HP-nya berbunyi. Shasa segera mengangkatnya. Rupanya kulkas dan televisi telah datang bersama teknisinya. Ia segera menjemputnya ke lantai dasar. Setelah diperbolehkan oleh pihak sekuriti, mereka bersama-sama naik dengan sekuriti lewat lift khusus barang sedang Shasa lewat lift biasa. Barang dibawa masuk dan dipasang di tempat yang sudah ditentukan. Hanya memasang TV yang agak lama karena di tempel pada dinding.
Tiba-tiba Abra masuk membawa kopernya. "Oh, sudah datang?"
Ia mengedarkan pandangan melihat ke sekeliling. Terlihat apartemennya sudah mirip tempat tinggal yang nyaman. Ada lemari es, rak, mesin pemanggang roti, dan barang-barang lainnya yang ikut meramaikan isi apartemennya yang cukup besar untuk dirinya yang masih sendiri itu.
"Kakak mau masukin baju? Lemarinya sudah ada Kak," Shasa memberi tahu.
"Oya? " Abra bergegas membawa kopernya ke dalam kamar. Benar saja, kamarnya sudah terisi lemari dan meja di dalamnya. Ia juga melihat tempat tidur yang akhirnya sudah dipasangkan sprei oleh Shasa. Ia merasa lega.
"Mbak, sudah selesai," ucap seorang teknisi.
"Oh iya," Shasa yang tadinya mengekor Abra, kini kembali keluar sedang Abra menyentuh tempat tidurnya yang terasa empuk.
Pria itu sudah membayangkan tidurnya yang nyenyak di atas tempat tidur itu. Senangnya ....
"Sudah semua kan Kak? Aku boleh pulang?"
"Eh, siapa bilang." Abra segera meraih tangan gadis itu.
"Mmh?"
"Aku kan belum selesai kerja."
"Maksudnya?"
"Iya. Nanti aku akan kembali ke tempat kerja dan kerja sampai malam."
Shasa menatap ke arah tangannya yang sedang digenggam pria itu. "Memangnya aku harus ngikutin Kakak terus, seharian?"
"Iya, pekerjaanku kan gak menentu karena TV itu 24 jam tidak pernah tutup walaupun siaran tidak ada di tengah malam tapi kami harus mempersiapkan siaran-siaran yang lainnya. Kamu pikir acara satu jam itu benar-benar dibuat selama 1 jam? Ada yang malah dibuat seharian karena itu kita punya banyak studio dan ruang siaran untuk memenuhi target siaran setiap harinya."
"Maksudmu, aku akan tinggal denganmu?" Gadis itu bertanya dengan kepolosannya.
"Bukan gitu." Abra memberi senyum. "Kalau selesai beraktivitas aku akan mengantarmu pulang. Untuk sementara ...." Ia menoleh ke arah tempat tidur. "Bagaimana kalau kita coba tempat tidurnya?"
"Apa? Aahh!"
Belum sempat berpikir panjang, Abra menjatuhkan diri sambil menarik gadis itu hingga keduanya jatuh tengkurap di atas tempat tidur dengan berpegangan tangan.
"Kakak!" Shasa mengangkat kepalanya dan menoleh pada Abra.
Abra tertawa terbahak-bahak. Ia pun menoleh pada gadis itu.
Shasa merengut dengan tingkah kekonyolan Abra.
Pelan-pelan tawa pria itu memudar dan ia menatap gadis itu. "Terima kasih ya? Sudah bantu ngerapiin apartemenku."
Shasa menjatuhkan pandangannya karena malu dengan tatapan yang dekat dan langsung menuju bola matanya. "Gak papa kok Kak, cuma bantuin gini aja."
Abra merapikan genggamannya pada jemari Shasa yang berada di antara mereka berdua membuat gadis itu memperhatikannya tapi ia hanya diam seperti enggan untuk menarik tangannya kembali. "Kita kan ceritanya pacaran nih? Aku boleh ngak panggil kamu 'Sayang'?"
Wajah Shasa memerah. "Mmh .... "
"Biar lebih terasa seperti orang pacaran. Gimana?"
Kak Bima aja belum pernah panggil aku Sayang, tapi dia .... Rasanya wajahku memanas ya, malu sekali. Apa kelihatan ya?
"Boleh ya?"
"Ya sudah," jawab Shasa pelan.
Abra melepas genggamannya. "Yang di kamar sebelah juga sudah dipasang sepreinya kan?"
"Sudah Kak."
"Kalau gitu, kamu bisa istirahat di situ dulu karena aku sekarang mau tidur."
Shasa segera bangun dengan tergesa. "Oh, maaf."
"Tidak apa-apa dan tolong tutup pintunya. Bangunkan aku sejam lagi," Abra menutup matanya.
"Sejam lagi? Apa tidak terlalu cepat?"
"Kalau di Amerika namanya 'nap'. Gunanya untuk mengumpulkan tenaga agar bisa kembali bekerja," ucap pria itu tanpa membuka mata dan tubuh masih tertelungkup di atas tempat tidur.
Shasa keluar dari kamar itu. Ketika gadis itu menutup pintu, Abra membuka matanya. Pria itu menyentuh tempat tidur tempat Shasa tadi berbaring, mengusapnya perlahan dan mengkhayalkannya.
Kalau kau tanya perasaanku, saat ini juga aku ingin tidur denganmu, memelukmu dan menjadimu milikku, tapi kenapa begitu sulitnya. Kau ada depan mataku tapi aku tak bisa meraihmu. Kau milik orang lain. Kau ... apa kau tahu aku memujamu?
----------+++---------
Rika mengintip. Ah, dia datang. Ia segera berbalik dan mendatangi cermin besar di toilet wanita itu. Ia merapikan rambutnya. Membuatnya terlihat seksi dengan sedikit mengembangkan volume rambutnya kemudian ia bergegas kembali ke sisi dinding itu. Ia mengintip pria itu yang berjalan mendekat. Gadis itu tersenyum penuh arti dan mencoba keluar bersamaan dengan pria itu yang lewat di depannya. Ia sengaja menabrakkan diri pada pria itu.
Bukk!
"Aduh!"
"Hei!"
Rika menjatuhkan dirinya pada pria itu hingga terpaksa pria itu menangkap tubuhnya yang hampir jatuh ke lantai.
Pria itu membantunya berdiri dengan kesal. "Kamu apa-apaan sih?" rutuk pria itu dengan wajah menyebalkan. Ia baru saja membawa tinta stempel dan tinta itu tumpah dan meninggalkan noda pada jasnya yang berwarna coklat tua itu. "Aah, bajuku!" Ia kemudian menyadarinya.
"Oh, maaf Pak," Rika pun menyadari kecerobohannya. Ia tidak melihat pria itu memegang botol tinta dan tinta itu kini tidak saja telah meninggalkan noda pada pakaian dan tangan pria itu tapi juga pakaiannya. Untung saja pakaiannya berwarna biru gelap sehingga sama dengan warna tinta hingga tidak terlihat.
Lain halnya pria itu, tinta itu langsung merusak jas mahalnya. Pria itu sangat geram. Ia menatap tajam pada Rika karena berhasil merusak pakaian dan suasana hatinya. "PUNYA MATA NGAK SIH!!!"
"Ma-maaf Pak." Dengan gagapnya Rika terkejut dibentak sedemikian rupa. Ia tidak mengira pria itu sedemikian galaknya dan membentak tanpa melihat ia adalah seorang wanita. Ia mencoba membantu membersihkan tangan pria itu dengan meraih tangannya tapi pria itu menepisnya.
"Hei, apaan sih!" Kevin benar-benar kesal bertemu gadis itu karena selain sudah merusak jasnya, gadis itu juga berusaha menyentuhnya. "Jauhkan tanganmu yang kotor itu!"
Rika syok. Belum pernah ada pria yang menghinanya seperti itu.
Kevin yang melihat nama dan foto yang dikalungkan di leher Rika, segera menarik dan membacanya. "Namamu Rika ya?"
Gadis itu mencoba tersenyum semanis mungkin walau hatinya kesal teramat sangat.
Pria itu melemparnya ke wajah Rika.
Plak!
"Kau mungkin cantik tapi jangan bodoh! Banyak orang cantik di sini, artis, pegawai, jadi kalau kamu kupecat, perusahaan tidak akan rugi karena kekurangan satu orang pegawai seperti kamu, jadi jangan pernah bikin kesalahan sekecil apapun, MENGERTI??!"
Rika semakin syok, dalam ketakutan ia menunduk. Pria itu melenggang pergi.
Ingin rasanya ia mencekik pria itu.
------------+++-----------
Shasa membuka pintu perlahan. Dilihatnya pria itu masih tidur tengkurap. Ia belum mengganti posisinya dari semenjak ditinggal tadi.
Ia mencoba mendekat. Pria itu tidur dengan nyenyaknya terbukti dari suara dengkuran halus yang keluar dari mulutnya. Shasa tak tega membangunkannya, tapi .... "Kak bangun." Ia mengguncang pelan bahu pria itu.
Ternyata ia gampang terjaga. Pria itu menatap gadis itu dengan menyipitkan mata. Sebentar ia mengucek-ngucek matanya. Kemudian ia ingat sesuatu. "Oh .... "
"Kenapa Kak?"
"Kupikir ada bidadari mana yang nyasar ke kamarku."
Wajah Shasa memerah. Ia mencubit pinggang Abra. "Ih, boong banget!" gerutunya sambil tersenyum malu.
"Aduh, aduh! Ih sadis ih, bidadarinya."
"Biarin!" Shasa pura-pura ngambek.
Tiba-tiba pria itu duduk dari tidurnya. "Aku kesel ntar aku peluk nih!"
"Eh, enggak!" Shasa berlari keluar kamar diikuti Abra.
Setelah itu mereka pergi ke stasiun TV tempat Abra bekerja. Di pintu masuk Shasa dikalungkan tanda pengenal sebagai tamu. Kemudian mereka, menuju kantor Abra.
"Shasa?"
Gadis itu menoleh dan terkejut. Ia melangkah mundur saat Rika mendekatinya dengan wajah kesal. Shasa baru ingat bahwa Rika sedang mendekati Abra.
Tiba-tiba tangan pria itu meraih lengan Shasa agar tidak lagi mundur. "Kamu ngapain?" Abra berdiri di depan Shasa menghalangi Rika untuk lebih mendekat.
"Aku mau bicara dengan Shasa Pak, dia kan sepupu saya."
"Ini kantor dan dia tamu kantor. Aku mrngundangnya untuk masuk ke sini, jadi hormatilah tamu kantor atau kamu akan mendapat surat peringatan karena sudah mengganggu tamu kantor, " ucap Abra datar.
Rika membulatkan matanya, kembali amarahnya hanya berkumpul di dada. Sedari tadi ia tak bisa melampiaskan rasa dongkolnya tapi malah bertemu dengan sesuatu yang membuat darahnya makin mendidih. Shasa dan Abra. Kenapa hari ini ia begitu sial?
Abra dengan santainya menarik Shasa dan menggandengnya melewati Rika yang sedang menahan rasa irinya karena melihat mereka berdua.
Shasa yang tak berani memandang wajah Rika, dan hanya menunduk ketika Abra menariknya. Ia tahu, akan panjang urusannya setelah ia pulang nanti.
Saat Shasa dan Abra menjauh, Rika langsung menelepon seseorang. "Bima! Apa yang kau lakukan? Aku bilang, pacaran dengan Shasa! Kenapa kamu malah melepaskannya," ucap Rika sambil menghentak-hentakkan kakinya. Seketika orang-orang di sekeliling mulai memperhatikannya, Rika akhirnya memilih untuk berjalan ke mana kakinya melangkah.
Aduuhh, kenapa wanita ini selalu saja bikin masalah ke manapun dia pergi? Sekarang, apalagi yang dikeluhkannya? "Sejak aku putus darimu, kita sudah tak ada hubungan. Jadi jangan atur lagi aku sesuai maumu karena aku sudah tak mau tahu." Telepon langsung ditutup.
Rika benar-benar kesal. Rasanya ia ingin makan orang!
"Kak."
Abra menoleh.
Shasa memandangi tangannya yang di gandeng Abra. "Rasanya nggak enak Kak, di kantor seperti ini."
Pria itu melepas genggamannya. "Eh, maaf."
"Pak, dicari Pak Kevin." Seorang pegawai pria datang memberi tahu.
"Oh, ok. Aku ke sana." Abra memutar haluan. Ia dan Shasa bergerak ke arah lain.
Sesampainya di ruang kantor Kakaknya, ia mengetuk pintu. Saat ia mengintip, tak ada orang di sana, sama sekali.
Lho ke mana? Abra membawa Shasa masuk ke dalam. "Kakakku sepertinya sedang keluar. Kita tunggu di dalam saja."
Mereka pun duduk di kursi sofa. Sebentar kemudian ada yang mengetuk. "Pak ... eh Pak Abra ada di sini?" sahut seorang karyawan pria.
"Iya, Pak Kevin sepertinya sedang keluar."
"Kebetulan. Saya juga butuh Bapak, Pak. Bapak ada waktu?"
"Oh, boleh."
"Kita ke ruang siaran Pak."
Abra menoleh pada Shasa. "Tunggu sebentar di sini ya?" Ia pun pergi dengan karyawan itu.
Kini Shasa sendirian di ruangan itu. Dilihatnya ruangan yang cukup besar itu dengan beberapa hiasan dinding bergaya klasik. Karena ingin tahu isi ruangan, ia berdiri dan melihat-lihat. Tanpa sengaja ia melihat sebuah jas yang tergeletak di kursi samping dengan bercak tinta di depannya.
"Eh, sayang banget ini," Shasa memperhatikannya. Ia kemudian keluar dan meminjam pembersih kuteks pada salah seorang pegawai wanita di kantor itu lalu ia mulai membersihkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Novi Ana
emmm sepertinya kevin bakalan suka juga deh ma shasa......
2022-06-17
2