Amanda dan Matthew berhasil menyeret tubuh gadis asing ke tepian pantai. Muka gadis itu begitu pucat dengan bibir yang sedikit membiru karena terlalu lama mengapung di air laut.
"Kamu membuatku takut, Amanda!" desah Matthew membaringkan tubuhnya di atas pasir putih. "Lain kali kalau ada sesuatu yang kamu lihat, beritahukan padaku jangan main pergi seperti tadi!" kesalnya karena rasa khawatir.
Amanda lagi-lagi tidak menghiraukan Matthew. Saat ini dia tengah fokus dengan gadis yang ditolongnya. Berkali-kali dia memompa dada, agar air yang tertelan bisa keluar.
"Matthew, bantu aku!" sentak Amanda tidak ingin kehilangan nyawa perempuan asing itu. Dia terus menekan kuat-kuat dada sang gadis seraya mengecek napas dan detak jantungnya. "Dia masih hidup, kita harus menolongnya!" Amanda mencoba memberi napas buatan. Namun, gadis itu masih tetap seperti semula.
Sekarang giliran Matthew. Dia melakukan hal sama yang dilakukan oleh Amanda, kecuali memberi napas buatan. "Come on, girl!!"
"Wake up!!" Matthew menekan lebih kuat. Dia turut merasa tegang meski gadis itu tidak dikenalnya.
Gadis dengan rambut sebahu akhirnya siuman seraya terbatuk-batuk. Air laut yang tertelan, keluar dengan sendirinya. Akan tetapi, kondisi tubuhnya sangatlah lemah. Dia kembali terkulai dengan mata terkatup rapat.
"Kita harus segera membawanya ke Rumah Sakit!" lontar Amanda.
"Tapi kita tidak tahu siapa sebenarnya gadis ini!" sergah Matthew. "Coba cek di bajunya, apa ada tanda pengenal?" Matthew ingin memastikan kalau gadis itu bukan penjahat atau buronan yang tengah melarikan diri dari pengejaran polisi.
"Ayolah Matthew, sekarang bukan saatnya mempertanyakan itu semua. Nyawa perempuan ini jauh lebih penting!" sentak Amanda kesal.
Matthew mengangguk, terpaksa mengiyakan perkataan Amanda. Keduanya langsung bergerak cepat, mengenakan pakaian kembali dan melupakan makan siang romantis yang belum selesai.
Tidak perlu menghabiskan waktu lama, gadis yang ditolong Amanda sudah berada di dalam mobil Matthew. Ia akan dibawa ke Rumah Sakit tempat Amanda bekerja untuk diberikan pertolongan.
"Kamu duluan saja, aku menyusul di belakang karena tidak mungkin juga meninggalkan kendaraanku di sini," ungkap Amanda pada kekasihnya. Dia lalu berjalan cepat ke arah tempat parkir khusus motor. Sedangkan Matthew menuruti perkataan Amanda untuk melesat terlebih dahulu.
Dua kendaraan memacu kecepatannya di atas normal. Melewati jalanan berkelok juga turunan tajam. Keselamatan diri sendiri pun tidak dihiraukan, yang mereka pikirkan adalah sesegera mungkin untuk sampai di tempat tujuan.
...***...
Pencarian terus dilakukan, Lucas mengerahkan semua anak buahnya untuk memburu Ivana ke seluruh penjuru. Mereka tidak ingin pulang dengan tangan kosong sebab keselamatan diri sendiri tengah dipertaruhkan.
Sudah berjam-jam lamanya beberapa perahu terkapung-kapung di lautan luas. Para penyelam pun masih terus berusaha untuk melacak keberadaan gadis itu. Sayangnya, tidak ada satu pun yang menemukan Ivana.
Raut-raut penuh keputus asaan terlihat jelas di wajah mereka. Gestur tubuh mengatakan bahwa semua orang telah lelah dan pasrah. Di lautan luas seperti ini bukan hal mudah mencari tubuh seseorang karena tidak tahu ke arah mana ombak menyapunya.
"Bagaimana, apa kalian sudah menemukan titik terang?" tanya Lucas pada orang kepercayaannya. Pria yang menundukkan kepala serendah-rendahnya, hanya menggelengkan kepala. "Tolol!!" Sebuah tembakan meluncur ke arah kepala pria tersebut. Tubuhnya roboh, dia mati mengenaskan.
"Siapa lagi yang mau aku buat mati?" Lucas membidikkan senjata api ke arah kening lima anak buahnya. "Jawab!!" Semua terdiam. Dan lima tembakan menyambar tanpa celah ke arah kepala-kepala si anak buah. Lantai yang awalnya bersih, kini bersimbah darah. Bau amis merebak, Lucas tertawa melihat jasad2 yang terbujur kaku karena ulahnya.
"Hukuman yang pantas buat manusia-manusia tidak berguna seperti kalian adalah maut! Karena untuk apa juga kalian hidup? Hanya akan menjadi sampah!!" Tanpa rasa belas kasih sedikit pun, Lucas meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan tersebut lalu berjalan santai. Dia melemparkan pemantik api ke arah belakang. Ruangan tersebut meledak beserta tubuh-tubuh tak bernyawa di dalamnya.
...***...
Dara bernetra emerald, sekarang sudah berada di Rumah Sakit dalam penanganan dokter. Beruntung sekali gadis itu dipertemukan dengan Amanda dan Matthew di waktu yang tepat. Karena terlambat saja satu detik, maka nyawanya akan melayang tak tertolong.
Sudah tiga jam, ia terbaring kaku di atas ranjang pasien. Cairan infusan menetes cepat mengaliri tubuhnya dengan selang oksigen tertanam di dalam hidung.
"Kamu pulanglah... biarkan dokter dan suster yang merawat perempuan asing ini," titah Matthew lantaran Amanda nampak sekali kelelahan. Berkali-kali dia menguap menahan rasa kantuk yang semakin menyergap.
Amanda menggelengkan kepala. "Nanti malam saja aku pulang. Masih penasaran dengan kondisi gadis ini. Dia terlihat seperti anak baik-baik, mungkin terpisah dari kedua orangtuanya."
Matthew mendengkus karena mau secerewet apa pun berbicara, Amanda pasti akan menolak mentah-mentah sarannya. Kepedulian Amanda pada orang lain sering kali melupakan hak-hak dirinya sendiri yang juga memerlukan perhatian.
"Terserah kamulah, aku cuman tidak ingin kamu sakit," ungkap Matthew.
"Iya-iya... tenang saja aku, 'kan, kuat!" Amanda menarik tangan kanan ke bawah dan memperlihatkan otot bisepnya. Tidak lama dari berkata seperti itu, hidungnya bersin-bersin.
"Nah, 'kan!" tegur Matthew. "Mana yang katanya aku kuat?" Dia mengangkat kedua alisnya berbalik menekan kekasihnya itu.
Amanda hanya terkekeh dan memamerkan deretan gigi putih dengan gingsul di sebelah kiri. "Aku cuman bersin-bersin saja. Tidak kenapa-kenapa kok!"
"Dasar bebal!" omel Matthew.
"Iya-iya, aku pulang. Aku nurut!" tegas Amanda menautkan tas kerjanya ke atas pundak.
"Gitu dong, cantik!" Matthew menjimpit dagu kekasihnya. "Aku antar pulang ya. Biar motormu, diantarkan oleh office boy di sini," usulnya tak ingin dibantah lagi.
Amanda mengangguk lemah, memilih untuk menuruti perkataan kekasihnya karena saat ini dia tidak ingin mendebatkan sesuatu yang tidak penting. Kedua sejoli itu berjalan keluar ruang perawatan, tetapi langkah keduanya terhenti tiba-tiba. Sebab mendengar suara lirih dari arah belakang.
"Kak... jangan tinggalkan Ivana, Kak...."
"Ivana takut...."
"Ivana kedinginan di sini...."
Amanda bertatapan dengan Matthew dan memutar kepala berbarengan menengok ke arah gadis yang mereka tolong. "Anak itu!"
Keduanya berjalan kembali ke arah ranjang pasien untuk melihat kondisi gadis yang tengah meracau pilu. Amanda menepuk-nepuk lembut pipi gadis itu agar tersadar dari mimpi buruknya.
"Hey... bangun. Kamu selamat, kamu sudah tidak kedinginan lagi," ujar Amanda.
"Jangan bunuh kakakku, jangan tembak dia. Kumohon ...."
"Jangan pergi kak, Ivana butuh kakak....!!" pekik si perempuan asing.
"Kakak pengkhianat. Kakak sudah membohongiku! Aku benci kakak...!! Ia lalu terbangun dari pingsannya dan menatap ke sekeliling dengan tubuh bergetar karena ketakutan.
Gadis malang itu melihat ke arah Amanda dan sontak melemparinya dengan bantal. "Aku tidak mau melihat kakak. Kakak pembohong, kakak mengkhianatiku....!!"
Amanda merentangkan kedua tangan ingin menenangkan. Akan tetapi, gadis itu berteriak semakin histeris. Matthew terpaksa mendekap gadis yang baru ditemuinya agar tidak menyerang Amanda.
"Kamu sudah aman di sini. Tenang ya...."
Perempuan berusia tujuh belas tahun itu langsung saja meringkuk di dalam dekapan Matthew seakan telah mengenalnya sejak lama. Amanda mengusap-usap dadanya sendiri karena hampir saja gadis itu melempar pisau ke arahnya dan mencabut jarum selang infusan.
"Kamu tidak apa-apa?" Matthew cemas karena wajah Amanda berubah pias.
"A-aku baik-baik saja." Amanda menelan saliva karena saat ini dia tengah berbohong. "Sebaiknya kita pindahkan gadis ini ke Rumah Sakitmu. Di sini aku mencium sesuatu yang tidak beres," duga Amanda melihat gerak-gerik dari gadis yang didekap Matthew.
"Tapi...." timpal Matthew.
"Tidak ada tapi-tapi," potong Amanda. "Sepertinya dia trauma berat. Dan Rumah Sakitmu, tempat yang pas untuk memulihkan kondisinya. Selain itu, posisinya juga jauh dari pantai," tambahnya dengan kalimat ambigu.
Matthew menyetujui saran Amanda karena dia merasakan apa yang dipikirkan kekasihnya itu bisa dipahami secara logika.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
aku juga mencium sesuatu
2022-07-10
1
Irma Kirana
Semangat kak senja 😘🥰
2022-06-20
2