang sempit yang dikenal sebagai sarang bajingan kampung. Seorang wanita paruh baya—penjual sayur—dikeroyok empat pemuda bertampang kriminal. Mereka merampas tas lusuhnya, menertawainya seperti serigala menggoda anak rusa.
"Berhentilah," suara Boas terdengar tenang, tapi penuh ancaman. "Empat pria mengeroyok seorang wanita tua? Kalian bahkan tak pantas disebut laki-laki. Mengapa tidak sekalian berganti kelamin saja? Memalukan."
Salah satu dari mereka, bertubuh kurus seperti paku payung berkarat, melangkah maju. "Ini bukan urusanmu, Tuan Sok Suci!"
Boas menyandarkan tubuh kekarnya di dinding toko, menyeringai dingin. "Krempeng, cari kerja yang layak, makan makanan yang benar. Biar tak terus-terusan cacingan."
Ucapan itu memicu amarah. Si krempeng mencabut pisau dari balik jaketnya. Dengan teriakan keras, ia melesat ke arah Boas.
“Hiaaaak!”
Gerakan Boas nyaris tak terlihat. Ia hanya memiringkan tubuh, membuat si krempeng terpeleset ke belakangnya. Saat ia berputar menyerang lagi, Boas menghindar seperti angin. Tidak cepat, tapi presisi—seolah tahu setiap gerakan sebelum terjadi.
“Baru segitu kemampuanmu?” ejek Boas. Ia mengambil sebuah timun dari lapak wanita tua itu dan memegangnya seperti belati. "Mari bermain dengan senjata yang adil."
"Ha! Lelaki gila!" Krempeng kembali menyerang.
Boas menghantam kepalanya dengan timun. Beberapa kali. Bunyi ‘thok’ yang lucu bercampur dengan erangan kesakitan si krempeng yang memegangi kepalanya, matanya berair.
Dua preman lain maju serentak, salah satunya membawa tongkat kayu. Tapi hanya dalam satu sapuan tangan, mereka terpental, tubuh mereka menghantam tanah seperti boneka kain.
“Aku malas mengotori tangan berharga ini untuk makhluk-makhluk kotor seperti kalian,” gumam Boas. Ia menjentikkan jari.
Keempat preman itu terhempas seperti ditarik angin badai, mendarat jauh di tengah jalan. Namun, Boas belum selesai.
Ia mencengkeram si krempeng dan membisikkan sesuatu.
“Kalau kau berani mengganggu wanita itu lagi, aku akan lemparkan tubuhmu ke penangkaran buaya. Dan biarkan mereka mengasah gigi dengan tulang-tulangmu.”
“Siapa kau, melarang-larang aku!?” si krempeng mencoba berani, tapi suaranya bergetar.
Dalam sekejap, dunia mereka berganti.
Kini mereka berdiri di tepi kolam penuh buaya lapar. Pemandangan gigi tajam dan mata hijau menyala menyambut mereka. Si krempeng kencing di celana. Tangannya gemetar.
“Siapa... siapa kamu sebenarnya…?” bisiknya dengan tubuh gemetar.
“Aku dewa penyelamat, kalau kau menjadi manusia. Tapi aku iblis pencabut nyawa jika kau tetap jadi sampah seperti ini.”
Boas mengangkat tubuh krempeng itu dengan satu tangan. Menggantungnya di atas kolam.
“Tubuhmu kurus. Dagingmu cuma cukup untuk mengganjal gigi buaya. Mereka mungkin lebih kecewa ketimbang kenyang.”
Ia menjentikkan jari. Mereka kembali ke gang. Krempeng itu gemetar, membungkuk pada wanita tua.
“Ibu… saya minta maaf. Saya tidak akan ganggu ibu lagi... saya... saya janji…”
Wanita itu hanya mengangguk pelan, tak percaya sepenuhnya. Aroma pesing dari celana si krempeng masih menyengat saat ia kabur bersama teman-temannya.
Boas memandang wanita itu, matanya lembut sejenak.
“Sampai kapan kau akan berjualan di tempat seperti ini?”
Wanita itu menatapnya, wajahnya keriput tapi sorot matanya tajam. “Menjalani hidup sebagai manusia itu tidaklah mudah, Tuan. Tapi aku tidak menyerah. Karena kalau aku berhenti, siapa yang akan beri makan cucu-cucuku?”
Boas diam, angin meniup jasnya perlahan. Lalu tanpa sepatah kata, tubuhnya menghilang begitu saja.
Wanita tua itu hanya menggeleng, tersenyum kecil. Ia mulai merapikan dagangannya. Hari sudah siang. Anak-anak dan cucunya pasti menunggu makanan untuk mengganjal perut.
“Aku akan menjadi dewa penyelamat… atau iblis pencabut nyawa,” ucap Boas. Tapi bahkan dirinya pun tahu—kutukan abadi itu belum selesai menagih harga.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Budi Efendi
lanjutkan thorr
2024-05-12
0
Albertus Sinaga
saling kenal
2023-10-24
0
Shai'er
kok...... 😳😳😳😳😳
2023-09-29
0