Penghuni Dapur

Ramdhan berakhir, dan lebaran juga telah usai.

Bian dan seli sudah kembali ke rumah, dari liburannya di rumah tante maudy.

Aku juga baru pulang tiga hari lalu, dari lebaranku di rumah temanku, yang tinggal di alam sutra.

Aku absen liburan bersama keluargaku lagi tahun ini, alasannya jelas, aku tidak berani berterus terang dengan kondisi yang aku alami.

Makanan sisa lebaran, masih menumpuk di ruang tamu.

Aku, tante mirna dan kedua anaknya sedang berkumpul di ruang tamu.

Bian masih makan bakso porsi keduanya.

Tante mirna mulai mengeluarkan rokok, dan menyalakannya.

Aku dan seli masih makan bakso, sambil bercerita soal teman online seli yang tinggalnya di cambodia.

"Kamu udah nggak main sama nura lagi dek", tanya tante mirna pada seli.

"Masih kok", jawab seli.

"Cuma nura masih di rumah neneknya, belum balik", ujar seli lagi.

"Masih belum pulang ya ayahnya nura", tanya tante mirna lagi.

"Belum ma, udah enam bulan, dan nggak ada kabar juga", jawab bian.

"Emang kemana ayahnya ma", tanya seli pada tante mirna.

Tante mirna kemudian mulai bercerita, kalau ayahnya nura, pergi meninggalkan nura dan keluarganya, enam bulan lalu.

Ayahnya pamit akan bekerja di luar kota, tapi setelah dua bulan, dia tidak bisa dihubungi.

Ibunya nura, yang merupakan ibu rumah tangga biasa langsung panik, karena dia harus memikirkan pengeluaran rumah tangganya bulan depan.

Nura adalah anak terakhir di keluarganya, dia dua tahun lebih muda dari seli.

Rian dan sabila adalah kakak nura, keduanya juga masih butuh biaya untuk sekolah.

Rian seumuran dengan bian, rian juga sahabat bian, dan sering main bersama bian setiap akhir minggu.

"Rian masih sekolah nggak bi", tanya tante mirna pada bian.

"Enggak, udah tiga bulan putus sekolah", jawab bian.

Aku kemudian menanyakan siapa mereka, dan tante mirna menjawab, kalau mereka adalah tetangganya dulu, saat tante mirna masih tinggal di bintaro.

"Terus rian sekarang kegiatannya apa", tanya tante mirna pada bian.

"Nganter nura sama bila sekolah ma, selain itu ya di rumah aja", jawab bian.

"Kenapa rumahnya nggak di jual aja, kan lumayan buat modal, terus bisa pindah ke rumah yang lebih murah", ujarku pada tante mirna.

Tante mirna menjawab, kalau sertifikat rumah keluarga nura, masih ada di bank, karena ayah nura mengajukan pinjaman untuk usaha, dengan menjaminkan rumahnya.

"Bisa di urus tante asal yang beli mau", ujarku lagi.

"Sertifikatnya atas nama orang tua ayah nura, makannya ibunya nura sekarang bingung", jawab tante mirna.

Menurut tante mirna, ibu nura juga baru mengetahui kalau sertifikat rumahnya ada di bank, saat dia ingin menjual rumahnya.

Ibu nura selama ini tidak pernah ikut campur dengan pekerjaan atau bisnis suaminya, dia hanya mendapatkan uang bulanan untuk mencukupi hidup.

"Udah ke rumah orang tua suaminya", tanyaku lagi.

"Udah, tapi katanya mereka juga nggak tau, anaknya kemana", jawab tante mirna.

Aku hanya menghembuskan nafasku mendengar cerita keluarga nura.

Seli kemudian menunjukan video lucu padaku, dan aku langsung tertawa.

Bian dan tante mirna yang penasaran juga ikut melihat, dan kita menertawakan isi video yang seli tunjukkan.

Aku lalu beranjak dari sofa, dan berjalan ke dapur, untuk mengambil minuman.

Untuk sampai ke dapur, aku hanya perlu berjalan sebanyak tujuh langkah dari ruang tamu.

Pintu dapur kotor sudah tertutup, tapi pintu kamar bian masih terbuka lebar.

Lampu di kamar bian, dan lampu di dapur dalam memang di matikan, karena cahaya dari lampu lorong sudah cukup.

Satu langkah lagi aku sampai dapur, aku kemudian berbalik ke kanan.

Ada sosok nenek, dengan ciput warna putih di kepalanya, mengenakan dress panjang kuno, dan juga memakai celemek di bagian depan tubuhnya, sedang berdiri di depan ricecooker.

Aku hanya terpaku, tangannya seperti sedang mengiris sesuatu, kemudian dia menggerakkan kepalanya untuk melihat ke arahku dan tersenyum.

Aku langsung lari ke ruang tamu.

"Te ada nenek-nenek", ujarku saat aku sudah ada di ruang tamu.

Tante mirna langsung jalan ke arah dapur, dan aku ikuti di belakangnya.

Sosok yang lima belas detik lalu masih aku lihat, sudah tidak ada lagi.

Tanganku masih dingin dan gemetar, ketakutan juga masih bisa terlihat jelas di wajahku.

Kita kemudian kembali ke ruang tamu, tante mirna mengambilkan minuman untukku.

"Mah kok rumahnya jadi tambah serem sih", ujar seli sambil mengusap punggungku.

"Sssttt", pinta tante mirna pada seli sambil meletakkan jari di mulutnya.

Semua langsung terdiam, tak ada yang berani bersuara.

Degupan jantungku, masih bisa ku dengar jelas, sosok nenek itu juga masih tergambar jelas di benakku.

Dia terlihat seperti nenek pada jaman belanda dulu, pakaiannya sangat kuno, senyumnya juga mengerikan dengan mata lebarnya.

"Apa dia yang dulu tinggal di rumah bintaro, ikut ke sini ya", gumam tante mirna.

Bian langsung melebarkan matanya, dan melihat mamanya.

"Yang sering bangunin mama jam tiga subuh", tanya bian.

"Iya", jawab tante mirna singkat.

Bian bercerita, kalau di rumahnya dulu, memang ada sosok nenek, yang seperti aku gambarkan, tapi cuma mamanya yang lihat.

Bian, seli, dan almarhum ayahnya dulu, tidak pernah sekalipun melihat sosok itu.

"Dia baik kok, nggak pernah nganggu, cuma sering ingetin aja untuk sholat malam", ujar tante mirna.

Aku hanya menggigit bibirku, baik darimana, senyumnya aja mengerikan gitu, pikirku dalam hati.

"Kalau baik mah nggak nampakin diri ma", ujar seli.

Aku setuju dengan seli, kalau memang penghuni lain di rumah ini baik, tidak perlu menampakan diri, dan berharap bisa berinteraksi dengan kita.

Jam sembilan malam, dan masih belum ada yang berani untuk beranjak ke dapur.

"Aduh pingin ke kamar mandi nih", ujar bian.

Tante mirna kemudian mengajak kita untuk ke dapur bersama.

Setelah menyalakan lampu dapur dan lampu kamar bian, kita kemudian menyelesaikan urusan kita.

Mencuci piring, juga bergantian masuk ke kamar mandi.

Setelah mengunci semua pintu, kita semua langsung masuk ke kamar tante mirna, dan mengunci pintunya.

Aku tidur di paling ujung, sampingku adalah seli, dan samping seli tante mirna, bian tidur di bawah dengan kasur tambahan.

"Matiin lampu dek", pinta tante mirna pada seli.

Setelah lampu kamar di matikan, kita kemudian sibuk dengan handphone kita masing-masing.

"Nggak mau panggil pak ustadz aja ma, biar di doain", ujar seli.

"Nggak usahlah, takutnya malah penghuni lain marah", jawab tante mirna.

Kita semua hanya menghembuskan nafas dengan berat, dan mulai lelah dengan semua gangguan yang ada.

Tak lama, kita mendengar pintu kedua rumah di ketok.

"Siapa tuh ma", tanya bian pada tante mirna.

"Udah diemin aja bi, ini udah malam", jawab tante mirna.

Pintu masih tetap di ketok selama satu menit, bian akhirnya bangun karena sudah tidak tahan.

Bian lalu keluar kamar dan membuka pintu kedua, tapi tidak ada siapapun, bian langsung mengunci pintunya lagi, dan lari ke kamar tante mirna.

"Siapa bi", tanya tante mirna.

"Nggak ada orang ma", jawab bian.

Baik aku, seli, dan tante mirna langsung terdiam, kita kemudian menarik selimut dan tenggelam dalam ketakutan masing-masing.

***

Terpopuler

Comments

Hilda Banuri

Hilda Banuri

felem horor

2022-10-28

0

V_nee ' wife Siwonchoi ' 🇰🇷

V_nee ' wife Siwonchoi ' 🇰🇷

Hidup mereka lebih tegang daripada di tagih depcolector 🙄

2022-07-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!