Dua hari kemudian setelah malam itu. Alice menatap langit-langit kamarnya. "Mungkin aku sedikit ceroboh waktu itu. Tapi...kurasa aku berhasil meyakinkan mereka."
Di malam itu beberapa detik sebelum Andrew melepaskan [ Javelin ] miliknya. Alice telah menguatkan tubuhnya dan melindungi dirinya dengan energi Qi yang lebih padat. Disaat serangan Andrew menghantam tubuhnya dan melemparkan debu hingga mengepul. Alice memukul dadanya dengan teknik khusus yang membuat ia seolah-olah terluka oleh serangan Andrew.
"Aku merusak beberapa meridian ku hanya untuk bersandiwara."
Ketika debu yang menghalangi pandangan mereka mulai menghilang. Alice dengan mulut yang sedikit berdarah dan tubuh yang kaku tak bergerak membuat teman dan pengawalnya sangat khawatir.
"Aku tidak menyangka kau akan menangis seperti ini." Benaknya saat ia mendengar isak dan deru tangis Tina. "Untukmu ksatria bodoh. Aku akan berurusan denganmu nanti."
Samar-samar Alice bisa merasakan adanya dua orang yang muncul di tempat itu dan berdasarkan cerita Tina, Andrew dibawa pergi oleh dua orang pria berjubah yang tak di kenal. Tina sendiri telah melaporkannya pada salah seorang guru. Namun berdasarkan reputasi Andrew yang sangat baik di mata umun dan Alice yang bertolak belakang dengannya, membuat sebagian besar orang tidak percaya.
Karena itu dengan bantuan Leon dan juga nama Strongfort. Andrew hanya bisa di jatuhi hukuman ringan dari pihak akademi.
"Nona...? Nona!" Mary berlari menghampiri Alice setelah ia masuk ke kamar dan melihat Alice telah sadar di atas ranjangnya. "Bagaimana keadaan nona? Apa nona sudah merasa lebih baik?" Tanya Mary penuh kecemasan.
"Iya...Sudah mendingan. Terimakasih sudah merawat ku." Balas Alice dengan senyuman hangat.
"Syukurlah. Apa nona lapar? Haus? Bagaimana kalau aku ke kantin dan membawakan nona makanan?"
Alice tertawa melihat tingkah Mary. Dia terdengar hampir sama seperti ibuku.
"Nona..?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Aku hanya bahagia melihat mu lagi"
Jawaban Alice membuat Mary tersentuh dan tersipu.
Ketika senja telah tiba dan kelas telah berakhir. Seperti biasa, Tina segera merapikan peralatan belajarnya dan menjenguk Alice.
Tina masih menyimpan rasa bersalah di hatinya. Seandainya waktu itu mereka benar-benar tidak bertemu dan berteman mungkin Alice tidak akan mengalami kejadian itu.
Dengan wajah sedikit kusut dan hati yang gundah Tina menaiki tangga menuju kamar Alice. Ia lalu membuka pintu dan air mata bahagia begitu saja mengalir dari sela-sela matanya.
"A-Alice..." Tina lalu memeluk Alice dengan erat dan meminta maaf.
Baik, pemaaf dan loyal. Mungkin sifatnya yang lembut itulah yang membuat Alice menyukainya dan memilihnya menjadi teman pertamanya.
Alice menepuk-nepuk punggung Tina. "Sudah, sudah. Aku sudah tidak apa-apa. Lagipula itu juga bukan salahmu."
Mendengar Alice menerima permintaan maafnya. Dada Tina merasa lebih lapang.
"Jadi... bagaimana keadaanmu?"
Alice melebarkan tangannya kesamping dan tersenyum "Seperti yang kau lihat. Aku sudah lebih baik. Mungkin besok pun aku sudah bisa kembali belajar."
"Sungguh? Apa kamu yakin?"
"Iya."
Tina merasa bahagia dan mereka pun menghabiskan sore itu dengan cemilan dan cerita.
~
Leon menatap jendela kamar Alice dari bawah. Ia sudah tahu kalau Alice telah siuman, namun ia masih sangat canggung untuk bertatap muka dengannya. Lebih tepatnya ia tidak tahu harus berkata apa dengan kegagalannya.
Semenjak Alice tidak sadarkan diri, Leon kesulitan berkonsentrasi saat latihan di malam hari. Tidak seperti biasanya, ia merasa kalau pedangnya jadi lebih berat dan sulit untuk diayunkan.
Hari demi hari ia terus menatap jendela kamar itu tiap malam dan akhirnya tibalah ia mengumpulkan keberaniannya dan segera melompat masuk ke dalam kamar Alice.
"Akhirnya kau datang juga. Aku sudah lelah menunggu mu." Kata Alice dengan nada dingin menyambut kehadirannya.
Leon bingung dan tak tahu harus menjawab apa.
"Mary. Bisakah aku meminta tolong padamu?"
"Ya nona?"
"Aku ingin kau berbalik dan maju tiga langkah."
Mary bingung. Untuk pertama kalinya ia mendapat perintah yang aneh. Mary berjalan tiga langkah dan membelakangi mereka sesuai keinginan Alice. "Aku tidak tahu apa yang ingin dilakukan nona. Jika itu rahasia, bukankah aku lebih keluar?" Benak Mary.
Suasana hening meliputi ruangan itu. Leon dengan kepala menunduk menunggu untuk Alice membuka mulutnya.
"Apa ada yang ingin kau jelaskan padaku?" Masih dengan nada datar dan dingin. Senyum manis di wajah Alice benar-benar hilang saat ia bertanya pada Leon.
"Maafkan saya nona. Sungguh saya minta maaf atas kesalahan saya."
Kembali hening untuk sejenak sebelum Alice kembali bertanya.
"Apa hanya itu?"
Hanya itu? Lantas apa lagi? Leon tidak lagi mengharapkan banyak hal jika sampai Alice melapor ke ayahnya dan membuatnya di keluarkan. Leon tahu bahwa itu memang kesalahannya dan mungkin itulah hukuman yang cocok untuknya.
"Saya Lalai dalam tugas saya. Saya tahu dengan kemampuan saya, mungkin saya tidak cocok untuk melindungi nona. Jika seandainya nona meminta saya kembali atau nona ingin melapor pada-"
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Sesuatu yang amat berat seolah menghantam tubuhnya dari atas dan menekannya ke bawah.
Dalam keadaan bertekuk lutut karena tak sanggup berdiri serta dada yang sesak tiba-tiba. Leon tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Ia penasaran. Apakah Alice dan Mary baik-baik saja. Leon pun mengangkat kepalanya dan melihat Alice. Seketika kedua mata mereka saling bertemu.
Tatapan dingin dan kelam itu seperti benar-benar tak menganggapnya sebagai seorang manusia. Tatapan mendominasi itu membuat bulu kuduknya merinding dan spontan ia kembali menundukkan kepalanya. Leon hanya mendapatkan rasa takut, seolah ia bertemu dengan pemangsa yang mengerikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 306 Episodes
Comments