Rumah No. 27

Rumah No. 27

Bulan Februari

Tahun 2015 menjadi tahun baru bagiku yang baru saja kehilangan pekerjaanku.

Perkenalkan namaku melisa, orang sekitarku biasa memanggilku lisa.

Usiaku sekarang dua puluh empat tahun, dan tinggiku masih di bawah seratus enam puluh senti meter.

Selain kehilangan pekerjaan, aku juga baru saja rugi seratus juta rupiah, karena tergiur keuntungan besar, yang di tawarkan oleh perusahaan futures.

Hanya butuh waktu tiga bulan untuk uang tersebut hilang.

Celakanya adalah, uang tersebut milik orangtuaku, yang mereka percayakan padaku, untuk aku kelola uang tersebut.

Uang yang mereka hasilkan dengan jerih payah mereka, hilang tak bersisa.

Aku yang bodoh dan tergiur dengan kemewahan yang di tawarkan oleh marketing perusahaan futures, menandatangi perjanjian tanpa mencari tahu lebih dalam, mengenai perusahaan tersebut terlebih dahulu.

Semua sudah terjadi, airmata, kekecewaan, dan depresi sudah kulewati.

Sekarang aku dalam perjalanan menuju pondok aren, karena aku sudah tidak punya uang untuk membayar sewa kontrakan lagi.

Pondok aren adalah rumah tante mirna, salah satu kenalanku, yang dengan baiknya menawarkanku untuk tinggal di rumah kontrakan, yang dia sewa bersama kedua anaknya.

Kontrakan yang sebelumnya ku tinggali, letaknya di radio dalam.

Butuh satu jam perjalanan menggunakan kendaraan umum, untuk aku bisa sampai di rumah tante mirna.

Setelah tiga kali berganti angkutan umum, akhirnya aku sampai di gapura masuk area perkampungan, yang tante mirna jelaskan padaku tadi pagi.

Aku kemudian menelvon tante mirna dan mengabari kalau aku sudah sampai.

"Tunggu situ dulu, nanti aku jemput", ujar tante mirna padaku di telvon.

Sepuluh menit kemudian, aku melihat tante mirna dari kejauhan.

Aku langsung berjalan menemui tante mirna dan menarik koper yang berisi pakaian milikku.

"Jam berapa dari radio dalam", tanya tante mirna padaku, saat aku sudah di dekatnya.

"Jam sepuluh tante", jawabku, setelah mencium tangan tante mirna.

Aku kemudian berjalan berdampingan dengan tante mirna, sambil mendengar cerita tante mirna mengenai parfum mahal yang baru dia beli.

Butuh sepuluh menit berjalan kaki, dari tempat pemberhentian angkutan umum, untuk sampai ke depan rumah tante mirna.

Rumah yang bercat kuning terang nomer dua puluh tujuh, dengan pagar dengan tinggi sepundakku, yang berwarna coklat, adalah rumah tante mirna.

Pagar coklat tersebut merupakan akses pertama, untuk masuk ke area rumah.

Dari luar rumah, aku langsung bisa melihat garasi yang kosong.

Garasi rumah tante mirna, bisa muat satu mobil dan dua motor.

Di ujung garasi ada mesin cuci, juga jemuran yang menempel di dinding.

Ada dua pintu untuk bisa masuk ke rumah tante mirna.

Pintu pertama langsung menuju ruang tamu, dan pintu kedua menuju lorong rumah.

Aku masuk melalu pintu kedua, aku langsung melihat lorong yang lurus berhadapan dengan pintu belakang.

Kamar pertama yang ku jumpai adalah kamar seli, anak perempuan tante mirna.

Kemudian aku melihat akses ke ruang tamu, yang ada di sebelah kanan.

Ruang tamu tante mirna tertata dengan rapi dan bersih.

Di sebelah ruang tamu ada kamar tante mirna, satu-satunya kamar yang memilki air conditioner.

Ketika aku masuk lebih dalam lagi, aku bisa menemukan kamar belakang, setelah kamar seli, yang di gunakan bian, anak pertama tante mirna.

Juga ada dapur kecil di sebelah kanan.

Ada kulkas di samping pintu menuju dapur kotor di belakang.

Di sebelah kulkas, ada tempat untuk mencuci piring, dan juga tempat untuk menata makanan.

Kemudian di sebelah tempat untuk mencuci piring, ada pintu menuju kamar mandi.

Di ruangan paling belakang, selain berfungsi sebagai dapur kotor, juga ada rak papan yang panjang, dengan dua tingkat.

Sebelah kiri rak papan, tante mirna fungsikan untuk menaruh kumpulan sepatu, dan sebelah kanan untuk perlengkapan dapur.

"Kamu tidur di kamar seli ya, biar seli tidur denganku", ujar tante mirna padaku, setelah mengajakku berkeliling rumah.

Aku kemudian masuk ke kamar seli, dan mulai membongkar koperku.

"Dikit amat bajunya", tanya tante mirna padaku.

Tante mirna duduk di sofa yang melengkung, yang terletak di sebelah jendela kamar seli.

Jendela kamar seli punya akses pemandangan langsung ke garasi, dan ke jalan luar rumah.

"Iya tante, bajuku emang dikit", jawabku pada tante mirna sambil tersenyum.

"Yaudah nanti kalau kurang, kamu pakai baju seli aja nggak papa", ujar tante mirna.

"Terimakasih tante", jawabku atas tawaran tante mirna.

Aku kemudian meletakkan pakaianku ke dalam lemari baju seli.

"Anak-anak pulang jam berapa tante", tanyaku pada tante mirna.

"Paling sebentar lagi", jawab tante mirna.

Setelah membereskan semuanya, tante mirna mengajakku untuk makan siang.

Setelah makan siang, kita ke ruang tamu, dan mulai mengobrol, sambil menunggu kedua anak tante mirna pulang.

Ruang tamu tante mirna, lumayan luas, setelah pintu masuk pertama, ada sofa berwarna merah yang memilki akses pemandangan langsung ke teras rumah, yang tante mirna hiasi dengan beberapa tanaman yang ada di pot.

Teras rumah tante mirna, di tutupi oleh tembok setinggi rumah, jadi orang yang lewat, tidak bisa melihat ruang tamu rumah tante mirna secara langsung.

Sofa berwarna hijau, dua kursi kecil dan gentong dari tanah liat, yang di tutup kaca bundar, bisa di temui saat aku masuk melalui akses dari depan kamar seli.

Di ujung dinding ada meja tinggi dan panjang, di penuhi dengan piring hias, dan juga foto-foto keluarga tante mirna.

"Nih minum es teh dulu", ujar tante mirna padaku.

"Terimakasih tante", jawabku.

Aku kemudian menyeruput es teh yang tante mirna tawarkan.

"Rencana kamu gimana kedepannya", tanya tante mirna padaku.

"Belum tau tante, mungkin cari pekerjaan freelance", jawabku.

"Ikut aku aja ya, jadi broker tanah, mau nggak", ajak tante mirna padaku.

"Boleh tante", jawabku.

Tak lama kedua anak tante mirna yang masih remaja pulang ke rumah.

Seli dan bian datang ke ruang tamu dari pintu kedua, lalu menyapa tante mirna.

"Kenalin, ini lisa", ujar tante mirna pada kedua anaknya.

Seli dan bian kemudian mencium tanganku, lalu menuju kamar mereka masing-masing.

Seli meninggalkan tas dan jaketnya di ruang tamu, tante mirna kemudian mengambilnya dan membawa ke kamar lisa.

Seli berusia tiga belas tahun, dan bian lima belas tahun.

Seli baru masuk SMP, dan bian hampir lulus SMP.

"Makan dulu bian baru main game", pinta tante mirna pada anak pertamanya.

"Lauknya apa ma", tanya seli pada tante mirna, sambil tetap melihat handphonenya.

"Kak lisa tadi bawain ayam goreng, sama sayur kangkung sel", jawab tante mirna.

"Yes, makasih ya kak", ujar seli padaku.

"Iya", jawabku.

"Sel, nanti kamu tidur sama mama ya, biar kak lisa tidur di kamar kamu", ujar tante mirna.

"Oke", jawab seli singkat.

Keributan kemudian terdengar di dapur, aku dan tante mirna langsung beranjak untuk melihat apa yang terjadi.

"Kenapa", tanya tante mirna.

"Ini mah seli ngambil semua bala-balanya", ujar bian.

"Seli bagi dong kakaknya, jangan di makan sendiri", pinta tante mirna.

"Yaelah, cuma ada lima ma, kecil-kecil pula", jawab seli dengan muka juteknya.

"Tau nih, maruk", ujar bian sambil kembali masuk ke dalam kamarnya.

Seli dengan cueknnya mengambil makanan, dan lauknya, lalu makan di kursi kecil yang ada di ruang tamu.

***

Terpopuler

Comments

Defa IsmaDela

Defa IsmaDela

woouuu😃

2022-07-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!