"Di mana gadis itu, jawab?!" hardik anak buah Lucas pada salah satu pegawai Rumah Sakit tempat Amanda bekerja. Dia mengikat leher pegawai tersebut pada tiang melintang di bawah atap kamar jenazah dengan sebuah kursi menopang kedua kaki.
"Ga-gadis yang mana Tuan? Ada banyak pasien datang berobat ke Rumah Sakit ini," gugup pegawai tersebut. Matanya berurat merah sebab merasakan malaikat maut seakan berputar-putar di atas kepala.
Anak buah Lucas memperlihatkan potongan foto. "Ini! Kemarin siang dia dibawa ke sini, 'kan?"
Kelopak mata menyipit, tengah mengingat sosok di dalam foto tersebut. "I-iya... kemarin anak itu dirawat di Rumah Sakit ini. Tapi keesokan paginya sudah dibawa pergi."
"Ke mana?" tanya orang suruhan Lucas. "Dan dibawa oleh siapa?" tanyanya lagi.
"Sa-saya tidak tahu Tuan. Tolong lepaskan saya. Saya benar-benar tidak tahu perihal pasien itu," jawab wanita paruh baya merengek.
"Benarkah?" Pria bertubuh besar menggoyang-goyangkan kursi yang menjadi pijakan kaki. "Jangan main-main dengan kami. Karena apa? Karena kami tidak segan-segan membuatmu mati sekarang juga!" Ia menendang kursi tersebut. Wanita itu gelagapan sebab jeratan tali tambang perlahan mencekik lehernya.
Dirasa sudah cukup memberikan pelajaran, orang suruhan Lucas membetulkan kembali posisi kursi itu ke tempat semula. Wanita dengan setelan blazer merah muda akhirnya bisa menghirup napas kembali. Meski kini, ia merasakan sesak di dada dan nyeri di sekeliling leher.
"Bagaimana, sudah cukup main-mainnya? Atau, kita mau membuat permainan baru?" Pria dengan wajah sangar mengeluarkan pisau lipat dari dalam saku celana lantas membukanya. Dia menggesek-gesekkan senjata tajam tersebut ke atas bibir sanderanya. "Kira-kira kalau benda ini aku tusukkan ke dalam kerongkonganmu, bagaimana rasanya ya?" tanyanya bernada mengerikan.
Pundak wanita itu bergetar hebat sebab ia tengah menangis serta dilanda ketakutan. Kepalanya bergeleng-bergeleng memohon untuk diberi pengampunan. "Jangan sakiti saya, Tuan... kalau saya mati, kasihan anak-anak saya...."
"Maka dari itu, cepat katakan ke mana anak perempuan itu dibawa? Dan oleh siapa?" sentak anak buah Lucas tidak sabar. Sebab waktu terus berjalan. Semakin lama mereka bergerak, akan sangat membahayakan diri sendiri dan komplotannya.
"Ba-baik, sa-saya a-akan memberitahu Anda. Tapi se-setelah i-itu, le-lepaskan sa-saya..." sahut wanita itu kesulitan berbicara karena jalan napasnya masih tersekat.
"Bagus... katakan sekarang juga. Jangan mengulur-ulur waktu kami lagi!"
"Ga-gadis yang kalian maksud dibawa oleh dokter Matthew Alonzo ke Delonix Psychiatric Hospital (Rumah Sakit Jiwa Delonix). Karena dia dan kekasihnya yang membawa gadis itu ke Rumah Sakit ini," ungkap wanita nahas kepada para penjahat. "Sa-saya sudah mengatakan semuanya. Jadi, tolong lepaskan saya..." isaknya. Dia sangat berharap orang-orang yang menyanderanya menepati janji.
"Terima kasih atas informasinya, Nyonya," ucap salah satu anak buah Lucas. "Semoga Tuhan memberkati Anda!" Pria kejam itu mendepak kaki-kaki kursi hingga berguncang kemudian terjatuh. Tubuh pegawai Rumah Sakit itu melayang dengan leher terjerat kuat. Dalam hitungan beberapa detik, ajal sudah menjemputnya. Ia tewas mengenaskan, di kamar jenazah.
"Hilangkan semua barang bukti, sidik jari juga lainnya. Pastikan polisi tidak menemukan apa pun yang bisa menyusahkan kita. Atur semuanya, agar wanita ini seolah murni bunuh diri!" titah si ketua komplotan lebih dahulu bertolak dari ruangan dingin dan lembab itu.
"Siap, Bos!!" jawab dua orang anak buahnya.
Perlahan, keberadaan Ivana sudah terdeteksi musuh. Keselamatan gadis itu beserta Matthew kini terancam karena Lucas tidak akan membiarkan siapa pun yang berhubungan dengan bisnis gelapnya, akan hidup dengan tenang.
...***...
"Papa punya utang penjelasan padaku." Amanda menagih janji sang ayah untuk menceritakan apa yang telah terjadi, hingga kondisi rumah dengan wajahnya sama-sama mengenaskan. Amanda menatap lekat netra Omran, menanti jawaban dari apa yang bersarang di dalam akal pikiran. "Kenapa Papa masih diam saja?" protesnya sebab pria tua itu memilih diam seribu bahasa. Amanda mendengkus kasar, lalu merebahkan kepala ke sandaran kursi.
Omran menoleh ke arah Amanda seraya menghela napas. "Tapi Papa minta, kamu jangan marah apalagi murka."
"Lagi pula, kenapa Manda harus marah?" Gadis bernetra biru safir mengangkat kedua bahunya. "Manda tidak mungkin marah sama Papa karena Papa satu-satunya harta berharga yang Manda punya." Amanda menegakkan badannya lalu merengkuh pundak sang ayah. Dia merasa masih menjadi gadis kecil yang ingin selalu dimanja oleh lelaki yang menjadi cinta pertamanya.
Omran menepuk-nepuk lembut pipi Amanda. Hatinya berdesir, antara merasa bersalah juga keinginan untuk hidup enak, bila putri semata wayangnya itu menjadi istri saudagar kaya raya.
"Kamu sudah punya kekasih?" tanya Omran berbelit-belit. Dia mencari kalimat yang pas untuk bisa mengatakan kalau sebentar lagi akan ada pria yang meminang putrinya.
Amanda berdecih, "Ayolah Pa... jangan mengalihkan pembicaraan. Amanda harus tahu, apa yang sebenarnya terjadi!"
"Jawab dulu, baru Papa akan menjelaskan semuanya," sergah Omran.
"Iya... Manda sudah memiliki kekasih. Tadinya hari ini, dia mau ketemu Papa. Tapi tidak jadi, ada urusan lebih penting," jelas Amanda tiba-tiba merindukan sang pujaan hati.
"Mulai sekarang, akhiri hubunganmu dengan pria itu dan pria mana pun!" seru Omran tegas. Perkataannya sontak melonjakkan perasaan sang anak. Bagaimana mungkin jalinan yang sudah dirajut selama tiga tahun, harus pupus begitu saja tanpa alasan yang jelas.
"Ta-tapi kenapa, Pa?" Amanda tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Papa... sedang mengerjaiku, 'kan? Papa tidak sungguh-sungguh, 'kan?" lirihnya berharap perkataan Omran hanya sekedar lelucon.
"Apa kamu melihat raut Papa sedang bercanda, Manda? Apa omonganku terdengar sebuah bualan?" jawab Omran. Namun, dengan sebuah pertanyaan.
Amanda menggeleng lemah. "Lalu kenapa Pa? Manda benar-benar tidak mengerti. Manda pulang itu karena mengkhawatirkan Papa, bukan mau membahas masalah percintaan Manda!"
"Itu karena... Papa sudah menjodohkanmu dengan pria mapan. Pria kaya raya yang pastinya akan membuat hidup kita tidak sesengsara seperti saat ini," kilah Omran.
Amanda tertawa hambar dan mengusap mata yang tiba-tiba sembab. "Tapi Pa...."
"Sudah! Tidak ada tapi-tapi. Pokoknya kamu harus menikah sama laki-laki pilihan Papa. Papa tidak mau mendengar bantahan atau apa pun dari mulutmu itu!" sentak Omran tidak menjelaskan alasan yang sebenarnya. Dia menarik tubuhnya dari atas kursi meninggalkan Amanda yang masih bertanya-tanya. "Dan satu lagi, kamu tidak usah kembali ke kota. Kirimkan saja surat pengunduran dirimu. Karena kamu akan menikah dalam waktu dekat ini!" perintah Omran seraya pergi dari hadapan putrinya.
Amanda berteriak memangil sang ayah. "Pa... Papa... kita belum selesai bicara! Papa belum menjelaskan semuanya secara gamblang!"
Amanda terus bersuara meski Omran mengabaikan teriakan dan rengekannya. Pria itu masuk ke dalam kamar lalu mengunci dirinya sendiri. Gadis itu terisak, kecewa pada Omran dan merasa menyesal lantaran telah bertolak ke desa dan meninggalkan Mathhew di kota.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
kalo yg begini ini komenku cuma..... sadiiiiiis.... tegaaaa banget....😭😭😭😭
2022-07-11
2
langit biru
hadeuh pak lucas dan anak buahnya kejem"y ternyata...dah gak berani ngomenin pak lucas dah🥶.takut ilang nama aku ntar
2022-06-15
2
🍁𝐌𝐈❣️💋🄽🄸🄻🄰-🄰🅁🄰👻ᴸᴷ
Masih penasaran 🤔🤔🤔🤔🤔
2022-06-08
3