Suara ketikan keyboard milik Ebot begitu mengganggu. Dia terlihat bersemangat sekali sampai-sampai mengganggu Tania yang sedang memikirkan hal lain.
"Bot, lo nulis apaan sih nggak selesai-selesai?" Tanya Tania dengan kesal.
"Rahasia! Elu nggak usah bawel deh." Jawabnya dengan cuek tanpa merasa bersalah sama sekali.
Tania mendengus sambil menatap sinis pada Ebot. Dari pada dirinya menjadi naik pitam dan malah beradu mulut dengannya, Tania pun menyingkir ke teras depan.
Malam ini, sinar bulan tampak begitu terang benderang menerangi alam semesta karena bulan purnama sedang berada di langit sekarang. Dihiasi ribuan bintang di langit tanpa awan hitam di sekitarnya, membuat pemandangan di atas langit begitu indah.
"Nih, aku bikinin kopi." Tiba-tiba, Nathan keluar dengan dua cangkir kopi di tangannya. Menyodorkan pada Tania dan diterima oleh Tania.
"Makasih ya, Nath." Ucap Tania dengan tersenyum manis, kemudian menyesap kopinya sambil kembali menatap bintang-bintang di langit.
Tania tersenyum seakan-akan ini adalah moment menyenangkan selama beberapa hari terakhir ini.
"Tan..."
"Ya?"
"Mm, maaf. Kalau boleh aku tahu, siapa Beno?" Tanya Nathan dengan ragu.
Dan pertanyaan dari Nathan membuatnya terdiam dan berpaling dari langit yang indah itu, kemudian menatapnya.
Tania menghela napasnya panjang karena apa yang akan dia ceritakan pada Nathan adalah hal yang paling menyakitkan baginya.
"Beno itu temen aku. Temen masa kecil aku dan Riswanto karena kami bertetangga. Walau umur dia lebih tua dari kami, tapi semua anak-anak kompleks dekat rumahku sering main bareng. Sejak kami kecil hingga kami tumbuh besar." Tania kembali mengihirup aroma kopi di tangannya dan meminumnya agak banyak.
Nathan masih diam dan terus menatapnya, memperhatikan raut wajah Tania yang sedikit berubah meski Tania sebisa mungkin untuk terlihat tenang. Karena trauma akan kejadian di masa lalunya itu muncul dalam memori otaknya. Tentu saja membuat hatinya sakit. Tapi, Tania menahannya sebisa mungkin agar air matanya tidak ikut keluar.
"Kejadian itu terjadi saat aku masih kelas dua SMA. Sore menjelang maghrib, aku pengen banget beli mie goreng jawa yang memang bukanya sore. Tempat jualannya juga agak jauh dari rumah dan aku jalan kaki ke sana sendirian. Tapi, di jalan aku ketemu Beno, dia nawarin diri buat nemenin aku karena katanya dia ada urusan juga di sana. Dan akhirnya, aku pergi bareng Beno. Pas kami jalan ke sana lewat perkebunan yang sepi dan agak horor, tiba-tiba..." Tania berhenti sejenak dan menarik napas panjang. Karena dia merasa sulit untuk meneruskan cerita bagian tersulit dalam pengalaman hidupnya yang dia alami dengan Beno.
Nathan menggenggam tangannya sambil menatapnya, mencoba menguatkan Tania.
"Tiba-tiba, Beno membekap mulut aku. Dia menarik paksa aku sampai ke sebuah gubuk yang gelap." Tania kemudian menatap Nathan. "Nggak perlu aku jelasin kan, Nath? Apa yang mau Beno lakukan ke aku? Bahkan, dia sampai ngancem aku pakai pisau yang dia bawa. Tapi, aku tetep berontak dan aku serang dia balik, bahkan aku...aku tusuk leher dia sampai ngeluarin banyak darah." Mata Tania mulai berkaca-kaca. Dia menghela napas panjang sambil menatap ke atas agar air matanya tidak jatuh.
"Udah, Tan! Nggak usah diterusin lagi." Nathan semakin mengeratkan genggaman tangannya sambil mengusap punggung tangan Tania untuk menenangkannya.
Tania menggelengkan kepalanya, lalu tersenyum. "Tapi, untung aja Riswanto sama Zufar lewat dan denger teriakan aku. Mereka yang nolongin aku, Nath. Coba aja kalau mereka nggak dateng, mungkin aku udah masuk penjara."
"Aku nggak tahu kalau kejadian masa lalu kamu sampai seperti itu. Maaf ya, Tan." Ucap Nathan dengan wajah bersalah.
"Nggak apa-apa kok, Nath." Tania kembali tersenyum.
"Terus gimana dengan kamu setelah itu? Kamu baik-baik aja, kan?" Tanya Nathan penuh perhatian.
"Aku baik-baik aja, Nath. Beno belum sempet melakukan lebih jauh. Cuma rasanya...entahlah. Itu pertama kalinya aku mengalami kejadian semengerikan itu dan hampir bunuh orang. Kalau aja Riswanto nggak dateng saat itu..." Sampai di sini Tania sudah tidak sanggup lagi melanjutkannya.
Tania menahan sebisa mungkin air mata yang sudah menggenangi matanya.
"Udah, Tan! Jangan sedih, ya. Aku minta maaf. Aku malah jadi ngingetin kamu soal kejadian buruk kamu di masa lalu." Ucap Nathan sambil mengusap punggung Tania. "Aku cuma penasaran aja karena sejak kemarin, kamu selalu teriak histeris sambil nyebut nama Beno."
"Nggak apa-apa kok, Nath. Aku juga nggak tahu, kenapa jadi terus keinget sama tuh orang. Apalagi, kemarin Riswanto bilang kalau dia kuliah juga di kampus kami." Ucap Tania membuat Nathan tampak terkejut.
"Serius? Semester berapa dia? Kamu pernah ketemu dia belum?" Tanya Nathan dengan cemas.
Tania menggelengkan kepala. "Sama sekali belum pernah. Riswanto juga udah cari, terus dia tanya ke kakak tingkat, tapi semua bilang nggak ada yang namanya Beno. Entahlah, mungkin aja salah informasi."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah mereka. Dan orang yang baru saja dibicarakan muncul dari pintu. "Sorry kalau ganggu."
Riswanto muncul dengan secangkir teh di tangannya dan duduk di dekat mereka.
"Santai aja kali, Ris. Ngobrol doang." Ucap Nathan.
"Pacaran juga nggak apa-apa kali, Nath. Ntar gue pindah duduk ke kebon ngopinya sambil ngerokok." Ucap Riswanto dengan tersenyum jail.
"Ngaco, lo!" Sahut Tania sambil menyeka air matanya yang sudah jatuh.
"Eh, lo nangis, Tan?" Tanya Riswanto dengan menatap serius Tania, lalu beralih menatap Nathan. "Kalian lagi berantem, ya?" Lanjutnya. "Duh! Mending gue masuk lagi aja deh. Kalian selesein dulu masalah kalian." Imbuhnya sambil berdiri hendak masuk ke dalam rumah.
"Yang berantem juga siapa?!" Seru Tania dengan kesal. "Barusan gue habis cerita soal Beno ke Nathan."
Riswanto pun kembali duduk dan memasang wajah serius. "Lo beneran udah cerita ke Nathan?"
"Udah." Jawab Tania.
"Lo bilang kalau Beno kuliah di kampus kalian?" Tanya Nathan serius.
"Iya. Menurut info yang gue denger sih gitu, Nath. Cuma, nggak tahu juga sih. Karena sampai sekarang, gue belum nemuin tuh orang. Masa iya gue lupa sama mukanya yang mesum itu? Tapi, temen gue yakin kalau tuh orang kuliah di kampus kami."
Mereka pun kemudian terdiam dengan pikiran mereka masing-masing.
"Lo, punya fotonya nggak, Ris?" Tanya Nathan.
"Mm...ada." Jawab Riswanto. "Coba gue cari dulu di galeri hape gue."
Riswanto kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan membuka galeri di ponselnya. Mencari-cari foto Beno.
Mungkin karena sudah lama dan banyak yang tersimpan dalam galeri ponsel Riswanto, jadi agak lama dia mencari foto Beno.
"Nah, ini dia!" Riswanto kemudian memutar ponselnya menghadap ke Nathan dan menunjukkan foto Beno.
Nathan menatapnya sejenak, lalu mengerutkan alisnya. "Kok nggak asing, ya." Ucapnya masih menatap foto itu.
"Pernah ketemu, Nath?"
"Nggak tahu. Tapi, gue ngerasa nggak asing aja sama wajah ini. Lo kirim ke hape gue, ya. Sapa tahu gue inget ntar."
Riswanto mengangguk dan langsung ngirim foto itu ke hape Nathan via bluetooth.
Semilir angin yang cukup kencang menerpa wajah Tania.
Tania mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah. Pandangannya tertuju pada seseorang yang sedang berdiri di belakang pohon tidak jauh dari rumah ini.
Tania memicingkan matanya agar dapat lebih jelas melihatnya.
Orang itu sepertinya tidak asing.
"Wulan?!" Pekik Tania sambil bangkit berdiri.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments