Bab 13. Papah Pulang

Aku sampai di rumah ketika matahari mulai terbenam. Saat membuka pintu Aku mendengar suara ramai dari dalam.

"Assalamu'alaikum," ucapku sambil membuka sepatu.

"Wa'alaikumsakam." Suara itu adalah suara yang sudah hampir dua minggu tidak Aku dengar. Dia berdiri di sana, dan merentangkan tangan. Aku berlari ke pelukan papah.

Papah, selama ini pergi ke luar kota karena ada pekerjaan. "Papah, kapan datang?" Aku duduk di samping papah sambil merangkul tangannya. Beginilah Aku, jika sudah di dekat Papah Aku akan menjadi manja.

"Tadi siang. Kamu dari mana, jam segini baru pulang?" tanya papahku. Aku melihat Mamah, apakah mamah sudah cerita atau belum masalah kejadian itu.

"Sakira sudah izin sama Mamah, pergi ke rumah Pak Haji, kenalannya Santi yang mungkin bisa menolong Sakira" jawabku pada Papah.

"Mamah, sudah cerita apa yang terjadi pada Papah, setelah kejadian itu Mamah juga menelepon Papah. Terus sekarang bagaimana hasilnya?" tanya Papah kembali sambil merangkulku.

"Kata Kakek, ini semua gara-gara kalung ini." Aku menunjukkan kalung yang ku pakai pada Mamah, Tiara dan Papah.

"Kalung apa itu, Kak?"

"Sakira, menemukan kalung ini saat kemah di hutan pinus."

"Kak, peraturan pertama saat berkemah, atau mendaki itu jangan membawa pulang barang yang di temukan di sana. Itu sudah merupakan peraturan tidak tertulis." Masa, sih. Aku kok, nggak pernah dengar, ya?

"Tahu dari mana? Kaya lo, pernah mendaki aja?" Dari mana adikku tahu peraturan seperti itu, mendaki juga belum pernah.

"Tiara, memang belum pernah mendaki tetapi, teman-teman Tiara, banyak yang sudah pengalaman mendaki!"

"Sudah jangan berdebat lagi! Terus, sekarang kalung itu harus di apakan?" Papah bertanya padaku.

"Sakira harus mengembalikannya ke tempat semula." Aku menjelaskan pada orang tuaku dan Tiara.

"Maksud kamu ke hutan pinus langsung?" Aku memgangguk mejawab pertanyaan mamah.

"Harus ke sana langsung dan tepat di mana Aku menemukannya. Tidak boleh sembarangan simpan!" ucapku lebih jelas lagi.

"Kapan?"

"Apanya?" Aku balik bertanya pada Papah karena Aku memang tidak mengerti maksudnya.

"Kapan kamu harus ke hutan pinus?" tanya papahku lebih jelas.

"Lebih cepat lebih baik."

"Ya sudah, kalau begitu lusa kita berangkat. Papah akan antar kamu. Besok Papah harus ke kantor dulu untuk menyerahkan laporan hasil tugas Papah."

"Iya, Pah."

"Apa tidak lebih baik, kamu buka saja kalung itu?" tanya mamah padaku.

"Justru kalau dibuka Sakira takut hilang."

"Mamah, takutnya nanti Pocong itu datang lagi, dan membahayakan kamu."

"Tidak Mah. Pocong iu hanya ingin kalung ini di kembalikan. Oh iya, Sakira lupa! Besok Kakek katanya mau datang ke sini. Sakira sudah minta pada Kakek untuk memagari rumah ini dari makhluk halus."

"Dipagari bagaimana? Itu 'kan sudah ada pagarnya." Mamah rupanya tidak mengerti maksudku.

"Bukan pagar itu, Mamah! Maksudnya pagar gaib untuk makhluk gaib." Aku menjelaskan pada Mamah.

"Oh, ada ya pagar gaib? Mamah baru tahu." Mamah malah terkekeh. Jangankan Mamah, sebenarnya aku juga baru tahu.

"Apakah orang ini bisa di percaya?" tanya papah padaku.

"Bisa, Pah." Aku kemudian menceritakan apa yang Ku alami di rumah Pak Haji. Aku juga menceritakan sosok Wawan yang koma dan roh nya bergentayangan.

Setelah bercerita kepada mereka, Aku lalu masuk kamar dan mandi. Tubuhku terasa lengket.

Setelah mandi kami sholat magrib berjamaah dan makan malam. Saat Aku sedang makan, Aku merasa geli di betis kaki, reflek Aku mengusapnya tapi, kok ada yang panjang. Apa ini?

Aku melihat ke bawah, Astagfirullah i-itu apa? seperti jari, tangan hijau dan bersisik.

"Aaa!" spontan Aku bangun dan berteriak. ihh ... apa itu, ya Allah seram banget?

"Ada apa Sakira?"

"A-ada tangan, pah."

"Tangan apa? Di mana?"

"Di kolong, ada tangan hijau pegang-pegag kaki Sakira."

Papah kemudian melihat ke kolong mejaku. "Tidak ada apa-apa Sakira."

"Tadi ada Pah, di sana." Aku menunjuk ke kolong meja.

"Tidak ada Kira, coba sini kamu lihat!" Papah melihat kemvali ke kolong. Aku pun mendekati meja dan melihat ke kolong.

Benar tidak ada apa-apa. Lalu tadi itu apa? Apakah itu nyata atau ilusiku saja.

"Ayo Sakira, makan lagi." Mamah menyuruhku meneruskan makan. Dengan hati yang gundah aku kembali makan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!