Kaki kecilku berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan.
Tarik matahari mengintip dari balik daun-daun pepohonan.
Kemudian aku melihat sekitar, dan sepi, hanya aku yang berjalan di jalan setapak yang ada di dalam hutan.
Hutan ini, tidak membuatku takut, hutan ini juga terasa familiar untukku.
Kemudian aku berfikir, kalau hutan ini, mungkin hutan di belakang rumah kakek buyut.
Dengan senyum yang tergaris di wajahku, aku kembali berjalan masuk ke dalam hutan.
Ingatanku tidak salah, ini memang hutan di belakang rumah kakek buyut, karena ada danau di tengah hutan.
Aku melihat ke danau dengan air yang terlihat tenang, lalu mengintip untuk melihat pantulan langit.
Wajah yang kutatap, bukanlah wajahku yang sekarang, tapi wajah saat aku berusia delapan tahun.
Wajah kecil, mata bulat, rambut hitam panjang, dan bando favoritku bisa kulihat di pantulan air danau.
Aku melihat sekeliling danau, dan kakek ada di ujung danau sambil bersemedi.
Aku langsung berlari sambil berteriak memanggil kakek.
Kakek yang masih tenang bersemedi, langsung membuka matanya, dan melihatku dengan mata terbuka lebar.
"Lisa, jangan lari nanti jatuh", pinta kakek padaku.
Aku tidak mengindahkan permintaan kakek, dan tetap berlari ke arah kakek.
Kakek langsung berdiri, dan berlari ke arahku, tapi kakek telat meraihku.
Ada yang menarik kakiku masuk ke dalam hutan.
Aku tidak tahu, karena aku seperti di tarik di udara, dan aku hanya bisa melihat kakek berlari mengejarku.
Tarikan di kakiku berhenti, saat aku sudah masuk ke dalam hutan yang sangat dalam.
Hutan yang aku lihat, berbeda dengan hutan yang aku lewati sebelumnya.
Hawa dingin bisa kurasakan dan kegelapan juga hampir menutupi seluruh area hutan.
Aku terduduk tepat di depan sebuah pohon besar di dalam hutan.
Pohon yang ada di depanku, bukan pohon biasa, ada pintu dari kayu di pohon tersebut, dan ada penarik yang terbuat dari besi terukir di pintu kayu tersebut.
Pintu pohon tersebut kemudian terbuka perlahan, tak lama aku mendengar suara kakek memanggilku.
Aku baru ingin berbalik dan memanggil kakek, tapi aku merasakan ada yang menepuk pundakku.
"Pulang", ujar sebuah suara yang menepuk pundakku.
Mataku terbuka, dan aku langsung melihat sekitar.
Ternyata aku ada di kamar seli, dan ketiduran.
"Mimpi aneh", gumamaku pada diri sendiri.
Aku kemudian turun dari tempat tidur seli, untuk mengambil minuman di dapur.
Seli masih fokus di depan komputer bian sambil bersenandung kecil.
"Sel kamu udah tiga hari nggak sekolah, nanti kalau nggak naik kelas gimana", tanyaku pada seli, yang jam dua siang ada di rumah.
"Aku mau sekolah kak, tapi kata mama suruh libur dulu", jawab seli.
Aku kemudian mengerutkan kening, dan meminum es teh manis yang ada di tanganku.
Aku tidak tahu kenapa tante mirna menyuruh seli untuk libur sekolah dulu, tapi hal itu sangat menggangguku, karena tidak seharusnya, orangtua meminta anaknya untuk libur sekolah.
Aku lalu berjalan ke ruang tamu, dan kulihat tante mirna, duduk dan menghembuskan asap rokoknya.
"Seli kenapa nggak sekolah te", tanyaku pada tante mirna.
"Belum bayar spp tiga bulan", jawab tante mirna santai.
"Kok bisa", tanyaku pada tante mirna.
"Nggak ada uangnya", jawab tante mirna, sambil menyeruput kopinya.
"Terus kalau nggak naik kelas gimana", tanyaku pada tante mirna.
Tante mirna hanya bilang, kalau uang yang dia punya hari ini, hanya cukup untuk ongkos sekolah satu anaknya saja.
Menurut tante mirna, seli bersedia mengalah.
Aku tidak ingin terlalu menggurui tante mirna soal sekolah seli, karena aku tidak dalam posisi bisa membantu.
Aku lalu menanyakan soal mengenai kemungkinan, keluarga tante mirna, membantu tante mirna membiayai sekolah kedua anaknya.
"Mereka bukan tipe yang suka membantu saat melihat saudaranya susah, tapi kalau untuk berkumpul dan makan-makan, mereka selalu bahu membahu", jawab tante mirna dari pertanyaanku.
"Bukannya keluarga nenek juga rata-rata kaya ya", tanyaku pada tante mirna.
"Iya, tapi ya mereka bukan tipe yang suka bantu, mereka tipe yang suka pesta", jawab tante mirna.
Tante mirna lalu bercerita, kalau dulu, keluarganya juga hidup dengan mewah.
Saat tante mirna masih SMA, orangtuanya memberi tante mirna mobil, begitupun dengan anak nenek yang lainnya.
Semua memilki mobil saat mereka sekolah, uang saku juga berlebih.
Perayaan ulang tahun tante mirna dan saudaranya, juga selalu di gelar dengan mewah.
Kemewahan itu harus berakhir, saat kakek di periksa oleh tim audit perusahaan.
Ternyata kemewahan yang tante mirna dan saudaranya nikmati selama mereka remaja, berasal dari uang korupsi yang kakek lakukan.
Tante mirna, dan saudaranya, menikmati semua kemewahan tersebut selama lima belas tahun.
Perusahaan kemudian meminta kakek untuk mengembalikan semua dana yang dia korupsi berikut dendanya, atau perusahaan akan menjebloskan kakek ke penjara.
Kakek memilihi mengembalikan semua dana yang dia korupsi.
Orangtua tante mirna lalu menjual semua harta mereka, berikut rumah warisan dari orangtua kakek di tebet.
Dari saat itu, keluarganya menjadi susah.
Nenek yang biasanya selalu pamer kemewahan saat arisan, harus menarik diri dari pergaulannya.
Mereka juga pindah rumah ke wilayah bogor, kecuali tante mirna yang saat itu memilih untuk tinggal di rumah pacarnya.
Tante maudy harus banting tulang untuk membiayai hidupnya dan sekolahnya.
Tante maudy bahkan harus tinggal berpindah-pindah, dari rumah saudara ke saudara lainnya.
Untungnya tante mirna menikahi pria yang cerdas dan rajin, jadi dia bisa membantu keluarganya perlahan.
Kehidupan tante mirna harus berubah saat suaminya meninggal.
Uang hasil penjualan rumah tante mirna, lenyap di bawa lari oleh temannya dengan dalih investasi.
Tante mirna yang tidak pernah bekerja, dan selalu di manja oleh suaminya, kebingungan karena masih ada dua anak yang harus dia besarkan.
Tante mirna kemudian menerima kenyamanan yang di tawarkan oleh om ridwan.
Om ridwan juga berjanji akan memenuhi biaya kehidupan tante mirna, dan membantunya membesarkan kedua anak tante mirna.
Tante mirna mengiyakan, tanpa berfikir kalau om ridwan sudah memiliki keluarga.
Menurut tante mirna, sudah dua bulan om ridwan tidak mengirim uang untuk biaya sekolah anaknya, jadi dia kelimpungan.
Bian dan seli, sekolah di yayasan sekolah swasta yang ada di bintaro.
Biaya bulananya menurutku sangat besar.
"Kenapa nggak di pindah ke sekolah negeri aja te", tanyaku pada tante mirna.
"Enggaklah", jawab tante mirna.
"Sekolah negeri kan gratis te, cuma bayar keperluan sekolah aja, jadi ngeringanin beban tante", ujarku pada tante mirna.
"Mereka sekolah disitu karena wasiat papanya, aku cuma mau jaga wasiat itu", jawab tante mirna.
"Te, wasiat kalau kita mampu, kalau nggak mampu, masak dipaksakan", ujarku pada tante mirna.
Tante mirna tidak menjawab ucapanku, dan hanya terdiam sambil menghembuskan asap rokoknya.
Mengetahui bahwa hampir seluruh pengeluaran rumah, di biayai oleh om ridwan, membuat dadaku sedikit sesak.
Bayangan mengenai kemurkaan istri om ridwan, saat dia mengetahui bahwa om ridwan berselingkuh dengan tante mirna, membuat simpatiku pada tante mirna sedikit luntur.
Rasa malu di hatiku, kemudian muncul, karena aku juga menikmati fasilitas yang om ridwan berikan pada tante mirna.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
V_nee ' wife Siwonchoi ' 🇰🇷
Miris yaa dengan kehidupan si tante mirna,lebih baik tante mirna jika bisa menikah lagi tapi dengan pria yg singel baik itu duda atau pun perjaka tua janganlah menjadi Pelakor tante
2022-07-29
1