Bab 12. Kalung Pocong

Sebelum di buka mata batinku, kakek itu memberi nasihat padaku.

"Jika kau melihat makhluk gaib, banyaklah berdzikir, jangan sampai pikiranmu kosong."

"Iya, Kek."

"Kakek akan membuka mata batinmu untuk sementara, nanti kau tidak akan kuat kalau lama-lama." Kakek benar aku bisa mati ketakutan kalau bisa melihat hantu terus.

"Iya, kek!"

Kakek lalu menyuruhku berdiri, dia membaca doa dan berdiri di belakangku. Aku merasa hangat dari atas kapala sampai punggung. Mataku terpejam, lalu aku merasakan wajahku dan dadaku terasa hangat.

"Buka matamu!" Aku membuka mata. Sebelumnya aku membaca surat Alfatihah.

"Apa yang kau lihat?" tanya Kakek itu padaku.

Aku tidak melihat apa pun. Apakah ritualnya gagal? Aku melihat ke sana ke mari tidak ada apa pun.

"Tidak ada Kakek," jawab ku.

"Kamu mekihatnya ke luar jendela, karena di rumah ini sudah di pagari, sehingga makhkuk halus tidak akan ada yang mau masuk ke dalam." Oh, jadi begitu. Berarti rumahku juga bisa dipagari agar pocong itu tidak masuk ke dalam rumah. Nanti akan aku pinta pada Kakek.

Kemudian aku melihat keluar jendela. Wow ... aku langsung menutup wajahku dengan ke dua tangan. Sungguh pemandangan yang ku lihat bagai aku berada di dunia lain sangat menakutkan.

Berbagai macam makhluk gaib terlihat, mereka berlalu lalang. Wujudnya ada yang menyerupai seperti kita hanya nampak lebih pucat. Ada juga makhluk-makhluk yang sudah biasa di mitoskan, seperti Kunti mungkin, karena pakaiannya putih, rambutnya panjang menutupi muka.

Aku juga melihat pocong tapi berbeda bukan pocong yang biasa mengikutiku. Nampak juga hantu anak-anak yang berlari ke sana dan ke mari.

"Mereka tidak dapat kau lihat dengan mata biasa karena berbeda dimensi dengan kita."

Aku tidak bisa berkata apa-apa, buluku masih merinding. Aku menatap Santi. "Apa kau melihat apa yang ku lihat?"

"Iya, aku melihat ini setiap hari tetapi tidak pernah sebanyak ini. Sepertinya di sini ada perkampungan gaib."

"Memang benar, di sini ada perkampungan gaib."

"Kakek maaf, apakah kakek bisa memagari rumah saya agar pocong itu tidak masuk ke dalam rumah dan meneror saya,"

"Baik, akan Kakek pagari besok. Kakek harus menyiapkan bambu kuning juga segala macamnya."

"Iya, Kek. Lalu apakah Kakek bisa tahu kenapa dia menerorku?"

"Baik, sekarang, Kakek akan berkomunikasi dengan pocong itu."

Aku melihat Kakek mulai memejamkan mata, sekitar lima menit kemudian dia membuka matanya kembali.

"Dia marah padamu karena kamu telah mengambil kalung miliknya."

"Kalung? Kalung apa? Aku tidak tahu maksud Kakek?" Aku memang tidak tahu kalung apa yang di maksud.

"Kalung yang kau ambil ketika, kau pergi berkemah." Aku ingat sekarang, kami memang berkemah di Bogor, di hutan pinus.

"Kami memang baru pulang berkemah, dan aku menemukan kalung ini, di dekat pohon pinus saat mencari kayu bakar." Aku mengeluarkan kalung yang kupakai.

"Kau harus mengembalikannya."

"Baik, Kek." Aku melepas kalung yang ku pakai, aku juga tidak mau memakainya jika mengundang kemarahan pocong.

"Ini, Kek." Aku berikan kalung itu oada Kakek.

"Bukan dikembalikan pada saya, tetapi pada pocong itu. Dia minta agar kamu kembalikan ke tempat di mana kamu menemukannya."

"Hah." Aku tercekat, yang benar saja. Mengembalikan ke hutan pinus?

"Maksudnya, aku ke hutan pinus Kek?"

"Iya, dan letakkan kalung itu di tempat kau menemukannya. Harus tepat di tempat itu."

"Aku mana ingat Kek, aku lupa semua pohonnya sama. Aku juga baru sekali ke sana." Bagaimana ini aku lupa lagi tempatnya?

"Usahakan saja dulu. Siapa tahu begitu sampai sana kamu ingat tempatnya. Kamu harus melakukannya agar Pocong itu tidak mengganggumu."

"Baiklah, Kek. Nanti saya akan ke sana."

"Harus secepatnya, atau dia akan terus menerormu."

"Iya, Kakek."

"Ada seseorang yang ingin menemuimu. Karena itu Kakek membuka mata batinmu."

Seseorang menemuiku, siapa? Pasti hantu.

"Siapa Kek?" tanyaku penasaran.

"Masuklah aku sudah ijinkan kau masuk." Kakek itu sepertinya berbicara dengan makhluk gaib, karena matanya melihat ke pintu.

Tiba-tiba aku melihat Wawan. Dia terlihat pucat tapi dia tersenyum padaku.

"Wawan!"

"Wawan? Mana?" tanya Sonia sambil tengok kanan dan kiri mencari Wawan. Dia tidak dapat melihatnya.

"Apa kabar Sakira?"

"Baik, Wan. Kamu?"

"Aku merindukan kalian, dan aku ingin kembali ke tubuhku."

"Kenapa kau bisa seperti ini, Wan?"

"Karena pocong itu, dia merasa aku menginginkan kalung itu. Karena saat itu aku ingin mengerjaimu dengan menarik kalung itu dari belakang. Dia marah dan mendorong kursiku." roh Wawan menjelaskan padaku.

"Maafkan aku Wan, karena aku ... kau jadi seperti ini." Aku sungguh merasa bersalah.

"Aku tidak menyalahkan mu, kau pun tidak tahu. Aku minta kau hati-hati padanya. Kau tidak usah takut aku akan menemanimu. Aku tahudi mana tempat itu berada."

"Benarkah? Aku sendiri sudah lupa Wan."

"Kamu itu memeng tidak pernah tahu tempat. Aku yakin kalau ke sekolah pun naik motor sendiri, kau pasti tidak akan tahu jalan." Wawan benar, aku memang payah mengingat jalan atau tempat.

"Kamu Wan, jadi roh saja masih bisa ledekin aku."

"Kebahagianku adalah melihat wajahmu yang kesal karena aku. Aku tidak akan kesepian asal ada kamu."

"Ya Allah, masih sempat-sempatnya gombal!" Santi menepuk jidatnya sendiri. Aku hanya terkekeh, dasar si Wawan sifat nyebelinnya dia bawa sampai ke dunia lain.

"Kalian harus secepatnya sampai di sana! Dan kembalikan kalung itu lalu kalian pulang lagi. Semoga Wawan juga bisa kembali ketubuhnya." Kakek menyela pembicaraan kami.

"Iya, Kek."

"Sekarang Kakek akan tutup kembali mata batinmu."

"Tunggu sebentar, Kek!" Aku minta waktu pada Kakek sebentar, karena ingin melihat Wawan.

"Wan, kamu boleh dekat-dekat aku, berada di sekitar aku tapi, aku mohon kamu hormati privasi aku ya! Contohnya ke kamar mandi, atau ketika aku ganti baju. Please jangan diintipin, ya!" Aku kan tidak bisa melihat Wawan. Nanti kalau aku lagi mandi, tidak tahunya Wawan sedang di kamar mandi melihatku.

"Sekarang aku sudah siap Kek!"

Aku memejamkan mata dan mulai merasakan dingin dari bawah ke atas.

"Sudah." Aku membuka mata setelah mendengar kakek.

Aku melihat sekeliling sudah tidak ada Wawan, atau sebenarnya dia masih di sini tapi, aku yang tak dapat melihatnya.

"Terima kasih Kek."

"Sama-sama."

Aku kemudian pamit undur diri. Kami bertiga lalu pulang. Aku memberikan amplop kepada Kakek.

"Maaf, Kek ini ada titipan dari Mamah untuk Kakek. Mohon di terima."

"Oh, iya titipan saya terima. Sampaikan pada Mamah kamu terima kasih dari Kakek."

"Iya Kek. Assalamualaikum." Kami lalu mencium tangan Kakek dan pergi dari rumah itu.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Asri

Asri

oh...gitu toh ,duh wawaaannn.....kok malah aku yang jadi GeEr ,hehehe🤭

2022-06-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!