Rumah Bekasi

Rumah tante maudy di pondok pinang, letaknya di tengah perkampungan.

Suasananya sangat ramai, terutama sore hari.

Kita harus berjalan kaki lima belas menit, setelah kita turun dari angkutan umum untuk sampai di rumah tante maudy.

Bian tidak ikut, karena bian memang tidak menyukai neneknya, hanya aku, seli dan tante mirna.

Rumah tante maudy juga tidak sebesar rumah tante mirna.

Hanya rumah dengan dua kamar, ruang tamu kecil, ruang keluarga dan dapur.

Di samping rumah ada lahan yang cukup untuk parkir motor dan juga untuk taman.

"Lisa ikut", ujar nenek seli ramah padaku.

Aku hanya tersenyum lalu mencium tangannya.

Usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun, membuat nenek seli berkurang kegesitannya.

Meski begitu, wajahnya yang tidak pernah lepas dari makeup, terlihat cantik.

Matanya yang lebar, juga cara bicaranya yang sedikit keras, membuat dia terlihat seperti sosok yang galak.

Bukan terlihat, tapi dia memang galak.

Dia tidak suka melihat aku, seli atau siapapun yang menurutnya memiliki derajat lebih rendah darinya, duduk santai.

Tante maudy dan suaminya, bekerja setiap hari.

Penghasilan tante maudy sebagai pegawai bank, juga lebih tinggi dari suaminya.

Penghasilan tante maudy yang tinggi, membuat ibunya selalu congkak dan overproud akan tante maudy pada siapapun.

Sementara saudara tante maudy seperti tante mirna dan kedua anak laki-lakinya, tidak punya penghasilan tetap seperti tante maudy.

Tante maudy yang memiliki penghasilan tinggi, dan selalu jadi tumpuan keluarganya, membuat tante maudy merasa superior di banding saudaranya yang lain.

Kedua orangtua tante maudy, juga sangat mendukung tante maudy dan memujanya.

Menurut tante mirna, dulu sebelum suaminya meninggal, suaminya juga punya penghasilan tinggi, hal itu membuat kedua orangtua tante mirna selalu memuja tante mirna dan suaminya.

Mereka memperlakukan bian dan seli dengan penuh kasih sayang, tapi setelah suaminya meninggal, dan tante mirna bangkrut, pujaan kedua orangtua tante mirna, berpindah ke anak tante maudy yang masih berusia delapan tahun.

Orantua tante mirna memang tipikal orang yang melihat kedudukan manusia dari harta yang mereka miliki.

Mereka tidak tahu background keluargaku, yang mereka tahu adalah, aku menumpang tinggal di rumah tante mirna, hal itu membuat mereka memperlakukanku dengan sangat buruk.

Anehnya, meski kelakuan kedua orangtua tante mirna buruk, tapi mereka merasa kalau mereka adalah orang yang hatinya baik.

Tak jarang mereka juga meminta untuk selalu di hormati.

Penghormatan yang mereka maksud adalah, dengan memberi mereka uang jajan.

"Lisa tumben ikut", ujar tante maudy yang baru keluar dari kamarnya.

"Iya, soalnya kemaren habis diliatin kunti nari", jawab seli yang langsung mencium tangan tante maudy.

"Alah, kunti doang mah, kecil", ujar tante maudy.

"Kan rumah nenek yang di bekasi, dulu pas masih ada pohon mangganya, juga di huni kunti, setiap jam tiga malam, pasti ketawa cekikikan tuh kunti sendirian di pohon", cerita tante maudy.

Tante maudy kemudian meminta kita untuk makan, setelah memberi kesan, bahwa sosok kuntilanak itu tidak perlu ditakutin.

Rumah tante maudy selalu rapi, dan makanan selalu berlimpah, itu semua berkat kemampuan finansial tante maudy.

Sehingga dia mampu untuk memperkerjakan asisten rumah tangga, dan membeli makanan apapun yang ia ingin suguhkan.

Asisten rumah tangga tante maudy, namanya mbak siti, dia pekerja dari pagi sampai siang hari.

Setelah pekerjaan beres, dia langsung pulang ke rumahnya, yang letaknya di belakang rumah tante maudy.

Koneksi internet di rumah tante maudy juga sangat kencang, mungkin hal itu yang membuat seli betah di rumah tante maudy.

Sementara kalau di rumah, koneksi internet selalu lemot, setiap bian ada di rumah, karena dia selalu bermain video game yang membuat kecepatan internet selalu tersedot ke komputer bian.

Router juga ada di dalam kamar bian, jadi dia yang paling banyak dapat akses kecepatan internet.

"Masak apa mbak siti", tanya seli pada mbak siti yang masih ada di dapur.

"Soto sel", jawab mbak siti.

"Soto lagi", tanya seli

"Iya, soto daging, nenek yang minta tadi pagi", jawab mbak siti.

Seli kemudian mengambil piring, dan mulai mengambil nasi dan meracik soto, sambil di awasi oleh tatapan neneknya.

"Jangan banyak-banyak sel, nanti yang lain nggak kebagian", ujar nenek seli.

Aku yang ada di belakang seli, langsung tidak berselera untuk makan.

Akhirnya aku berjalan ke ruang tamu, untuk bergabung dengan tante maudy dan tante mirna.

"Nggak makan lis", tanya tante maudy, saat melihat tanganku yang kosong.

"Kenyang te", jawabku singkat.

Seli lalu masuk ke ruang tamu sambil mengerutu, karena tidak boleh ambil dagingnya lebih banyak.

Tante maudy langsung ke dapur untuk menegur nenek.

"Biarin aja napa ma, seli tuh anak yatim, orang daging masih banyak juga, mama kan juga setiap hari makan daging, seli kesini juga setiap libur doang", ujar tante maudy menegur nenek seli.

Nenek seli hanya manyun, lalu menyalakan televisi, dan mengabaikan tante maudy yang marah padanya.

"Tuh sel kalau mau ambil daging lagi", ujar tante maudy pada seli, saat dia kembali ke ruang tamu.

"Tuh dek", ujar tante mirna sambil menyenggol lengan seli.

Seli lalu kembali ke dapur, dan mengambil soto daging lagi.

Tante mirna kemudian menanyakan keberadaan anak tante maudy dan suaminya.

"Dedek lagi ke rumah temennya, kalau abang lagi ke rumah orangtuanya", jawab tante maudy.

"Jadi gimana kemaren pagi", tanya tante maudy menanyakan soal kuntilanak yang aku dan tante mirna lihat.

Tante mirna kemudian menceritakan lagi apa yang kita lihat, sambil sedikit di bumbui dengan dramatis dan cerita yang berlebihan.

"Kamu ingat nggak mir dulu pas bian lahir", tanya tante maudy pada tante mirna.

"Yang mana", tanya tante mirna.

Tante maudy kemudian mengingatkan tante mirna, soal kejadian sekitar satu bulan setelah kelahiran bian.

Saat itu, tante mirna menginap di rumah orangtuanya di bekasi, dan bian menangis sepanjang malam.

Saat tante mirna dan tante maudy sedang menimang bian di teras, terdengar suara khas kuntilanak dari arah pohon mangga.

Tante maudy lalu membawa bian ke dalam rumah sambil memanggil nenek.

Begitu nenek keluar rumah, nenek langsung menyebar garam ke arah kuntilanak yang sedang berayun dan tertawa di pohon.

"Jam berapa itu ya", tanya tante mirna.

"Masih jam sembilan mir, aku inget banget kok, soalnya bian nangis terus", jawab tante maudy.

"Terus habis itu ngeliatin lagi nggak te", tanyaku pada tante maudy.

"Ngelihatin wujudnya sih jarang, tapi kalau ketawa hampir setiap malam, persis saat jam yang ada di ruang tamu berdentang tiga kali", cerita tante maudy.

Menurut tante maudy, dulu keluarganya punya jam yang sebesar lemari, dengan suara sangat kencang, setiap jam berdentang.

Sekarang sudah sangat jarang orang memiliki jam itu.

Dulu, menurut tante mirna, yang mengikuti ucapan nenek, memilki jam dengan jenis tersebut adalah simbol kekayaan.

"Kalau di rumah ini giman dy, tenang", tanya tante mirna.

"Tenang sih, tapi ada yang tunggu satu di dapur, tapi dia cuma nampakin sama orang yang punya hati jahat aja sama keluarga ini", jawab tante maudy.

"Siapa aja te yang udah pernah lihat", tanyaku pada tante maudy.

"Cuma iparku doang, istrinya haryo", jawab tante mirna.

Om haryo adalah anak ketiga di keluarga tante mirna, dan dia memang memiliki istri, yang di benci oleh tante mirna, karena selalu mengadu domba keluarganya.

Tante maudy kemudian masuk ke dalam kamarnya, karena suhu di ruang tamu menjadi panas.

Aku dan tante mirna lalu ke dapur untuk mengambil makanan, setelah melihat nenek masuk ke kamarnya untuk tidur siang.

***

Terpopuler

Comments

V_nee ' wife Siwonchoi ' 🇰🇷

V_nee ' wife Siwonchoi ' 🇰🇷

Waduuh keluarga si tante mirna super pemberani semua ya

2022-07-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!