Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, akhirnya mobil elf yang membawa meraka sampai di Desa Bambu. Jalannya belum diaspal, masih berupa tanah dan bebatuan. Sesuai namanya, banyak rumpun bambu tumbuh di sana.
Mobil elf yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar, bahkan paling besar di Desa Bambu. Rumah itu milik kepala desa. Mereka pun turun satu per satu dengan barang bawaan mereka yang banyak.
Terlihat Pak Kades sedang menunggu di depan teras rumah bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Beliau pun menyambut kedatangan mereka dengan hangat. “Selamat datang, Mas-Mas dan Mbak-Mbak. Mari, silahkan masuk!”
“Terima kasih, Pak,” ucap Kevin dengan sopan.
Mereka meninggalkan barang-barang bawaan mereka di luar dan masuk, lalu duduk di ruang tamu rumah Pak Kades yang cukup luas untuk menampung mereka semua.
“Mungkin dari pihak kampus sudah meminta ijin agar kami bisa KKN di sini, Pak. Namun, secara pribadi, kami ingin meminta ijin kembali ke Pak Kades kalau selama sebulan ke depan, kami akan merepotkan Bapak.” Saiful mengawali obrolan.
“Oh, iya. Tidak apa-apa, Mas. Justru saya dan para warga di sini merasa senang ada mahasiswa yang melakukan kegiatan KKN di sini. Desa Bambu akan terasa lebih ramai lagi nantinya dan juga akan terbantu oleh kalian,” ujar Pak Kades.
“Ngomong-ngomong, nanti kami tinggal di mana ya, Pak?” tanya Kevin.
“Saya sudah menyediakan rumah yang ada di tengah desa. Saya rasa, rumah itu cukup untuk kalian karena paling banyak kamarnya. Rumah itu kosong, yah ... memang disediakan untuk keperluan KKN seperti yang sudah-sudah,” jawab Pak Kades menjelaskan.
“Terima kasih banyak ya, Pak. Jadi merepotkan,” sambung Aisyah basi-basi.
Mereka pun diantar oleh seorang warga suruhan Pak Kades menuju rumah yang berada di tengah-tengah Desa Bambu yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama sebulan ke depan dengan berjalan kaki karena jalanannya tidak memungkinkan untuk dilalui mobil.
Benar-benar luar biasa! Untung aja gue cuma membawa satu koper bawaan aja, gumam Tania dalam hati.
Teman-teman yang lainnya ada yang membawa gitar, bantal pribadi, juga boneka. Katanya, dia tidak bisa tidur tanpa bonekanya. Dan dia itu adalah Tiwy.
“Fyuhh ... berasa pindahan nih,” gumam Tania.
Tania berjalan berdampingan dengan Aisyah dan Sekar.
“Oh, ya ampun! Nih sinyal pada ngumpet ke mana sih ya?!” Tania menggerutu merasa kesal sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan menggoyang-goyangkannya, berharap mendapatkan sinyal.
“Hiah! Yang udah kangen sama Aa. Oh iya, tadi kan suruh ngabarin ya? Mampus lu! Nathan bakal uring-uringan nggak dapet kabar dari elu!” ledek Ebot yang berjalan di belakang Tania.
“Ini hutan kali, Tan. Pelosok! Ya pasti nggak ada sinyal lah,” cetus Vhie yang berjalan di depannya.
“Iya juga ya? Tanpa internet selama sebulan dong nanti? Aaargh!” Tania merasa frustasi sambil mengentakkan kaki.
“Kayaknya kita memang kudu fokus KKN nih. Nggak bisa main-main,” sambung Aisyah.
“Tan, nggak nyangka kita bisa satu kelompok,” ucap Saiful yang sudah berjalan mensejajari Tania.
“Iya,” jawab singkat Tania karena masih sibuk mencari sinyal di ponselnya.
“Udah, percuma. Nggak bakal dapet sinyal di sini,” ucap Saiful lagi yang berusaha mencari perhatian dari Tania.
“Tahu gini, tadi aku pinjem walkie talkie-nya Nathan,” gumam Tania kembali menggerutu merasa kesal.
“Cowok tadi itu, pacar kamu ya?” tanya Saiful lagi.
“Bukan. Temen,” jawab Tania apa adanya.
“Masa sih? Aku sering lihat dia nganter jemput kamu ke kampus,” kata Saiful lagi yang membuat Tania merasa kesal.
“Emangnya cuma pacar doang yang bisa antar jemput?!”
“Pul, dia itu calonnya Tania. Polisi. Udah deh, lo nggak usah deketin Tania lagi!” sahut Aisyah.
“Selama janur kuning belum melengkung, masih bisa ditikung kali,” sindir Saiful sambil melirik pada Tania dan Tania langsung memelototinya dengan marah.
Dasar gila!
“Bercanda kali, Tan.”
***
Setelah menempuh perjalanan hampir dua kilometer dengan berjalan kaki, akhirnya mereka sampai di rumah yang dituju.
“Alhamdulillah, nyampai juga!” teriak Ebot dan langsung merebahkan tubuhnya di teras depan rumah.
Lantai rumah itu masih tegel zaman dulu, bukan keramik seperti rumah-rumah zaman sekarang. Namun, rumah itu terlihat bersih. Sepertinya masih terawat.
“Ini rumahnya. Kamarnya ada delapan. Ada dua kamar mandi di belakang sebelah dapur. Cuma WC-nya aja ada di dekat sumur belakang rumah karena belum lama dibangun,” ucap Pak Karno menerangkan.
“Duuuh, kalo pas kebelet tengah malem, gimana dong, Pak? Horor banget pasti nih, dikelilingi pohon-pohon gede kayak gini,” ucap Abid sambil bergidik ngeri.
“Ya kalau gitu, usahakan jangan sampai kebelet tengah malem, Mas,” jawab Pak Karno. “Sebenarnya, desa ini sih aman daripada Dusun Alas,” imbuhnya.
“Emangnya, Dusun Alas kenapa, Pak?” tanya Tania penasaran.
“Angker, Mbak,” jawab Pak Karno. “Dulu, semua warganya dibantai sama orang. Terus katanya, arwah mereka penasaran. Saya sarankan, untuk selalu hati-hati aja. Jangan sampai kalian masuk ke Dusun Alas karena jaraknya lumayan dekat dari sini,“ lanjut Pak Karno menjelaskan.
“Hah? Dibantai? Ngeri banget, ih!” pekik Sekar sambil bergidik ngeri. “Kapan itu kejadiannya, Pak?”
“Sekitar 20 tahun yang lalu, Mbak. Bahkan, sampai sekarang desa itu nggak ada penghuninya. Jangan main-main ke sana pokoknya!” saran pak Karno.
“Iya, Pak. Makasih ya infonya,” sahut Tania dan mengakhiri obrolan ini.
Pak Karno kemudian pulang ke rumahnya yang berada di ujung jalan, searah dengan mereka.
“Oke, kita bagi tugas dulu,” ucap Kevin.
“Ketua, Riswanto! Gimana? Setuju?” usul Saiful.
“Setujuuu!” jawab mereka semua dengan kompak.
“Eh, kok gue sih?” protes Riswanto.
“Kan lo ketua DPMU. Udah dipercaya deh bakal jadi ketua selama kita di sini. Setuju kan semua?” tanya Saiful.
Riswanto hanya bisa menghela napas pasrah. Dia memang memiliki pribadi yang dewasa dan pendiam sehingga digandrungi mahasiswi-mahasiswi setingkat maupun adik tingkatnya. Dia juga menjabat sebagai DPMU (Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas). Jadi, eksistensinya tidak diragukan lagi.
“Wakilnya siapa nih?” tanya Abid.
“Ipul aja tuh. Mereka kan kaya kembar siam. Ke mana-mana selalu bareng,” jawab Vicky.
“Setujuuu!” Mereka semua kembali menjawab dengan kompak.
Saiful pun kena getahnya dan dia juga hanya bisa pasrah.
“Bendahara siapa? Cewek nih harusnya,” kata Riswanto.
“Ada yang mau nggak?” sambung Saiful.
“Lo aja gimana, Tan sama Vhie?” usul Riswanto.
Tania dan Riswanto memang sudah akrab karena rumah mereka berdekatan dan Riswanto teman kecil Tania.
“Eh? Gue?” Tania menunjuk dirinya sendiri dengan bingung, kemudian menoleh ke arah Vhie. “Vhie, gimana?” tanyanya pada Vhie dan Vhie hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya saja.
“Oke, fix! Bendahara 1, Tania dan bendahara 2, Vhie,” ucap Saiful penuh semangat. Kemudian, dibentuk juga jadwal untuk masak setiap harinya. Karena kelompok mereka ada 12 orang, mereka bagi untuk memasak dan bersih-bersih rumah 2 orang per harinya. Untuk hari Minggu, mereka akan melakukan kegiatan tersebut bersama-sama. Ya, hitung-hitung kerja bakti.
Tania mendapat jadwal di hari Selasa bersama Riswanto.
Setelah selesai membagi tugas, mereka masuk ke kamar masing-masing untuk membereskan barang-barang bawaan.
Tania sekamar dengan Tiwy, sedangkan Aisyah dengan Sekar. Ebot dengan Kevin, Vhie dengan Wulan, Riswanto dengan Saiful, dan Vicky dengan Abid. Dan ternyata, masih tersisa 2 kamar kosong yang letaknya di belakang.
Di setiap kamar, sudah dilengkapi 2 tempat tidur berukuran single dengan meja di tengahnya dan jendela yang cukup besar juga.
“Ini serius nggak bakal ada sinyal, Wy?” tanya Tania pada Tiwy sambil kembali sibuk mencari sinyal di ponselnya.
“Ya ampun, segitu kangennya sama Babang Nathan. Ntar juga dia nyusul ke sini,” ucap Tiwy dengan yakin.
“Masa?”
“Lo lihat aja ntar. Gue paham banget gimana dia, apalagi perasaannya ke lo tuh udah dalem banget melebihi dalemnya Samudra Pasifik! Yang gue heran nih ya, kapan sih dia nembak lo? Biar kalian jadian sekalian!” ucap Tiwy dengan gemas.
Tania hanya diam tidak menanggapi ucapan Tiwy. Dia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dan melanjutkan membereskan barang bawaannya.
Tok! Tok! Tok!
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar jendela.
Seketika Tania dan Tiwy saling lempar pandangan. Suara ketukan itu terdengar pelan, tapi begitu jelas di telinga mereka. Tiwy memberi isyarat pada Tania untuk melihat siapa yang mengetuk.
Perlahan Tania berdiri dan berjalan mendekat ke arah jendela. Tania sedikit mengintip dari balik korden karena memang korden masih tertutup rapat dan belum sempat dibuka.
Kosong!
Tidak ada siapa pun di luar jendela.
Akhirnya, Tania membuka korden itu lebar-lebar agar cahaya matahari masuk. Dia juga membuka lebar jendelanya.
“Siapa, Tan, yang ketok?” tanya Tiwy penasaran.
“Ayam tadi lewat di bawah,” jawab Tania ngasal. Kalau Tania jujur, takutnya membuat Tiwy paranoid nantinya dan berpikir kalau itu ulah makhluk halus.
Sebenarnya, Tania sendiri juga merasa penasaran siapa yang mengetuk tadi, karena Tania tidak melihat siapa pun di luar jendela.
......................
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Randy_Chavaladruva
nih novel uda pernah gua baca dulu di Kaskus taun 2018
2022-10-31
2
juwita
asalamualaikum thor.. mampir
2022-09-27
2
Triple.1
sejak kapan ayam ngetik jendela ...aduhhh baru mulai aja udh horor....😭
2022-07-02
2