"No garlic, bread, margarine, cheesee and anything else?" tanya Amanda sembari membuka lemari dapur. Pagi ini dia berniat menyiapkan sarapan untuk ayahnya. Namun, tidak menemukan bahan makanan apa pun untuk diolah. "Uang yang aku kirim setiap bulan dipakai buat apa saja, Pa?" tanyanya lagi heran. Padahal selama ini dia selalu memenuhi kebutuhan hidup sang ayah. Sedangkan dirinya sendiri berjuang dalam keterbatasan materi.
Bibir Omran bergerak-gerak, tetapi tidak mengeluarkan suara. Lantaran dia tak mampu menjawab pertanyaan Amanda yang dilontarkan kepadanya.
"Papa mau menjawab apa?" Amanda lagi-lagi dibuat penasaran oleh sikap aneh sang ayah. Bola mata Omran berputar ke sana ke mari, tengah memikirkan alasan yang tepat untuk membela diri.
"I-itu uang yang kamu kasih, habis dipakai untuk Papa berobat. Kemarin-kemarin Papa sakit, Nak..." Omran berkilah untuk menutupi semua kesalahan. Pada kenyataannya uang tersebut ludes lantaran digunakan untuk berjudi, bermabuk-mabukkan juga bermain jalangg.
Amanda menghela napas lantas menghampiri Omran yang duduk bersandar di kursi makan. Dia merangkul pundak pria itu dan bicara begitu lembut. "Kenapa Papa tidak bilang sama Manda kalau Papa sakit? Manda, 'kan, bisa mengirimkan uang lebih untuk keperluan lainnya."
Omran menarik tangan sang anak dan menggenggam erat. "Papa malu minta uang terus sama kamu. Lagi pula Papa juga tahu kamu di kota hidup pas-pasan. Tidak tega rasanya kalau Papa membebanimu terus-terusan."
Amanda merekatkan pelukannya. Meski pun masih membekas rasa kecewa atas "kejutan" yang diberikan Omran. Tetapi, ayah tetaplah ayah baginya. Kasih sayang tiada batas hanya tercurah untuk laki-laki yang amat berarti.
"Lain kali kalau Papa lagi kesusahan, jangan sungkan-sungkan bilang sama Manda. Selama ini aku kerja di kota mengumpulkan uang buat siapa, kalau bukan buat Papa?!" ujar Amanda tidak ingin melepaskan rengkuhannya.
Amanda begitu menyayangi pria tua itu karena selepas kematian sang ibu beserta adik perempuannya tujuh belas yang lalu. Omranlah yang berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuknya. Mengurus juga membesarkan dengan penuh kasih sayang.
"Papa sudah lapar ya?" tanya Amanda karena mendengar suara kriuk-kriuk dari perut sang ayah.
"Belum kok, Nak. Papa belum lapar. Biasanya, 'kan, sarapan pukul sembilan pagi," jawab Omran melihat jam di tangan kanan.
"Papa tunggu sebentar ya. Manda mau membeli kebutuhan rumah dulu ke grocery. Nanti, aku buatkan sarapan kesukaan Papa," tawar Amanda berseri-seri. Tanpa menunggu persetujuan sang ayah, gadis itu melepas dekapannya dan langsung beranjak ke dalam kamar guna mengganti pakaian juga membawa uang secukupnya.
"Aku pergi dulu ya Pa," teriak Amanda dari lawang pintu. Kedua kaki melangkah dengan derap cepat, menuju tempat yang dituju.
Lima belas menit berlalu, dara cantik itu telah sampai di sebuah toko bahan makanan. Matanya memperhatikan sekitar yang sudah banyak berubah sejak setahun terakhir. Ia pun melanjutkan langkah, untuk memasuki bangunan yang sekelilingnya hanyalah kaca.
"Roti gandum sudah, margarin, almond, olive oil (minyak zaitun). Apa lagi ya?" Amanda mengingat-ingat bahan makanan yang akan dibeli. Dia terus berjalan mengitari toko tersebut sembari mencatut apa pun yang dibutuhkan.
Keranjang pun kini sudah dipenuhi oleh segala macam kebutuhan. Dirasa sudah lengkap, Amanda menyudahi aktifitasnya pagi ini di toko tersebut. Dia beranjak ke arah cashier untuk membayar belanjaan dan kembali ke rumah sesegera mungkin.
Pagi ini, toko bahan pangan dalam keadaan ramai. Gadis itu harus rela mengantre lebih lama di depan tempat pembayaran. Akan tetapi, seorang pemuda tiba-tiba muncul dari arah samping dan menyerobot antrean tanpa rasa bersalah.
"Hey, apa matamu buta?" geram Amanda pada pemuda yang memunggunginya acuh tak acuh. "Hello... aku bicara sama kamu!" tegur Amanda menarik pundak lelaki tersebut agar menghadap ke arahnya. Biji mata terbuka sempurna sebab laki-laki yang berdiri di hadapannya kini adalah laki-laki menyebalkan, yang tidak ingin dia jumpai. Tetapi, takdir malah mempertemukannya kembali.
"Kita berjumpa lagi Nona barbar!" ledek pemuda tersebut mengerdipkan sebelah mata. "Bukankah... aku sudah berjanji kalau kita akan bertemu lagi?" tukasnya membuat Amanda semakin kesal.
"Ini hanya kebetulan!" sahut Amanda disertai sorot mata menantang.
Jarak antara keduanya begitu dekat. Dan saat ini, dua pasang mata bersitatap dengan isi pikirannya masing-masing. Pemuda itu mencondongkan wajahnya hingga tak berjarak. "Kata orang zaman dulu kalau serba kebetulan. Itu namanya jodoh!"
Saliva ditenggak kasar, kepalan tangan menggumpal. Deru napas kian memburu, amarah memuncak tak kenal waktu. "Berjodoh dengan laki-laki kurang etika sepertimu? Lebih baik, aku menjomlo seumur hidup!"
"Menjomlo itu tidak enak, Nona. Tidak bisa merasakan namanya surga dunia. Tapi aku jadi curiga, apa jangan-jangan... kamu ini seorang penyuka sesama jenis?" cibir pemuda itu berucap sekenanya.
Amarah sudah berada di ujung tanduk. Amanda tidak bisa lagi menahan diri. Lututnya bergerak cepat dan dalam hitungan detik mengenai area terlarang pemuda tersebut. Saat ini lelaki itu melompat-lompat lantaran menahan rasa sakit yang menyerang bagian vital tubuhnya.
"Ah... dasar wanita barbar!" pekik pemuda itu memegangi bagian tengah selangkangannya. Kerutan di atas dahi cukup menjelaskan bagaimana rasa ngilu yang dia derita.
"Mau aku tambahi lagi?" tantang Amanda. Karena dia tidak ragu-ragu untuk menyerang pemuda itu kembali kalau masih bersikap kurang ajar padanya.
Antrean semakin memanjang dan Amanda didesak untuk bergerak maju. Kondisi toko bertambah ricuh lantaran pertikaian antara sepasang anak Adam tersebut.
"Ayo cepat maju!" teriak seseorang. "Kalau kalian mau terus bertengkar, keluar saja dari barisan!" teriaknya lagi yang didukung semua orang.
Amanda menengok ke belakang lalu menarik kepalanya ke bawah. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya ciptakan."
Gadis itu melangkah ke depan sembari mendepak kaki pemuda asing itu dari dalam antrean. Matanya mengerling senang sebab kali ini dia berhasil mengalahkan lelaki mengesalkan itu.
...***...
"Mana putrimu, Omran?" tanya Lucas yang baru saja datang ke kediaman calon istrinya.
Omran yang tengah menonton tivi tentu saja terkejut dengan kedatangan Lucas di rumahnya. Belum dia sempat menjawab, pria kejam itu sudah lebih dahulu melancarkan tuduhan. "Jangan bilang, kalau gadis itu sudah kembali ke kota lantaran kamu yang menyuruhnya?"
Omran geleng-geleng kepala dengan tubuh gemetaran sebab Lucas mengeluarkan sebuah belati dari dalam sepatu boot-nya. Dua orang bertubuh kekar mengelilingi Omran dan Lucas membungkukkan badan.
"Belati ini sudah aku beri racun mematikan. Sekali saja menggores kulit keriputmu itu. Maka sedetik kemudian, kamu sudah berada di neraka!" tekan Lucas.
Wajah berubah pias disertai keringat dingin yang menitik dari dalam pori-pori. Omran tertawa hambar lalu menelan ludah sebelum menjawab. "Jauhkan itu dari wajahku, Tuan Lucas! Gadismu aman, tenang saja tidak perlu khawatir."
"Di mana dia?" sentak Lucas tidak sabar ingin segera bertemu dengan perempuan yang akan dinikahinya itu.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
amanda parah... rumah produksi orang ditendang gitu aja..🤪🤪🤪
2022-07-15
2
langit biru
amanda bar bar sekali...😄
2022-06-15
3
🍁𝐌𝐈❣️💋🄽🄸🄻🄰-🄰🅁🄰👻ᴸᴷ
Sadis banget si kakek Lucas 🙄🙄
2022-06-09
6