Andreas duduk di kursinya dengan malas sambil sesekali memainkan bolpoin yang di pukul-pukulkan ke keningnya. Kedua kakinya di angkat dan di silangkan di atas meja, pandangannya terarah pada langit dari lantai 12 tempatnya duduk. Langit berwarna biru cerah dengan awan putih yang berarak-arak.
Hari ini ia baru saja bertemu dengan beberapa investor dari luar negeri, Perusahaan mereka memang berencana mengembangkan sayap tidak hanya di Asia, tapi juga Eropa. Tapi langkahnya terhalang oleh perusahaan saingan mereka.
Untuk itu Andreas harus menyiapkan beberapa strategi sebelum rapat berikutnya, tapi entah kenapa ia begitu malas melakukannya, dan memilih duduk memandangi langit dengan pikiran yang melayang-layang seperti awan di depannya.
"Apa ini yang namanya rasa bersalah...?" tanya Andreas dalam hati. Di gigitnya ujung bolpoin nya. "Wajahnya terus muncul di kepalaku.." Ia menghela nafas panjang, baru kali ini ia merasakan perasaan seperti ini.
Rendy yang berada satu ruangan dengannya memperhatikan dari tempatnya duduk. Sudah hampir satu jam Andreas seperti itu, Rendy heran sekaligus bertanya-tanya. Sejak kejadian Andreas memecahkan semua koleksi Vodka nya, Rendy belum pernah lagi melihatnya pergi ke Club Malam atau meminum Vodka lagi.
Itu tentu hal yang bagus dan Rendy ikut senang karenanya, tetapi jika menginggat bagaiman bertahun-tahun dirinya menginggatkan Andreas tentang bahaya minuman beralkohol dan hanya di jawab kibasan tangan, rasanya mustahil Andreas sekarang berhenti minum.
"Laporan hari ini,Tuan Muda." Rendy meletakkan setumpuk berkas di meja Andreas.
Andreas segera menurunkan kakinya dan duduk dengan benar.
"Sudah saya cek semua, anda tinggal menandatangani nya." Rendy duduk di depannya.
Andreas membuka lembar demi lembar dari berkas-berkas itu sebelum menandatangani nya satu persatu.
"Perusahaan saingan kita mencoba mendekati Tuan Hertoni." kata Rendy menghentikan gerakan tangan Andreas. "Mereka menawarkan keuntungan tak masuk akal dalam bisnis properti, tapi Tuan Hertoni tak begitu menanggapinya. Yaah...anda tahu kan, itu semua karena Nona Eva yang begitu mengharapkan anda."
Di liriknya Andreas yang masih sibuk dengan berkas-berkasnya. "...akan lebih baik, jika anda segera menikah dengan Nona Eva." kata Rendy hati-hati.
"Tentu saja aku akan menikahinya." Andreas akhirnya bersuara. "Tapi tidak sekarang." di tatapnya Rendy, sebelum kembali sibuk dengan berkasnya.
Rendy menghela nafas, ia membayangkan seandainya sikap Andreas selalu dingin seperti ini tentu akan mempengaruhi keputusan Hertoni. Dan pasti akan berdampak buruk pada perusahaan.
"Apa ini..?" Andreas berhenti pada satu berkas terakhir. "kenapa pendapatan dari tambang batu bara kita di Kalimantan mengalami penurunan begitu dratis?" tanyanya.
"Kegiatan kita di usik oleh pejabat di sana."jawab Rendy.
"Bukankah sebelumnya tidak ada masalah?" Andreas kembali bertanya.
"Pejabat itu tangan kanan dari Tuan Danubrata, Ayah dari Tuan Bryan."
"Brengsek si Bryan..!" Umpat Andreas, ia menyisir rambutnya kebelakang dengan kesal.
Rendy mengangkat alisnya. "Bukankah anda dan Tuan Bryan dekat..??"
"Tidak lagi setelah aku menghajarnya." Andreas kembali menandatangani berkas terakhir lalu menumpuknya bersama dengan yang lain, dan menyingkirkannya di pinggir meja.
"Apa..??!" Rendy tak percaya. "Bukankah anda sangat dekat dengan Tuan Bryan..? Baru beberapa minggu lalu beliau ke sini untuk mengucapkan selamat, bahkan membawakan hadiah untuk anda kan..??" Rendy menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya di kursi, pekerjaannya akan bertambah berat.
"Hadiah sial!" sekali lagi Andreas mengumpat.
Rendy semakin heran dengan sikap Andreas, karena jelas-jelas saat menerima hadiah dari Bryan ia tampak senang, tetapi sekarang sikap nya berubah.
"Apa ada sesuatu yang saya lewatkan,.Tuan Muda?" selidiknya.
Di pandanginya Rendy, "....Apa kau pernah merasa bersalah Ren..?" tanya Andreas setelah diam beberapa saat.
"Anda merasa bersalah?!" mata Rendy membulat.
"Aku hanya bertanya, apa kau pernah merasa bersalah..?" kening Andreas berkerut.
Ia bersedekap sambil menyandarkan punggungnya di kursi.Ia memutar kursinya kesamping, dan kembali memandang langit yang terbentang luas di belakangnya.
"Tentu saya pernah merasa bersalah." Di pandanginya Andreas baik-baik. "Saat saya tidak bisa menyelamatkan Ibu anda, Nyonya Ayaka misalnya..."
"Itu bukan salahmu, kau tahu itu kan." kata Andreas tanpa menoleh. "Kita sudah membahasnya betahun-tahun lalu, dan aku tidak ingin dengar lagi kau mengatakannya."
"...Baik, Tuan Muda..." Rendy menjawab perlahan.
Suasana hening beberapa saat. Andreas masih menimbang-nimbang untuk menceritakannya kepada Rendy. Mulanya Ia berpikir ini hanya masalah sepele yang akan hilang dengan berjalannya waktu, tetapi semakin hari wajah Marisa seperti menepel dalam pikirannya dan tidak mau pergi. Ia merasa terganggu karenanya, dan siapa lagi orang terdekatnya yang bisa ia ajak bicara selain Rendy.
"....Aku....secara tidak sengaja melakukan sesuatu kepada seseorang." Andreas mulai bercerita.
Rendy membenarkan posisi duduknya dan mulai mendengarkan dengan serius.
"Sebenarnya aku sudah membayar kesalahan itu dengan memberinya selembar cek, tapi dia tidak mau menerimanya dan malah bersikap sombong. Padahal jelas-jelas dia itu miskin dan sangat membutuhkan uang" kata Andreas membuat alis Rendy terangkat.
Andreas menyisir rambutnya kebelakang dan melonggarkan dasinya. Cukup sulit untuknya mengakui hal ini, tapi ia harus menceritakan semua pada Rendy. Ia hanya ingin hatinya lega.
"Sejak itu...wajahnya selalu muncul di pikiranku." Andreas memegangi kepalanya, pandangannya menerawang jauh.
Hampir-hampir Rendy berteriak karena tidak percaya. Ia menutup mulutnya dan berusaha untuk tidak tertawa.
"Dipikir-pikir, sebelumnya aku juga sudah pernah membuatnya menangis." Pandangan mata Andreas kian menerawang, ia teringat kejadian ketika ia mencium bibir Marisa. "Aah,siapa suruh dia terlihat begitu cantik saat menangis.." guman Andreas perlahan.Tapi mampu di dengar oleh Rendy.
"Apakah..orang itu pernah menampar anda...?" tanya Rendy.
"Dariman kau tahu?" Andreas tekejut sesaat kemudian wajahnya memerah karena malu.
"Saat anda mabuk..."
"Aaa,sial...!" potong Andreas.
Lagi-lagi ia mengusap wajahnya dengan kesal.
"Kenapa sekarang tiap kali mabuk aku selalu menyebut nama Marisa..?" Andreas mengerang frustasi sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
"Eeemmm...sebenarnya anda hanya mengigau tentang seseorang yang telah berani menampar anda, tapi tidak menyebut nama...Marisa?" Rendy mengangkat alisnya.
"Mereka orang yang sama!" Andreas mendengus kesal. "Wanita miskin sombong." gerutunya.
Rendy mukai menyambung-nyambungkan beberapa kejadian dari hal paling kecil, saat Tuannya mabuk dan mengigau di tampar. Di lanjut hadiah Vodka dari Bryan, lalu Andreas yang menghancurkan semua koleksi Vodkanya. Sampai yang terakhir Ayah Bryan yang mengusik proyek pertambangan di karenakan Andreas yang menghajar Bryan-anaknya.Dan jika perkiraannga benar...
"Tuan, anda jatuh cinta dengan orang yang bernama Marisa ini yaa..??" tanya Rendy membuat mata Andreas membelalak.
Bersamaan dengan itu pintu terbuka, masuklah Eva dengan langkahnya yang gemulai.
"Sedang membicarakan apa? Tampaknya serius sekali.." bibirnya yang di poles warna merah tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 159 Episodes
Comments
Endang Winarsih
bagus banget ceritanya,aku suka thooor
2022-11-07
0
Serasky
jatuh cinta bngt ma novel ini...
2022-05-24
1
Nyonya Cakradonya 💞
gak bisa berenti bacaaa
2022-01-22
1