10. Mencari Orang Pintar

"Panggil Bu Dokter, Nan," ucap Bu Indah menepuk bahu Dita.

"Jangan Bu Dokter! Panggil saja saya Tante Dewi," ucapnya tersenyum lalu dia memiliki ide untuk Dita.

"Ummm ... kamu bisa membayar hutang biaya pengobatan Ali dengan mudah, kok," ucap Tante Dewi.

"Caranya? Terus saya harus cicil hutangnya berikut bunga ya, Tante?" tanya Dita dengan raut wajah masih kebingungan tak mengerti.

"Kan, saya bilang dari tadi kalau saya bukan rentenir. Siapa tadi nama kamu, Neng?" tanya Tante Dewi.

"Namanya Anan, Bu Dokter," ucap Ibu Indah menyela.

"Jangan panggil Anan, Tante! Panggil Dita aja, Tante. Aku nggak mau dipanggil Anan lagi ya, panggil Dita aja," pinta Dita yang bergidik saat membayangkan wajah Anan.

"Memangnya kenapa, Nan?" tanya ibunya Dita tak mengerti.

"Ah, pokoknya panggil Dita aja, Bu. Soalnya ada cowok namanya Anan dan dia nyebelin banget. Aku nggak mau disama-samain namanya ama dia," ucap Dita.

"Halo, saya masih di sini loh. Jangan cuekin saya," ucap Tante Dewi lalu teringat dengan nama keponakannya, "siapa tadi nama cowoknya, Anan? Kok, mirip sama keponakan saya?"

"Eh, maaf Bu Dokter bukan begitu maksudnya nyuekin Bu Dokter. Keponakan Tante pasti cakep, nggak kayak cowok nyebelin itu," sahut Dita dengan melayangkan senyum sungkan.

"Iya, Bu Dokter, nggak ada maksud nyuekin," sahut Bu Indah.

"Ummm … tadi gimana caranya saya bisa membayar hutang biaya perawatan Ali ini, Tante?" tanya Dita.

"Kamu kalau bekerja di rumah saya, mau? Jadi asisten saya buat siapin semuanya keperluan saya," ucap Tante Dewi.

"Kalau begitu aku mau Tante, mulai kapan?" tanya Dita lagi mulai antusias. 

"Nanti saya buat surat perjanjiannya dulu ya. Saya ambilkan kartu nama saya. Nanti kamu ke alamat rumah saya hari Minggu jam sembilan pagi," ujarnya.

"Baik, Tante Dokter. Eh, Tante Dewi." Dita tersenyum sumringah.

...***...

Pagi itu di SMA Abadi, Dita hampir saja berpapasan dengan Anan, tetapi gadis itu langsung menghindar. Dita merasa tidak enak badan jika sedang datang bulan. Hormon wanitanya pasti akan langsung menaikkan tingkat emosionalnya. Tak ingin hal itu meledak, Dita memilih untuk menghindari Anan kala itu.

"Kenapa tuh cewek kayak lagi lihat hantu aja? Eh, tapi emang belakangan ini gue sering lihat hantu perempuan di rumah gue. Hadeh, nggak nyambung juga sih. Bodo amat lah!" gumam Anan.

"Wow, bengong aja!" Devon menepuk bahu Anan mengejutkannya.

"Kuntilanak sawan!" teriak Anan saking terkejutnya.

"What?! Hahaha... gimana tuh kalau kuntilanak sawan, ya? Aneh, luh!" cibir Devon.

"Sial luh, Von! Gue tuh belakangan ini sering lihat penampakan kuntilanak makanya gue–"

"Takut, kan? Ngaku aja deh kalau elu takut, iya kan?" Devon memotong pembicaraan Anan.

"Bisa nggak sih ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Bikin harga diri gue jatoh aja." Anan merangkul leher Devon dan memitingnya.

"Aduh, ampun ampun! Lagian harga diri elu jatoh ke mana?" tanya Devon.

"Udah ah, gue males ngobrol sama elu," ucap Anan.

"Elu mau ketemu orang pinter, nggak?" tanya Devon.

"Orang pinter yang mana? Bukannya di sini banyak orang pinter?" tanya Anan dengan polosnya.

"Dodol! Maksud gue itu dukun. Elu mau nggak konsultasi sama dia?" Devon memberikan saran.

"Dukun? Masa sih gue harus percaya sama hal kayak gitu?" Anan mengernyitkan dahi.

"Coba dulu, siapa tau dia bisa bantu elu."

Anan masih mencerna tawaran dari Devon. Tiba-tiba, sosok pemuda keturunan Amerika datang menghampiri Anan. Rambutnya dicat keperakan.

"Hai, whats up guys!" sapa pria bernama Shane itu.

"Gue nggak pakai whatsapp gue pakai telegram sekarang," sahut Devon.

"Sekarang elu yang dodol, Von!" Anan menjitak Devon. Shane sampai tertawa dibuatnya.

"Gue bercanda tau. Wuidih, rambut baru nih," ucap Devon pada Shane.

"Iya dong. Keren kan rambut gue?"

"Hahaha iya keren, kayak manusia silver yang di lampu merah," cibir Anan.

"Hahahaha, lucu banget kamu, Nan," tuding Shane.

"Garing banget, luh. Gue cuma begini doang sama Devon udah ketawa aja luh, Shane."

"Oke oke oke. Eh, gue mau ngajak party nanti malam. Mau pada ikut nggak?" tanya Shane.

"Males ah, gue mau ikut Devon ketemu orang pinter," sahut Anan.

"Orang pintar? Anak sini?" Shane sampai menggaruk kepalanya.

"Bukan anak sini. Ini orang pinternya beda," ucap Devon.

"Apa sih maksudnya kalian? Orang pinter itu siapa?" tanya Shane lagi.

"Pokoknya orang pintar yang pintar sekali. Orang pinter minum tolak bala," ucap Devon.

"Garing luh, Von! Udahlah kita masuk ke kelas aja!" ajak Anan.

***

Di kelas Dita dan Anita berlangsung ulangan harian matematika. Anita sedari tadi malah sibuk bertanya jawaban pada Dita.

"Ta, nomor dua belas jawabannya apa?" bisik Anita yang duduk di samping kiri Dita.

"Kamu cari sin dari empat puluh lima derajat, Nit," bisik Dita.

"Carinya di mana? Aku nggak bawa itu sini," sahutnya lagi.

"Hadeh, rumus Nit, hapalin catatan sinus, cosinus, tangen."

"Au ah, Aku minta jawabannya aja, please ... pusing aku nih. Satu soal lima ribu deh," ucap Anita.

"Nit, aku nggak mata duitan ya. Tapi boleh deh lumayan buat jajan," ucap Dita.

"Bu guru, Anita mau nyontek sama Dita!" Ratih yang duduk di belakang Anita, menunjuk ke arah Anita yang berusaha mencari contekan jawaban pada Dita.

"Anita, Dita, duduknya coba jauhan. Sini Dita duduk depan. Kamu tukeran dulu sama Vani," titah Bu Ani, guru matematika di sekolah.

"Baik, Bu," sahut Dita. Gadis itu menatap Anita penuh permohonan maaf.

"Cepu lu, Tih! Dasar tukang ngadu!" Anita menatap tajam pada Ratih.

"Biarin aja, wleek! Gue tau elu bego sama kayak gue, jadi gue nggak mau nilai elu jadi bagus hanya karena elu temenan sama Dita," cibir Ratih. Gadis kurus dengan rambut panjang sebahu itu terkekeh setelah sukses membuat Anita kesal.

Anita menatap Ratih kembali dengan sorotan makin tajam. Gadis itu adalah tetangganya. Sejak SD mereka sering kali terlibat persaingan dan harus bersekolah di tempat yang sama. Entah kenapa, ibunya Ratih selalu terobsesi agar putrinya mengikuti apapun yang diikuti Anita.

***

Bel istirahat berbunyi, semua anak berhamburan menuju ke kantin. Begitu juga dengan Anita yang menarik Dita menjauh dari Ratih. Namun, saat menuju kantin, Ratih mendengar sayup-sayup suara perempuan minta tolong. Suara itu berasal dari lantai empat yang belum ditempati.

"Kok, aku penasaran ya? Kayak ada yang minta tolong," gumamnya.

"Huhuhuhuhu, tolong…."

Rintihan seorang gadis yang menangis itu kembali terdengar. Kali ini rasa penasaran menyeruak dan tak bisa Ratih kendalikan. Dia meyakinkan hatinya untuk melangkah menaiki anak tangga menuju ke lantai empat.

...*****...

...Bersambung....

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝓪𝓹𝓪 𝓡𝓪𝓽𝓲𝓱 𝔂𝓰 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓬𝓮𝓵𝓪𝓴𝓪🤔🤔🤔🤔

2022-10-13

1

Ivanka Anata

Ivanka Anata

Ktnya horor, tp dlm 1 bab malah lbh byk bertengkar antar ABG

2022-09-17

1

Fitri wardhana

Fitri wardhana

ratih mw di jadiin tumbal x y kaya 2 penghuni perempuan di lantai 4🤔

2022-08-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!