Yanto yang tampaknya sudah terbawa emosi akhirnya tetap memaksakan diri membawa Tita pulang ke rumahnya sendiri.
Pikirannya yang ruwet kini rasanya seperti gelap seluruhnya.
Memang bisa dimaklumi, kondisi kejiwaan Yanto yang pada dasarnya memang sedang tidak tenang, kini semakin tak menentu karena kejadian pagi tadi dan juga di rumah orangtuanya.
Ibunya yang melihat Yanto membawa pulang Tita begitu saja, sampai menangis tersedu-sedu karena menganggap Yanto sangat keterlaluan.
Tapi Mbak Ukha dan Lukman menahan Ibu yang terus saja membujuk Yanto tetap tinggal meski sambil menangis dan sedikit emosi.
Adzan Maghrib berkumandang dari mushola dan masjid, saat Yanto kembali ke rumahnya sendiri bersama anak sulungnya.
"Kita tinggal di rumah lagi saja, tidak apa-apa, nanti dede bayi juga akan Bapak bawa pulang."
Kata Yanto pada Tita yang mengangguk sambil turun dari mobil.
Gadis kecil itu mengikuti Ayahnya menuju pintu utama rumah. Di atas sana langit sudah mulai surup.
Matahari telah benar-benar condong ke sebelah barat, bahkan sudah mulai tenggelam, tak terlihat lagi sinarnya yang terang benderang.
Yanto memutar kunci rumah, yang tak berapa lama kemudian ia akhirnya bisa membuka pintu itu.
Tita masuk lebih dulu, baru kemudian Yanto menyusul dan menutup pintunya.
Yanto menyalakan lampu ruangan tamu, sementara Tita berjalan langsung ke kamarnya yang berada di urutan kedua setelah kamar tamu.
Sedangkan kamar utama di mana kedua orangtuanya biasa tidur ada di seberang kamar Tita, namun dengan pintu menghadap ruang depan.
Tita masuk kamarnya, Yanto menyusul untuk membantu menyalakan lampu.
"Pa, Tita lapar."
Kata Tita.
"Kamu belum makan?"
Tanya Yanto.
Tita tampak menggeleng.
Yanto yang begitu mendengar Tita lapar jadi ingat ia juga beberapa hari ini tidak sempat makan, tiba-tiba ia juga jadi ingin makan sesuatu.
"Tita ingin makan sate ayam."
Kata Tita lagi.
Yanto mengangguk,
"Ya, nanti Bapak belikan."
Jawab Yanto.
Tita tentu saja senang.
Saat di rumah neneknya, Tita memang tak begitu semangat makan karena lauk di sana tidak sesuai seleranya.
Tita yang terbiasa makan selalu ditanya ingin makan apa, begitu di rumah Neneknya, ia harus makan yang sudah ada di atas meja.
"Lepas Maghrib nanti Bapak keluar sebentar, Tita tidak apa-apa ditinggal sendirian di rumah?"
Tanya Yanto.
Tita mengangguk,
"Tidak apa."
Jawab Tita santai, ia terlihat sibuk menata buku-buku sekolahnya yang ada di atas meja belajar.
Tita tidak mau jika nanti Mamanya akan memarahinya karena bukunya berantakan.
"Kalau ada yang bilang Mama jadi hantu jangan percaya."
Kata Yanto lagi, Tita mengangguk mengerti.
"Tita memang tidak percaya Mama jadi hantu, kan hantu itu menakutkan, sedangkan Mama tidak."
Kata Tita polos.
Yanto mengangguk saja, ia tahu jika Tita hanya sedang merindukan sosok Ibunya, tak ada yang salah bagi Yanto, jika Tita berhalusinasi sedikit, daripada dia sedih.
Begitulah aslinya Yanto berpikir.
Itu sebabnya, Yanto sangat kesal dan kecewa dengan apa yang dilakukan oleh kakaknya. Ia merasa Mbak Ukha terlalu berlebihan menyikapi Tita yang bicara mandi ditemani Mamanya.
Kenapa harus setakut itu?
Tita hanya anak kecil yang sedang sangat sedih ditinggalkan Ibunya.
Kenapa tak biarkan saja ia berhalusinasi agar kesedihannya bisa berkurang?
Batin Yanto.
Yanto pun berjalan menuju kamarnya sendiri, kamar yang beberapa hari kosong.
Tadi siang ia sempat tidur di rumah, tapi tidur di sofa ruang tamu saat mengobrol banyak hal dengan Winda.
Sadar-sadar, ternyata Winda sudah pulang, dan hanya meninggalkan pesan jika ia tak mau mengganggu Yanto yang sepertinya kelelahan.
Ah ya, benar, aku belum menghubungi Winda untuk minta maaf karena ia tinggal tidur saat Winda sedang sibuk bercerita tentang kisah hidupnya.
Yanto masuk ke dalam kamar, saat di mana ia masuk itu, entah kenapa ia seperti merasa ada hembusan angin dingin di sekitar tengkuknya.
Hanya sekilas, hanya selewat saja.
Yanto sempat menoleh ke arah belakangnya, namun tak ada apapun.
Dinyalakannya kemudian lampu kamarnya hingga kamar itu terang karena seluruh lampu di kamar itu menyala, termasuk juga lampu di figura foto Yanto dan Mirna saat menikah.
Foto pernikahan mereka, di mana Yanto dan Mirna tampak begitu serasi, dengan Mirna berbalut gaun putih cantik, dan Yanto dengan setelan jas hitam yang tampak gagah.
Sesaat Yanto menatap foto pernikahannya itu, teriris kembali hatinya, karena ia merasa waktu kebersamaan mereka ternyata sangatlah sebentar.
Andai Yanto tahu jika kehamilan Mirna yang kedua ini ternyata bermasalah dan berisiko untuk Mirna, pastinya Yanto sudah memilih agar Mirna menggugurkan saja sejak awal.
Yanto terduduk lemah di sisi tempat tidur, rasanya hatinya kembali hancur.
Ia merindukan Mirna lagi.
Wajahnya, senyumnya, aroma tubuhnya, kelembutannya, ah Yanto sungguh tak tahu apakah ia sungguh-sungguh akan bisa melewati semuanya ke depannya, sedangkan ini baru tiga hari saja rasanya begitu berat.
Yanto matanya kini tampak berurai air mata. Dadanya terasa seperti mau pecah karena kesedihan yang teramat besar.
"Mir... Mirna, pulanglah Mir... Aku merindukanmu."
Lirih Yanto yang lantas berbaring meringkuk di atas tempat tidurnya.
Tak menyadari sesosok perempuan berdiri di sudut ruangan menatapnya dengan tak kalah sedih.
Air matanya mengalir hingga membasahi wajahnya yang pucat. Air mata darah itu bercucuran, seolah tak mampu berhenti karena ia pun tak mampu melakukan apapun kecuali menatap Yanto dalam kesedihan yang sama.
**-------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Suharnani
makannya pilih" alias rewel
2024-09-06
0
Suharnani
Ini nih, tanda"anak manja
2024-09-06
0
novita setya
ikhlaskan & doakan mirna yan..nek ngene trs ngabot2i jln mirna plg ke rahmatullah
2024-04-17
0