Bab 7. Santi Indigo

Aku menunggu dokter keluar dengan perasaan was-was, Mamah dan Tiara sedang bersama Mamahnya Wawan. Aku berdiri di samping Sonia. Tadi Sonia cerita mengenai kejadian yang menimpa Wawan.

Sonia mengatakan, kalau sepulang sekolah Wawan katanya mau ekskul, dia ada di ruangan music. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Karena ekskul hanya sebentar dan semua sudah pulang.

Saat pak satpam sedang mengontrol sekolah dan mengunci semua pintu. Dia melihat ada cahaya dari ruang music. Begitu di lihat ternyata ada Wawan. Pak Satpam menghampiri nya, dan dia sangat terkejut karena Wawan sudah pucat serta tidak bernafas. Pak Satpam langsung memanggil ambulance dan menelepon kepala sekolah.

Begitu kata Sonia padaku. Berarti saat kejadian tersebut aku masih berada di sana. Aku tidak menemukan sesuatu yang aneh atau suara yang berisik. Aku justru bertemu Wawan dan pulang bersama Wawan.

Pak Satpam menemukan Wawan setelah aku pulang. Sungguh ini tidak masuk akal, tetapi aku tidak bercerita kepada siapa pun kalau aku pulang bersama Wawan.

Namun, aku ingat Wawan memang terlihat pucat dan pandangannya tajam. Badannya juga dingin. Aku berpikir penjelasan yang masuk akal, tapi semua yang terjadi tidak masuk akal.

Tiba-tiba pintu ruangan Wawan terbuka, aku segera mendekati dokter. Mamah Wawan juga demikian.

"Maaf, Bu. Jantungnya Wawan mungkin berdetak, tetapi tidak ada respon apapun dari Wawan."

"Tadi pun begitu datang, pasien dalam keadaan sudah tidak bernyawa, tapi beberapa detik kemudian jantungnya berdetak kembali, kemudian di pindahkan ke kamar perawatan, jantung pasien kembali berhenti berdetak, namun tadi beberapa menit kemudian pasien kembali bernafas."

"Ini sungguh suatu keajaiban, belum pernah ada pasien yang seperti ini. Saya pun tidak bisa menjelaskannya. Saat ini bisa di bilang pasien dalam keadaan koma."

"Saya minta kepada kalian jangan terlalu banyak yang menjenguk dia, masuk bergantian dua orang-dua orang. Jangan terlalu lama ya."

Dokter menjelaskan panjang lebar. Jika dokter saja bingung apalagi aku.

Mamah Wawan menangis dalam pelukan Mamahku. Di satu sisi aku lega karena Wawan masih hidup tapi di sisi lain aku sedih karena Wawan mengalami koma.

Aku lihat dokter pergi meninggalkan kami, mamah wawan dan mamahku masuk lebih awal. Hanya lima menit kami diberi waktu di dalam. Aku akan masuk yang terakhir.

Aku menunggu teman-temanku menjenguk, saat Santi akan masuk aku menahannya. Aku ingin masuk bersama Santi.

Aku merasa, dia mengetahui sesuatu yang orang lain tidak tahu. Dari gelagatnya, dia seperti orang yang ketakutan.

"Lo, masuknya sama gue aja, San." Santi terlihat bingung, akan sikapku.

"Sonia lo duluan aja masuknya, rumah lo kan jauh." Sonia setuju dengan ideku.

"Oh, oke." Sonia masuk ke dalam.

"San, Nggak apa-apa 'kan kalau masuknya bareng gue?"

"Baru nanya?" Sonia terlihat ketus. Wajar sih secara aku sudah menahan dia.

"Maaf, gue ada penting sama lo."

Kami berdua terdiam, hanya memperhatikan teman-teman yang keluar dan masuk kamar Wawan.

Akhirnya tiba juga giliran kami. Aku dan Santi masuk ke dalam dengan bergandengan tangan. Tepatnya aku yang menggandengnya, entahlah aku merasa takut.

Tangan Santi terasa dingin dan basah. Aku menatap wajahnya bola matanya tidak bisa diam fokus pada titik, seperti orang yang geliasah.

Santi terlihat seperti menahan nafasnya beberapa detik. Aku alihkan pandanganku pada pasien yang tengah terbaring.

Pria tengil yang suka menggodaku, pria nyebelin tapi menghibur dan baik hati. Kini dia terbaring tidak berdaya.

"Jangan menangis, aku benci!" Aku usap bawah mataku, benar ini air mata. Tunggu dulu! Apa itu? Aku mendengar suara bisikan di telinga kanan. Suara seorang laki-laki.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling tidak ada siapa pun, hanya Santi. Tidak mungkin Santi yang berbisik selain suara cowok, Santi berada di sebelah kiriku.

"Lo nggak akan bisa melihatnya!" Aku langsung melihat Santi. Apa maksud perkataannya?

"Maksud lo, melihat apa?" tanyaku.

"Seseorang yang baru saja berbisik." Mataku mendelik tidak percaya, Santi mengetahui ada yang berbisik di telingaku. Apakah, dia juga mendengarnya? Atau bahkan, mungkin melihatnya?

"Lo, lihat?" tanyaku penasaran.

"Iya," Benarkah? Jika Santi bisa melihatnya, kenapa, aku tidak?

"Kenapa, aku tidak bisa melihatnya?"

"Karena dia, tidak kasat mata."

"Berarti, lo bisa melihat makhluk tak kasat mata. Lo, punya indra keenam? Lo, indigo?"

"Benar aku Indigo." Pantas saja dia selalu terlihat ketakutan mungkin dia melihat sesuatu yang menyeramkan. Aku pun tidak akan sanggup melihatnya.

"Apa yang lo lihat?"

"Pocong dan Wawan."

"Apa?" Sungguh aku tidak salah dengar 'kan!

Aku tidak bisa berkata-kata. I'm speechless, aku hanya terpaku beberapa detik. Aku tidak ingin bertanya lagi.

Aku mendekati Wawan, aku menatapnya. Sungguh otakku sepertinya tidak bisa mencerna kata-kata Santi.

"San, sekarang dia ada di mana?" Aku bertanya tanpa melihat ke arahnya.

"Wawan, berdiri di samping lo."

"Tadi dia kan yang bisikan gue?"

"Iya."

Aku menatap Wawan, benarkah kini roh Wawan gentayangan? Tapi jasadnya masih terbaring di sini. Jantungnya masih berdetak.

" Wan, bagaimana bisa seperti ini?"

"Takdir." Aku mendengarnya, Wawan berbisik lagi.

Aku ingin bertanya mengenai sosok lain yang ada di sini, tapi aku takut. Sudah tidak aneh jika di rumah sakit ada hal seperi itu.

"Maaf, dek tapi jam jenguk sudah habis." Perawat datang mengingatkan kami.

"Wan, aku pulang dulu ya. Besok aku ke sini lagi. Cepat sadar Wan, gue kangen."

"Sama." Oh Tuhan, sekarang gue bicara sama makhluk halus.

"Assalamu'alaikum." Aku pamit

keluar ruangan, Santi masih di dalam. Mungkin dia sedang berbicara dengan Wawan.

Tiga menit kemudian Santi keluar.

"San, aku mau bicara," ucapku begitu dia keluar dari kamar Wawan.

"Sakira, ayo kita pulang, sudah malam!" Aku lupa, mamah dan adikku. Sepertinya aku tidak bisa bicara sekarang dengan Santi.

"Nanti gue telepon, lo. Gue, pulang dulu, ya." Santi tidak menjawabku, hanya mengangguk.

"Nak Santi, pulang sama siapa? Mau sekalian bareng?" tanya Mamahku.

"Terima kasih, Tante. Aku ada supir kok Tante."

"Ya, sudah kalau begitu, Kami duluan ya. Hati-hati di jalan."

"Iya, Tante. Makasih."

Kami pun pamit pada orang tua Wawan. Aku melangkah diliputi rasa khawatir dan takut, jika pocong itu dan Wawan mengikuti ku.

Kami masuk ke dalam mobil, Aku duduk di belakang sendiri. Mamah dan Tiara di depan.

Mobil pun berjalan perlahan keluar parkiran rumah sakit kemudian melaju di jalan raya. Netraku melihat jalan dari jendela mobil. Lalu aku melihat ke depan, tanpa sengaja aku melihat kaca spion tengah.

"Aaaa!" Astagfirullah ... Astagfirullah ... Allahuakbar ... aku tutup wajahku dengan kedua tangan.

"Sakira! Jangan ngagetin Mamah. Alhamdulillah Mamah masih bisa mengendalikan mobil. Bagaimana kalau tiba-tiba Mamah menginjak rem? Kan bahaya!"

Aku tidak perduli mamah bilang apa? Aku tidak ingin membuka tanganku. Aku melihat sosok itu duduk di sampingku. Aku bahkan tidak berani menyebutkan namanya.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Asri

Asri

ya Allah Wawan 😭 apa karena pocong itu Wawan seperti itu

2022-06-19

2

Hime Yuli

Hime Yuli

semangat kak

2022-06-17

1

🤗🤗

🤗🤗

go go go .

2022-06-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!